Senin, 10 Desember 2007

MENGENALI DAN MENCERMATI NEGARA

Dalam konteks pertanahan diketahui adanya tiga pemangku kepentingan (stake holder), yaitu: pemerintah (sebagai personifikasi negara), pengusaha (swasta), dan masyarakat. Secara filosofis ketiga pemangku kepentingan ini berupaya membangun sinergi, untuk satu tujuan, yaitu: sebesar-besar kemakmuran rakyat (pemerintah, pengusaha, dan masyarakat).
Negara, sebagai salah satu pemangku kepentingan merupakan sosok yang penting, karena memiliki kewenangan mengatur (regulator) dan melaksanakan (implementator). Oleh karena itu merupakan hal yang penting, untuk mengetahui, mengenali, dan mencermati negara.
Di Indonesia berkembang pemikiran yang unik tentang negara, di mana negara dipandang sebagai lembaga yang netral. Negara tidak memihak, ia berdiri di atas semua golongan, dan mengabdi kepada kepentingan bersama. Namun faham ini seringkali diselewengkan oleh segelintir pemimpin yang tidak amanah, dengan mengatas-namakan kepentingannya sebagai kepentingan bersama, sehingga merupakan kepentingan negara.
Pengertian negara yang difahami oleh Bangsa Indonesia ini sejalan dengan pendapat Roger H. Soltau, yang menyatakan bahwa negara adalah lembaga yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengendalikan kepentingan bersama.
Pengertian ini berbeda dengan pendapat Harold J. Laski, yang menyatakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan. Untuk mengintegrasikan masyarakat, negara memiliki instrumen pemaksa, yang sah dan dapat menjangkau semua individu maupun kelompok dalam masyarakat.
Sementara itu, Max Weber menjelaskan, bahwa negara adalah suatu masyarakat yang dikelola dengan menggunakan hak monopoli, berupa hak yang dimiliki oleh negara untuk menggunakan kekerasan secara absah dalam wilayah negara.
Sedangkan Robert Mac Iver menyatakan, bahwa negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban dalam suatu masyarakat di wilayah tertentu, berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh pemerintah, yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.

Kamis, 25 Oktober 2007

EVOLUSI RUMAH SUSUN

Ketentuan tentang rumah susun sebagaimana yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tidaklah muncul tiba-tiba. Selain melalui proses pemikiran yang panjang dan mendalam, ketentuan tersebut juga merupakan perkembangan idealisme yang terdapat pada peraturan perundangan sebelumnya.
Pertama, diawali oleh kebutuhan untuk mengakomodir pemilikan tanah bersama, diterbitkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975, yang memuat ketentuan bahwa hak atas tanah bersama didaftar oleh Kantor Pertanahan dalam beberapa buku tanah, sesuai dengan jumlah pemegang hak atas tanah bersama. Dengan demikian pada masing-masing pemegang hak atas tanah dapat diberikan sertipikat hak atas tanah bersama. Apabila di atas tanah bersama terdapat bangunan, maka pada tiap pemilik bagian bangunan juga dapat diberikan sertipikat hak atas tanah bersama.
Kedua, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 selanjutnya direvisi oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977, yang memuat ketentuan bahwa hak atas tanah bersama didaftar oleh Kantor Pertanahan dalam 1 (satu) buku tanah. Berdasarkan buku tanah ini dapat dibuatkan beberapa salinannya, untuk dilampirkan pada sertipikat hak atas tanah bersama, untuk diberikan kepada para pemegang hak atas tanah bersama. Ketentuan ini juga mempersyaratkan gambar denah bangunan, yang akan dilampirkan pada sertipikat hak atas tanah bersama. Sehingga sertipikat hak atas tanah bersama akan terdiri dari: salinan buku tanah, surat ukur, dan gambar denah bangunan.
Ketiga, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977 selanjutnya direvisi oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983, yang memuat ketentuan tentang: (1) Surat Keterangan Pendaftaran Tanah bagi pemilikan tanah bersama; (2) Salinan Izin Mendirikan Bangunan bagi pembangunan rumah susun; (3) Bangunan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah bersama; (4) Bangunan telah selesai dibangun; (5) Definisi bangunan bertingkat; (6) Salinan gambar denah bagian-bagian bangunan; (7) Salinan gambar denah tiap lantai; dan (8) Pernyataan tertulis mengenai besarnya bagian tiap pemegang hak atas tanah bersama.
Keempat, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 kemudian direvisi substansinya dan ditingkatkan bentuk produk perundang-undangannya dengan Undang Nomor 16 Tahun 1985, yang mengadopsi dan mengembangkan: (1) substansi pada bagian Ketiga angka 1 sampai dengan 4 menjadi persyaratan permohonan hak milik atas satuan rumah susun; (2) substansi pada bagian Ketiga angka 5 menjadi definisi rumah susun; (3) substansi pada bagian Ketiga angka 6 dan 7 menjadi gambar denah; dan (4) substansi pada bagian Ketiga angka 8 menjadi nilai perbandingan proporsional.

Minggu, 30 September 2007

PENGENDALIAN PERTANAHAN

Pengendalian pertanahan berarti pengekangan terhadap tindakan yang sewenang-wenang terhadap tanah, dan hal-hal yang berkaitan dengan tanah. Pengendalian pertanahan juga berarti pengaturan yang meliputi pembatasan terhadap kewenangan. Dengan demikian pengendalian pertanahan merupakan bagian tak terpisahkan dari kewenangan pertanahan, yang memberikan amanat bagi pemegang kewenangan untuk melakukan manajemen pertanahan, yang terdiri dari: (1) perencanaan pertanahan; (2) pengorganisasian bidang pertanahan; (3) pelayanan pertanahan; (4) pengendalian pertanahan; dan (5) pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan.
Sementara itu, pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan dapat berupa regulasi, yang memperbolehkan suatu tindakan dalam rangka mendorong dan memberikan kekuatan, tenaga, atau kemampuan masyarakat di bidang pertanahan. Termasuk dalam hal ini berbagai tindakan yang mendorong dan memberikan kekuatan, tenaga, atau kemampuan masyarakat di bidang pertanahan.
Pengendalian pertanahan dimaksudkan untuk mengarahkan, dan menertibkan tindakan para pihak terhadap tanah, agar tidak melampaui kewenangannya. Ketika pengendalian pertanahan dilaksanakan seiring dengan pemberdayaan masyarakat, maka akan terwujud pendayagunan tanah yang diperkuat oleh peningkatan tindakan para pihak yang sesuai dengan kewenangannya. Wujudnya berupa pelaksanaan hak dan kewajiban yang relevan dengan visi dan misi pengelolaan pertanahan.

Kamis, 13 September 2007

MENSIKAPI PELAYANAN PERTANAHAN


Masyarakat yang ideal adalah masyarakat sipil (civil society), yang memiliki kekuatan khas. Masyarakat sipil menurut Francis Fukuyama (dalam "Trust", 2002:5) memiliki kekuatan yang terletak pada kebiasaan, adat, dan etika masyarakatnya, beserta segenap atribut-atribut yang bisa dibentuk secara tidak langsung melalui tindakan politik yang sadar, dan dipupuk melalui kesadaran dan penghormatan yang tinggi terhadap kebudayaan. Berdasarkan kekuatannya ini masyarakat mensikapi banyak hal, termasuk pelayanan pertanahan. Oleh karena itu, ketika BPN-RI telah menerapkan Standar dan Prosedur Operasional Pelayanan Pertanahan dalam rangka memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, maka sudah selayaknya masyarakat memberikan kepercayaan yang tinggi (high trust) kepada BPN-RI.
Kepercayaan yang tinggi ini dikonstruksi berdasarkan: Pertama, adanya peluang bagi pemenuhan harapan masyarakat yang berupa terwujudnya keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif dari petugas pertanahan. Kedua, adanya norma-norma pelayanan pertanahan yang ditetapkan berdasarkan nilai-nilai luhur, keadilan, profesionalisme, dan etika perilaku.

KEMAMPUAN MENDAFTAR TANAH

Pasal 19 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Pokok Agraria mewajibkan Pemerintah (dalam hal ini BPN-RI atau Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) untuk melakukan pendaftaran tanah, yang meliputi kegiatan: Pertama, pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; Kedua, pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas tanah tersebut; Ketiga, pemberian surat-surat tanda bukti hak (sertipikat hak atas tanah), yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Dengan demikian seharusnya Pemerintah mendaftar seluruh bidang tanah di Indonesia. Tetapi karena keterbatasan dana, tenaga, dan peralatan, Pemerintah belum mampu mendaftar seluruh bidang tanah di Indonesia. Namun demikian sejak tahun 1961 Pemerintah telah berupaya melakukan kewajiban pendaftaran tanah dengan sebaik-baiknya. Hal ini terlihat dari jumlah bidang tanah yang telah didaftar oleh Pemerintah.
Untuk membahas kemampuan Pemerintah dalam mendaftar bidang tanah dapat diperhatikan fakta, sebagai berikut: Pertama, data pada tahun 1996 menunjukkan bahwa bidang tanah yang telah didaftar oleh Pemerintah berjumlah 13 juta bidang. Dengan demikian kemampuan Pemerintah dalam mendaftar bidang tanah pada tahun 1961-1996 adalah sebesar 361 ribu bidang per tahun; Kedua, pada tahun 1997 diketahui bahwa bidang tanah yang telah didaftar oleh Pemerintah berjumlah 18 juta bidang. Dengan demikian kemampuan Pemerintah dalam mendaftar bidang tanah pada tahun 1997 adalah sebesar 5 juta bidang per tahun; Ketiga, data pada tahun 1999 menunjukkan bahwa jumlah bidang tanah yang telah didaftar oleh Pemerintah berjumlah 22 juta bidang. Dengan demikian kemampuan Pemerintah dalam mendaftar bidang tanah pada tahun 1998-1999 adalah sebesar 2 juta bidang per tahun; Keempat, data pada tahun 2002 menunjukkan bahwa jumlah bidang tanah yang telah didaftar oleh Pemerintah berjumlah 23 juta bidang. Dengan demikian kemampuan Pemerintah dalam mendaftar bidang tanah pada tahun 2000-2002 adalah sebesar 333 ribu bidang per tahun.
Data-data tersebut menunjukkan adanya fluktuasi kemampuan Pemerintah dalam mendaftar bidang tanah pada tahun 1961-2002. Namun demikian terobosan terus menerus dilakukan oleh Pemerintah melalui berbagai program percepatan pendaftaran tanah.

Rabu, 12 September 2007

PENGENDALIAN ATAU PEMBERDAYAAN

Sesungguhnya antara "pengendalian" dengan "pemberdayaan" tidak layak diperhadapkan secara diametrikal. Terlebih lagi jika yang dimaksudkan adalah "pengendalian pertanahan" dengan "pemberdayaan masyarakat", karena pengendalian pertanahan dilaksanakan dalam rangka melakukan pemberdayaan masyarakat. Dengan kata lain, pengendalian pertanahan yang baik akan bersifat pemberdayaan bagi masyarakat.
Pengendalian pertanahan yang memberdayakan masyarakat merupakan bagian dari pengelolaan pertanahan, sebab dalam pengelolaan terdapat unsur: (1) perencanaan, (2) pengorganisasian, (3) pelaksanaan, dan (4) pengendalian. Pengelolaan pertanahan yang baik akan menghasilkan kebajikan yang relatif besar, terutama dalam konteks pelayanan, yang pada gilirannya akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja institusi pertanahan. Hanya saja, agar pengelolaan dapat dilaksanakan secara tepat dan terukur dibutuhkan norma-norma yang jelas, yang berisi hak dan kewajiban bagi stake holder (pemangku kepentingan).
Terdapat empat pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan pertanahan, yaitu: (1) regulator, (2) pengelola, (3) pemangku kontrol sosial, dan (4) pengguna. Keempat pemangku kepentingan ini bergerak dalam format berbasis peraturan perundangan, seperti: (1) Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001, (2) Undang-Undang Pokok Agraria dan undang-undang lainnya, serta (3) Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1998 dan peraturan pemerintah lainnya.

Rabu, 29 Agustus 2007

KEPERCAYAAN DALAM PENSERTIPIKATAN TANAH

Kota-kota di Indonesia yang baru mulai berkembang, pada umumnya memperlihatkan ciri bauran antara kolektivisme desa dengan individualisme kota. Pada kota-kota jenis ini kepercayaan merupakan modal sosial bagi siapapun yang ingin beraktivitas. Kekentalan kolektivisme desa yang berbaur dengan kekentalan individualisme kota menjadi locus uji bagi kepercayaan. Dengan demikian kegiatan pensertipikatan tanah yang dilakukan pada kota-kota jenis ini mempersyaratkan kepercayaan, bagi keberhasilan kegiatan tersebut.
Kepercayaan adalah sebuah sikap yang diekspresikan oleh anggota masyarakat (atau pihak-pihak yang berkepentingan), sebagai akibat dari adanya harapan-harapan bagi terselenggaranya keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif dalam suatu penyelenggaraan kegiatan, yang didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku. Dalam konteks ini masyarakat tidak akan berpartisipasi, bila mereka tidak percaya dengan kegiatan pensertipikatan tanah.
Agar masyarakat memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kegiatan pensertipikatan tanah, maka Kantor Pertanahan perlu: Pertama, menyelenggarakan pensertipikatan tanah secara teratur, tertib, atau prosedural sesuai dengan SPOPP (Standar Prosedur Operasi Pelayanan Pertanahan). Kedua, adanya kejujuran atau obyektivitas yang diperlihatkan oleh petugas Kantor Pertanahan ketika berinteraksi dengan masyarakat. Ketiga, adanya perilaku kooperatif (mampu bekerjasama dalam koridor peraturan perundangan yang berlaku) yang diperlihatkan oleh petugas Kantor Pertanahan, sehingga dapat membantu masyarakat secara optimal.

MASYARAKAT DAN TANAH


Soerjono Soekanto dalam "Sosiologi: Suatu Pengantar" (1998:37) menyatakan, bahwa sejak dahulu kala jarang sekali kejadian di mana ahli pikir menguraikan masyarakat terlepas dari tanah. Sementara itu, I Made Sandy dalam "Publikasi Tahun 1975" menyatakan bahwa bagi masyarakat, tanah merupakan ruang (space) yang mewadahi segenap aktivitas (kegiatan) mereka sejak lahir hingga berakhir. Selain itu tanah juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai media tumbuh tanaman (sektor pertanian). Tanahpun dapat dimanfaatkan sebagai benda fisik, di mana tanah dapat dimanfaatkan untuk menimbun (mengurug) permukaan tanah yang relatif lebih rendah dari sekitarnya, atau untuk meninggikan permukaan tanah sesuai kebutuhan/keinginan anggota masyarakat yang bersangkutan.
Dalam Bahasa Inggris tanah yang berfungsi sebagai ruang disebut "land" (di Indonesia diterjemahkan menjadi "lahan" yang sekaligus mencakup pengertian "soil"), yang berfungsi sebagai media tumbuh tanaman disebut "soil", dan yang berfungsi sebagai benda fisik disebut "earth". Di kalangan masyarakat tanah yang berfungsi sebagai ruang memiliki ukuran meter persegi, yang berfungsi sebagai media tumbuh tanaman memiliki ukuran subur atau tidak subur, dan yang berfungsi sebagai benda fisik memiliki ukuran meter kubik.

PENSERTIPIKATAN TANAH

Kawan-kawan di Kantor Pertanahan (Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) menyebut kegiatan ini (berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku) "pendaftaran tanah", yaitu ketika sebidang tanah didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat, yang kemudian kepada pemegang haknya diberikan "sertipikat hak atas tanah". Sementara itu kawan-kawan di masyarakat (pada umumnya) menyebut kegiatan ini "pensertipikatan tanah", yaitu ketika masyarakat memperoleh sertipikat hak atas tanah setelah mengurusnya (melakukan pendaftaran tanah) di Kantor Pertanahan setempat. Oleh karena itu, secara sosiologis pendaftaran tanah dan pensertipikatan tanah merupakan kegiatan yang sama.
Pensertipikatan tanah merupakan salah satu kegitan yang memiliki sifat multi fakta. Pertama, ia merupakan fakta teknis, karena melibatkan pekerjaan teknis, yang berupa pengukuran dan pemetaan kadasteral. Kedua, ia juga merupakan fakta hukum, karena melibatkan pekerjaan yang bersifat yuridis, yang berupa pelacakan, pencatatan/perekaman, dan pembuktian kepemilikan tanah melalui berbagai bukti hukum yang tersedia. Ketiga, ia juga merupakan fakta administratif, karena melibatkan pekerjaan administratif, yang berupa pencatatan, perekaman, pembukuan dan pengarsipan. Keempat, ia juga merupakan fakta sosial, karena melibatkan interaksi sosial antara Pemerintah (petugas Kantor Pertanahan) dengan masyarakat (pemilik tanah) dalam proses pensertipikatan tanah, dan antara masyarakat (pemilik tanah) dengan masyarakat (pemilik tanah lainnya yang tanahnya berbatasan dengan tanah yang sedang diproses) dalam penerapan asas contradictoir de limitatie pada proses pensertipikatan tanah.

Senin, 27 Agustus 2007

PENONTON DAN KORBAN

Idealnya, pengelolaan pertanahan dapat dilakukan oleh masyarakat secara harmonis dan padu, dengan aspek-aspek kehidupan mereka yang terkait dengan pertanahan. Tetapi Danah Zohar dan Ian Marshal dalam "Spiritual Quotient" (2001) menjelaskan, bahwa manusia (masyarakat) tidak jarang hanya menjadi korban pengalamannya, atau hanya menjadi penonton malang dalam naskah drama yang ditulis orang lain.
Oleh karena itu, masyarakat harus dihindarkan dari realita menjadi korban pengalamannya dalam hal pertanahan. Sebagai contoh, anggota masyarakat yang menjadi petani tidak boleh menjadi korban dari pengalamannya menjadi petani. Anggota masyarakat tersebut dapat dikatakan menjadi korban, bila kehidupannya tidak dinamis-positif, yaitu: (1) ketika dari dahulu hingga sekarang ia tetap sebagai petani yang subsisten (produksinya hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar/konsumtif keluarganya); dan (2) ketika dari dahulu hingga sekarang ia tetap menjadi petani yang tidak memiliki pengetahuan pertanian yang memadai.
Masyarakat juga harus dihindarkan dari realita menjadi penonton malang dalam kebijakan pertanahan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Anggota masyarakat tersebut dapat dikatakan menjadi korban, bila ia tidak berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan di bidang pertanahan, yaitu: (1) ketika ia tidak dilibatkan dan tidak didorong untuk aktif dalam kegiatan di bidang pertanahan; dan (2) ketika ia tidak mampu memahami urgensi kegiatan pertanahan, sehingga ia tidak bersedia berpartisipasi.
Dengan demikian ada empat hal yang harus menjadi ciri kegiatan pertanahan dalam rangka pemberdayaan masyarakat, yaitu anggota masyarakat yang menjadikan tanah sebagai basis kegiatannya, didorong agar: Pertama, kegiatannya tidak hanya sebatas subsisten, tetapi telah bergerak ke arah komersial dalam kuantitas dan kualitas yang ekonomis. Kedua, didorong agar terus menerus meningkatkan pengetahuan tentang pengelolaan pertanahan yang relevan. Ketiga, dilibatkan dan didorong untuk aktif dalam kegiatan di bidang pertanahan. Keempat, didorong untuk mampu memahami urgensi kegiatan pertanahan.

Rabu, 22 Agustus 2007

CONTRA PRODUCTIVE

Bangsa Indonesia (karena sering melupakan kearifan lokal) dikenal sebagai bangsa yang mudah panik, suka solusi tambal sulam, dan tergopoh-gopoh. Akibatnya berbagai aktivitas bangsa seringkali blunder dan contra productive. Sejarah telah memperlihatkannya: Pertama, ketika baru saja merdeka, Bangsa Indonesia sangat merindukan kebebasan berpolitik dan demokrasi. Oleh karena itu, secara tergopoh-gopoh politik dijadikan "panglima", sedangkan aspek kenegaraan lainnya diabaikan. Akibatnya, perekonomian Indonesia runtuh karena mismanagement yang akut. Kesengsaraan masyarakat miskin kota dan desa terpampang di mana-mana; Kedua, ketika melihat kemiskinan terpampang secara terbuka, para pemimpin bangsa (penguasa) merumuskan obat mujarab yang disebut "pembangunan" (development). Seperti biasa, secara tergopoh-gopoh pembangunan dijadikan "tujuan" (seharusnya pembangunan hanya merupakan alat). Akibatnya, segala sesuatu (baik dan buruk) dilakukan atas nama pembangunan. Ada kesan, saat itu pembangunan telah menjadi "agama" baru Bangsa Indonesia. Atas nama pembangunan sebagian para penguasa dan pengusaha (yang menjadi kawan penguasa) berlomba-lomba mengisi pundi-pundi kekayaan mereka dengan berbagai cara, termasuk dengan cara korupsi. Korupsi dengan berbagai format dan berbagai sekala terpampang sangat jelas pada berbagai lapisan masyarakat di mana-mana; Ketiga, ketika melihat korupsi terpampang secara terbuka, para pemimpin bangsa merumuskan obat mujarab yang disebut "gerakan anti korupsi". Akhirnya, seperti biasa, secara tergopoh-gopoh gerakan anti korupsi dijadikan "tujuan" (seharusnya gerakan anti korupsi hanya merupakan alat). Akibatnya, segala sesuatu (baik dan buruk) dilakukan atas nama gerakan anti korupsi, seperti: (1) Upaya pembubaran beberapa yayasan yang bernaung di bawah koordinasi TNI (Tentara Nasional Indonesia), padahal yayasan-yayasan ini bermanfaat dalam membantu prajurit (terutama yang mengalami cacat fisik permanen) dan keluarganya (terutama keluarga prajurit yang gugur saat melaksanakan tugas); (2) Upaya penjebakan seperti yang dialami tokoh Komisi Pemilihan Umum (Mulyana W. Kusuma). Dalam perspektif sosiologis, menangkap seseorang dengan cara menjebak tidaklah patut, sebab dalam konsepsi "menjebak" berpeluang dilakukannya tipu daya dari orang yang menjebak agar orang yang dijebak dapat masuk dalam jebakannya. Boleh jadi orang yang ditangkap melalui proses jebakan bukanlah orang yang sungguh-sungguh melakukan kesalahan, ia hanyalah korban skenario pembuktian kesalahan; (3) Pengetatan anggaran, yang dibeberapa instansi dimaknai sebagai suatu sistem anggaran di mana biaya pelaksanaan barulah dibayarkan (diganti) setelah pelaksana kegiatan membayar dengan uang pribadinya terlebih dahulu, karena penggantian diberikan setelah ada kuitansi.
Hikmah yang dapat diambil dari kisah ketergopoh-gopohan Bangsa Indonesia bagi pengelolaan pertanahan atau reforma agraria adalah, "Hindari ketergopoh-gopohan!"

TANAH BAGI MASYARAKAT

Bagi masyarakat, tanah adalah permukaan bumi, yang bagi pemegang haknya diberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan , demikian pula tubuh bumi, dan air, serta ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan/pemanfaatan tanahnya. Pemahaman ini bersesuaian dengan Pasal 4 UUPA, sebagai hasil proses konformitas masyarakat terhadap pengelolaan pertanahan.
Tanah merupakan sumberdaya yang penting bagi masyarakat, baik sebagai media tumbuh tanaman, meupun sebagai ruang (space) atau wadah tempat melakukan berbagai kegiatan. Bagi sosiolog pengelolaan pertanahan menarik untuk dikaji, terutama sifat dan hakekat pengelolaan pertanahan dalam konteks pemberdayaan masyarakat.
Perspektif sosiolog ini sangat relevan, karena aspek-aspek kehidupan masyarakat dapat dimengerti atau difahami bila dikorelasikan dengan aspek pertanahannya. Demikian pula sebaliknya, aspek-aspek pertanahan dapat dimengerti atau difahami bila dikorelasikan dengan aspek kemasyarakatannya. Dalam perspektif ideal sosiolog, pengelolaan pertanahan seharusnya menyatu dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat. Dalam bahasa simbolik, "Masyarakat akan selalu berurusan dengan institusi pertanahan sejak lahir hingga berakhir (meninggal)."

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan perlu dilakukan untuk mengantisipasi transformasi masyarakat, dari masyarakat yang pasif menuju masyarakat yang proaktif (dan kritis). Pemberdayaan masyarakat mengusung ide partisipatoris dalam pengelolaan pertanahan, untuk memberi kesempatan berkontribusi secara lebih luas kepada masyarakat. Dengan kata lain, terjadi proses pelibatan masyarakat dalam berbagai aspek pengelolaan pertanahan dengan skala yang semakin meluas.
Untuk itu pengelolaan pertanahan harus realistik namun tetap dalam frame nasionalis-populis, sebagai format antisipasi fakta kekinian pertanahan di Indonesia. Pengelolaan pertanahan tersebut memiliki ciri-ciri: Pertama, memiliki semangat emansipatori. Kedua, bertujuan mensejahterakan masyarakat. Ketiga, memiliki instrumen fisik dan non fisik yang memadai. Keempat, pengelolaan pertanahan diarahkan pada pemanfaatan konsepsi dan teknologi tepat guna, yang sedapat mungkin juga bersumber lokal (konsepsi/teknologi lokal). Kelima, memanfaatkan konsepsi social engineering (rekayasa sosial) untuk membangkitkan motivasi masyarakat dalam berpartisipasi. Keenam, adanya sinergi antara Badan Pertanahan Nasional dengan Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia dalam pengelolaan pertanahan. Ketujuh, mengkondisikan sifat proaktif PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan Surveyor Berlisensi dalam memberi pelayanan terbaik pada masyarakat. Kedelapan, pengelolaan pertanahan dilaksanakan berdasarkan Hukum Tanah Nasional yang bersifat unifikatif namun memiliki ruang pluralitas (bagi hukum adat).

PENGELOLAAN PERTANAHAN


Selayaknya pengelolaan pertanahan terlepas dari praktek kekuasaan, pengelolaan pertanahan seharusnya lebih fokus pada upaya mensejahterakan masyarakat. Bangsa Indonesia pernah beberapa kali memiliki pengalaman, ketika pengelolaan pertanahan bersuper-impose dengan praktek kekuasaan. Pada saat itu praktek kekuasaan mewujud dalam bentuk terorisme negara atau state terorism (seperti Negara Israel di Palestina), ketika pengelolaan pertanahan lebih fokus melayani kekuasaan daripada melayani masyarakat. Atau ketika pengelolaan pertanahan lebih fokus mensejahterakan penguasa (dan pengusaha) daripada masyarakatnya.
Praktek kekuasaan dalam pengelolaan pertanahan, sesungguhnya merupakan tindakan "menabur angin sosial", yang berpeluang "menuai badai sosial". Praktek kekuasaan dalam pengelolaan pertanahan juga berpeluang menimbulkan polarisasi antara Negara/Pemerintah dengan masyarakat. Pada saat polarisasi semakin mengkutub, maka Negara/Pemerintah dan masyarakat akan berada pada posisi saling intai, saling menunggu kelemahan, untuk saling hantam, baik melalui pengadilan maupun melalui aktivitas fisik di lapangan.
Oleh karena itu, praktek kekuasaan dalam pengelolaan pertanahan tidak boleh terjadi di Indonesia. Bila pengelolaan pertanahan sungguh-sungguh difokuskan pada upaya mensejahterakan masyarakat, maka akan terjadi sinergi antara Negara/Pemerintah dengan masyarakat. Saat itulah pengelolaan pertanahan mengalami zaman keemasan, bukan karena telah mencapai kesejahteraan, melainkan telah berada pada track yang benar dalam upaya mencapai kesejahteraan.
Sebaliknya, bila pengelolaan pertanahan tidak fokus pada upaya mensejahterakan masyarakat, maka pengelolaan pertanahan mengalami zaman kegelapan, bukan karena belum berhasil menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, melainkan karena berada pada track yang salah dalam upaya mencapai kesejahteraan. Akibatnya, kesejahteraan masyarakat hanya akan menjadi komoditas ucapan, penelitian, dan catatan "berton-ton", tanpa peluang mewujudkannya.

JANGAN JADI ATPM.....

ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) tidaklah hanya terdapat di dunia usaha. Bila tidak berhati-hati, dalam reforma agraria juga berpeluang mengundang hadirnya ATPM dalam konotasi negatif, yaitu para ATPM Kapitalisme dan Liberalisme. Para ATPM ini akan menghalangi laju sukses reforma agraria yang berbasis UUPA values, yang nasionalis-populis. Mereka ini, yang pernah dididik di negara-negara penebar kaliptalisme dan liberalisme akan dengan penuh semangat melepas rantai jebakannya. Mereka juga telah melihat kesuksesan kapitalisme dan liberalisme dalam menciptakan kasta pengusaha yang kemudian menjadi penguasa.
Oleh karena itu, para ATPM berupaya memasukkan unsur-unsur kapitalisme dan liberalisme dalam pengelolaan pertanahan di Indonesia. Akibatnya, tanah menjadi komoditas yang paling populer. Transaksi jual beli atau tukar menukar semakin gencar, tanpa memperhatikan ketimpangan dan ketidak-adilan dalam hal penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
Para ATPM Kapitalisme dan Liberalisme akan berupaya agar reforma agraria tidak menyentuh kepentingan mereka. Bahkan bila perlu reforma agraria yang sedang digagas, disosialisasikan, dan dilaksanakan diarahkan, agar menjadi reforma agraria yang mendorong kapitalisme dan liberalisme. Mereka lupa bahwa nilai-nilai reforma agraria merupakan tata nilai yang berbasis pada UUPA.
Dengan demikian, jangan ada siapapun dan dalam kondisi bagaimanapun, yang memandang ringan permasalahan ini. Sebab kapitalisme hanya menguntungkan kelompok para pengusaha, sedangkan liberalisme lebih banyak mengorbankan masyarakat. Oleh karena itu, saat ini tidaklah tepat untuk masuk dalam kelompok, yang menganggap persaingan bebas sebagai solusi kesenjangan.
Sudah saatnya reforma agraria merevitalisasi UUPA values, agar penataan kembali agraria di Indonesia sejalan dengan semangat nasionalisme dan populisme, sebagaimana diamanatkan UUPA dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (Amandemen ke-4). Penataan yang komprehensif terhadap penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan agraria yang berkeadilan dan mensejahterakan.

Selasa, 21 Agustus 2007

WASPADAI HIPOKRISITAS....

Pernah dengar MDGs (Millenium Development Goals)? Inilah kampanye yang digembar-gemborkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sejak tahun 2001, yang berisi seruan agar tiap negara di dunia melakukan program, sebagai berikut: (1) pengentasan kemiskinan (poverty); (2) peningkatan kualitas dan kuantitas cakupan pendidikan (education); (3) kesetaraan gender (gender equality); (4) penurunan tingkat kematian anak (child mortality); (5) peningkatan kesehatan ibu (maternal health); (6) upaya perlawanan terhadap penyakit (combat desease); (7) perbaikan lingkungan hidup (environment); (8) persahabatan global (global partnership).
Uniknya, ketika sedang gencar mengkampanyekan MDGs ke seluruh dunia, PBB juga gencar mendukung "Program Fitnah Internasional", dengan mendukung pendudukan negara-negara Barat di Afghanistan (sejak 2002) dan di Irak (sejak 2003). Uniknya lagi pendudukan ini menghasilkan fakta yang bertentangan dengan kampanye MDGs PBB. Pertama, peningkatan kemiskinan di Afghanistan dan Irak, akibat kerusakan infrastruktur yang mengalami carpetbombing oleh negara-negara Barat. Kedua, penurunan kualitas dan kuantitas cakupan pendidikan di Afghanistan, akibat kerusakan infrastruktur yang mengalami carpetbombing oleh negara-negara Barat. Ketiga, penindasan terhadap semua gender oleh tentara pendudukan di Afghanistan dan Irak, melalui tindakan perkosaan dan penyiksaan. Keempat, peningkatan jumlah kematian ibu dan anak akibat tindakan tentara pendudukan di Afghanistan dan Irak, melalui pemboman pemukiman penduduk sipil. Kelima, penurunan tingkat kesehatan ibu akibat tindakan tentara pendudukan di Afghanistan dan Irak, yang terus menerus membom dan merusak infrastruktur kesehatan dan pemukiman penduduk. Keenam, penurunan kemampuan melawan penyakit akibat tindakan tentara pendudukan di Afghanistan dan Irak, yang terus menerus membom dan merusak infrastruktur kesehatan dan pemukiman penduduk. Ketujuh, perusakan lingkungan hidup oleh tentara pendudukan di Afghanistan dan Irak , melalui berbagai operasi militer yang merusak. Kedelapan, kehancuran persahabatan global, karena berbagai program pendudukan dan penguasaan berbagai negara oleh negara-negara Barat.
Dengan demikian nyatalah, bahwa MDGs merupakan program hipokrit (munafik) PBB, di mana PBB tak layak lagi dipandang sebagai Perserikatan Bangsa-Bangsa, sudah saatnya PBB dimaknai sebagai Pecundang Bangsa-Bangsa. Jika Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, masih hidup tentu ia akan berkata, "Go to hell, with your aids!" Atau jika Presiden Republik Mimpi, Si Butet Yogya, diberi kesempatan bicara tentu ia akan berkata, "Mimpi kali nih, yee!" Atau, mungkin karena kita lupa pesan Presiden Pertama Republik Indonesia (dalam hal "aids") sehingga kini di Indonesia merebak penyakit aids (akibat virus HIV).
Oleh karena itu, program reforma agraria tidak boleh secara semena-mena mengadopsi konsep-konsep PBB yang hipokrit. Sudah saatnya para pakar dan pelaksana reforma agraria mewaspadai hipokrisitas PBB dan negara-negara Barat (serta para komparadornya) yang menjanjikan kesejahteraan, namun menghadiahkan kemiskinan dan ketergantungan. Sudah saatnya para pakar dan pelaksana reforma agraria memanfaatkan pemikiran dan kearifan nasional dan lokal Bangsa Indonesia, yang lebih membumi dengan agraria Indonesia. Selamat berjuang, semoga reforma agraria mencapai tujuan mulianya.

IDENTITAS REFORMA

Segala sesuatu memiliki nama, memiliki panggilan dan memiliki gelar. Nama, panggilan, dan gelar merupakan identitas sesuatu. Nama merupakan identitas formal sesuatu, yang menunjukkan substansi/sifat yang ingin diperlihatkan atau diwujudkan oleh identitas tersebut. Sedangkan panggilan merupakan identitas populer sesuatu, yang menunjukkan substansi/sifat yang dimiliki sesuatu yang berhasil merebut mindshare (berada dalam pikiran atau benak) dan/atau heartshare (berada di hati) masyarakat. Sementara itu, gelar merupakan identitas formal yang mempopuler atau perpaduan antara nama dan panggilan, yang menunjukkan adanya keberhasilan dari substansi/sifat yang ingin diperlihatkan oleh suatu identitas dalam merebut mindshare dan heartshare masyarakat.
Dalam konteks reforma agraria, maka sebutan "reforma agraria" hendaklah merupakan nama, panggilan, dan sekaligus gelar bagi kegiatan yang berupaya memperbarui fakta agraria saat ini yang kurang adil dalam hal asset dan akses agraria. Caranya: Pertama, reforma agraria harus merupakan identitas formal dari kegiatan memperbarui fakta agraria saat ini, dengan menunjukkan ciri-ciri upaya pencapaiannya. Kedua, reforma agraria harus merupakan identitas dari suatu kegiatan pembaruan fakta agraria saat ini yang populer di masyarakat, yang telah berhasil merebut mindshare dan heartshare masyarakat. Ketiga, reforma agraria harus merupakan identitas formal dari kegiatan pembaruan fakta agraria saat ini yang populer di masyarakat.
Dengan demikian pelaksanaan reforma agraria tetap harus memperlihatkan formalitas yang absah, karena dilaksanakan oleh pemegang otoritas yang didukung oleh segenap stake holder. Namun tidak boleh mengabaikan aspek perebutan mindshare dan heartshare masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan reforma agraria membutuhkan pendekatan sosiologis agar dapat mempersuasi dan mengedukasi masyarakat perihal keunggulan substantifnya.

Senin, 20 Agustus 2007

REFORMA SEHARUSNYA ...


Reforma agraria yang dilaksanakan seharusnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai pertanahan yang tertuang dalam UUPA, karena nilai-nilai inilah yang menjadi basis pengelolaan pertanahan yang populis. Bila terdapat jarak antara reforma agraria dengan nilai-nilai pertanahan sebagaimana dimaksud, maka reforma agraria telah menerjang definisinya sendiri. Hal ini akan menggugurkan hak hidup dan hak implementatif reforma agraria, dan masyarakat akan berkata, "Selamat jalan reforma agraria! Selamat kembali ke 'Republik Mimpi'!"
Oleh karena itu, sebelum melaksanakan reforma agraria, sudah selayaknya dilakukan pemetaan masalah agraria yang mendasar (fundamental). Dalam peta tersebut layak termuat masalah, seperti: (1) batas minimum pemilikan tanah; (2) batas maksimum penguasaan dan/atau pemilikan tanah; (3) redistribusi tanah; (4) tanah absentee atau guntai; (5) gadai tanah; (6) perjanjian bagi hasil tanah pertanian; dan (7) perlindungan terhadap tanah pertanian.
Sebagai contoh: Pertama, adalah fakta bahwa batas minimum pemilikan tanah seluas dua hektar belumlah terwujud secara merata di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Pulau Jawa; Kedua, adalah fakta bahwa saat ini belum ada ketentuan batas maksimum luas penguasaan dan/atau pemilikan tanah, terutama bagi tanah berstatus Hak Guna Usaha; Ketiga, adalah fakta bahwa saat ini program redistribusi (pembagian kembali) tanah belum berjalan optimal, sehingga masih terdapat ketimpangan yang besar antara pemilik tanah luas dengan anggota masyarakat yang memiliki tanah sempit, dan yang tidak memiliki tanah; Keempat, adalah fakta bahwa saat ini ketentuan tentang tanah absentee masih mudah disiasati oleh para pelanggarnya; Kelima, adalah fakta bahwa saat ini sebagian masyarakat masih enggan menerapkan ketentuan gadai, sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; Keenam, adalah fakta bahwa saat ini sebagian masyarakat masih enggan menerapkan ketentuan perjanjian bagi hasil pertanian, sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (Tanah Pertanian) dan ketentuan yang memperbarui teknis pelaksanaannya; Ketujuh, adalah fakta bahwa saat ini perlindungan terhadap tanah pertanian relatif lemah, sehingga banyak tanah pertanian yang berubah penggunaan dan pemanfaatannya menjadi tanah non pertanian, yang berdampak pada terjadinya ancaman terhadap ketahanan pangan nasional.
Setelah masalah agraria yang mendasar berhasil dipetakan, maka reforma agraria harus dirumuskan dan dilaksanakan sebagai formula solusi terhadap masalah tersebut. Tanpa kemampuan ini, maka reforma agraria hanya akan menjadi bagian dari utopia masyarakat dan pemerintah. Namun demikian sesungguhnya ketidak-mampuan tidalah layak disandang oleh program reforma agraria, karena di beberapa negara reforma agraria telah menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Jumat, 17 Agustus 2007

REFORMA AGRARIA


Reforma Agraria merupakan konsepsi yang dinamis. Ia dapat dikaji melalui berbagai perspektif, antara lain perspektif sosiologi. Perspektif sosiologi menekankan tiga hal yang harus diperhatikan oleh Reforma Agraria, yaitu: transendensi, humanis, dan emansipatori. Aspek transendensi perlu diperhatikan dalam Reforma Agraria, agar pembaruan agraria yang dilaksanakan tidak mendurhakai Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah Bangsa Indonesia mengakui, bahwa agraria (bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Sementara itu, aspek humanis perlu diperhatikan dalam Reforma Agraria, agar pembaruan agraria yang dilaksanakan tidak justru merendahkan martabat Bangsa Indonesia, sebagai manusia yang dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan aspek emansipatori perlu diperhatikan, agar pembaruan agraria yang dilaksanakan tidak justru membelenggu Bangsa Indonesia dalam "iron cage" (sangkar besi), yaitu globalisasi, liberalisasi perdagangan, kapitalisasi, globalisme, liberalisme, dan kapitalisme.
Tanpa Reforma Agraria yang transenden, humanis, dan emansipatori maka sulit bagi Bangsa Indonesia keluar dari kemiskinan yang menjebaknya bermasa-masa. Bukankah Bangsa Indonesia memahami, bahwa: Pertama, agraria merupakan sumberdaya yang akan terus menyertainya sejak lahir hingga "berakhir" (meninggal dunia). Kedua, selama ini ada hal urgen yang harus ditata, terutama bila berkaitan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan agraria. Ketiga, selama ada hal urgen yang membutuhkan pendekatan keadilan implementatif, terutama bila berkaitan dengan agraria dalam konteks asset dan akses.

Rabu, 15 Agustus 2007

NGEREFORM YUK...!

Wah kalau dengar kata "reform" rasanya berat. Ingat enggak waktu reformasi 1998, khan berdarah-darah. Tetapi mudah-mudahan reform yang ini enggak berdarah-darah, sepanjang dikelola dengan baik. Kata pakar sepanjang ada konsep yang jelas, kemudian di-planning, di-organizing, di-staffing, di-actuating, di-directing, dan di-controlling dengan baik, insyaAllah hasilnya baik dan tidak perlu berdarah-darah. Reform yang dimaksud adalah agrarian reform atau reforma agraria.
Reforma agraria, adalah sebuah konsepsi yang dirancang untuk memperbarui fakta agraria yang ada sekarang ini yang kurang adil dalam hal asset dan akses agraria. Oleh karena agraria meliputi sumberdaya yang berbasis bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, maka tanah adalah bagian dari agraria. Konsekuensinya, gagasan tentang reforma agraria haruslah diikuti dengan gagasan tentang reforma pertanahan atau land reform.
Ada beberapa hal yang harus difokus oleh reforma agraria dalam konteks pertanahan, misal: Pertama, filosofi, format, dan grand design pemberdayaan masyarakat dalam konteks pertanahan. Kedua, pembaruan prinsip dan grand design penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Ketiga, pembaruan prinsip dan grand design penetapan batas maksimum dan minimum penguasaan/pemilikan tanah. Keempat, pembaruan prinsip dan grand design penetapan ketentuan gadai tanah, tanah absentee, bagi hasil tanah pertanian, dan perlindungan tanah pertanian.

Minggu, 12 Agustus 2007

SOCIAL BOND DALAM...


"Bond" dalam Kamus Bahasa Inggris diterjemahkan sebagai "pertalian", "kerekatan", atau "ikatan". Sebagai contoh, "bond of friendship" diterjemahkan sebagai "tali persaudaraan". Ketika "bond" disandingkan dengan "social", maka ia menjadi "social bond", yang dapat diterjemahkan sebagai "pertalian sosial". Selanjutnya "social bond" dapat didefinisikan dengan lebih detail sebagai "pertalian, kerekatan atau ikatan antar anggota masyarakat yang dibangun oleh anggota masyarakat untuk menggalang kerjasama di antara mereka guna menyelesaikan beberapa persoalan yang dihadapi bersama."
Social bond merupakan sesuatu yang penting, karena dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mencegah konflik, menciptakan suasana saling memahami, dan menawarkan kerjasama. Social bond terjadi, pada saat: Pertama, individu setuju untuk dikontrol oleh individu lain dan masyarakat. Kedua, individu setuju memperkuat dan menstabilkan masyarakat. Ketiga, individu setuju untuk membangun jaringan dalam masyarakatnya.
Social bond semakin kuat, pada saat masyarakat berada pada sekala yang relatif kecil, yang memungkinkan dilakukannya pewarisan nilai-nilai sosial secara intens. Kuatnya social bond dalam suatu suatu masyarakat akan membatasi terjadinya pemikiran, sikap, dan perilaku menyimpang (perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat pada umumnya).
Dalam konteks pertanahan, social bond sangat bermanfaat dalam memperlancar proses-proses yang berhubungan dengan pertanahan, misal proses pendaftaran tanah. Pada proses pendaftaran tanah, social bond mendorong tetangga batas untuk hadir menyaksikan pengukuran bidang tanah, sebagai pemenuhan asas contradictoir de limitatie. Social bond juga mendorong para pihak yang mengetahui untuk memberi keterangan atau kesaksian dalam rangka pengumpulan data yuridis yang berkaitan dengan data-data kepemilikan bidang tanah yang diukur tersebut.

Rabu, 08 Agustus 2007

KONFORMITAS TAHAP PERSEPSI DAN MANIPULASI

Dalam rangka menguatkan daya konformitas masyarakat di bidang pertanahan, Kantor Pertanahan perlu melakukan penguatan pada tahap persepsi dalam formasi sikap masyarakat. Pertama, memberi informasi memadai yang relevan dengan kebutuhan pertanahan masyarakat. Kedua, menciptakan pengalaman yang mengesankan, ketika masyarakat mengakses informasi dan mengimplementasinya. Ketiga, memberi kesempatan yang relatif besar bagi masyarakat untuk dapat mengakses informasi pertanahan, sebagai dasar pembentukan persepsi tentang kebutuhan pertanahan masyarakat.
Sementara itu pada tahap manipulasi Kantor Pertanahan juga perlu menguatkan daya konformitas masyarakat, antara lain dengan melakukan langkah-langkah untuk mengurangi resistensi masyarakat terhadap nilai-nilai pertanahan yang tertuang dalam UUPA. Sebaliknya, Kantor Pertanahan wajib melakukan langkah-langkah peningkatan peluang bagi hadirnya sikap kooperatif masyarakat. Ketika beberapa upaya ini sukses dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan, maka pelayanan pertanahan yang dikelola oleh Kantor Pertanahan akan berhasil mencapai mindshare dan heartshare masyarakat.

Minggu, 05 Agustus 2007

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian sosiologi pertanahan dapat menggunakan dua metodologi penelitian, yaitu metodologi penelitian kuantitatif dan metodologi penelitian kualitatif. Kedua metodologi ini memiliki perbedaan, yang berguna untuk memenuhi keperluan peneliti yang satu sama lain berbeda-beda, dan untuk memenuhi tujuan penelitian yang juga beraneka-ragam. Pertama, obyek pengamatan pada Metodologi Penelitian Kuantitatif disebut "responden" (orang yang merespon karena mengalami), sedangkan pada Metodologi Penelitian Kualitatif disebut "informan" (orang yang menginformasikan karena mengetahui). Kedua, populasi pada Metodologi Penelitian Kuantitatif berupa keseluruhan obyek pengamatan, sedangkan pada Metodologi Penelitian Kualitatif berupa keseluruhan informasi yang berkaitan dengan fenomena yang diamati, yang ditetapkan oleh peneliti dalam interview guide. Ketiga, teknik sampling pada Metodologi Penelitian Kuantitatif berupa random sampling, sedangkan pada Metodologi Penelitian Kualitatif berupa non random sampling (yaitu: purposive sampling, atau snowball sampling). Keempat, hasil Metodologi Penelitian Kuantitatif bersifat general (ada proses generalisasi) dan berlaku umum, sedangkan Metodologi Penelitian Kualitatif bersifat unik (tanpa proses generalisasi) dan berlaku terbatas (pada lokasi dan kondisi tertentu).

Rabu, 01 Agustus 2007

KONFORMITAS TAHAP IMPULS

Dalam rangka menguatkan daya konformitas masyarakat di bidang pertanahan, Kantor Pertanahan perlu melakukan penguatan pada tahap impuls dalam formasi sikap masyarakat. Pertama, Kantor Pertanahan perlu membantu masyarakat dalam mengenali akar masalah yang dihadapi yang berkaitan dengan pertanahan. Kedua, membantu masyarakat mengenali kebutuhannya yang berkaitan dengan pertanahan, dalam rangka mengatasi akar masalah yang telah berhasil dikenalinya. Ketiga, membantu masyarakat melakukan mindmapping kebutuhan yang berhasil dikenalinya, untuk menentukan prioritas dan sekala aksi.

SIKAP MASYARAKAT

Sikap masyarakat terhadap kegiatan pertanahan tidaklah tiba-tiba, melainkan melalui proses formasi sikap. Pertama, proses ini diawali oleh impuls (dorongan hati). Pada tahap ini masyarakat mengidentifikasi kebutuhannya yang berkaitan dengan pertanahan; Kedua, proses persepsi (perception). Pada tahap ini masyarakat berupaya memahami kegiatan pertanahan yang akan disikapinya, yang relevan dengan kebutuhannya; Ketiga, proses manipulasi (manipulation). Pada tahap ini masyarakat berupaya menyiapkan beberapa alternatif sikap terhadap kegiatan pertanahan tertentu; Keempat, konsumasi (consumation). Pada tahap ini masyarakat melakukan eksekusi terhadap salah satu dari beberapa alternatif sikap yang telah disiapkannya.
Berdasarkan fakta sosiologis ini, maka selayaknya Kantor Pertanahan melakukan upaya penguatan daya konformitas masyarakat dengan memperhatikan tahapan-tahapan dalam proses formasi sikap. Sebagai contoh, dalam tahap impuls, Kantor Pertanahan hendaknya membantu masyarakat mengenali akar masalah yang dihadapi masyarakat. Kemampuan mengenali akar masalah, merupakan hal penting yang akan dapat membantu masyarakat mengetahui kondisinya saat ini dan korelasinya dengan prospeknya di masa depan dalam konteks pertanahan.

MEMAHAMI SOSIOLOGI PERTANAHAN

Pertanahan tidak akan dapat dilepaskan dengan konteks masyarakat. Ketika pertanahan dikelola, sesungguhnya yang sedang dikelola adalah perilaku masyarakat, yang berkaitan dengan pertanahan. Ilmu yang mempelajari masyarakat adalah sosiologi, maka ilmu yang mempelajari pertanahan dalam konteks masyarakat adalah sosiologi pertanahan.

PARTISIPASI MASYARAKAT



Partisipasi (participation), adalah menjadi peserta dari suatu proses komunikasi atau kegiatan bersama dalam suatu situasi sosial tertentu. Dalam konteks pertanahan, hal ini berarti kesediaan masyarakat untuk menjadi peserta dari suatu proses komunikasi atau kegiatan pertanahan.
Ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi berkaitan dengan partisipasi masyarakat di bidang pertanahan, yaitu: Pertama, partisipasi kehadiran (audience participation). Partisipasi ini terjadi ketika masyarakat bersedia menghadiri sosialisasi kegiatan pertanahan, misal: sosialisasi PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional); Kedua, partisipasi budaya (cultural participation). Partisipasi ini terjadi ketika timbul kesediaan masyarakat untuk mengikuti kegiatan pertanahan tertentu;
Ketiga
, partisipasi bertujuan (objective participation). Partisipasi ini terjadi ketika timbul kesediaan masyarakat untuk mengikuti kegiatan pertanahan secara lebih jauh lagi, karena telah mengetahui tujuan kegiatan tersebut; Keempat, partisipasi kebijakan (policy participation). Partisipasi ini terjadi ketika timbul kesediaan masyarakat untuk terlibat dan memberi kontribusi dalam perumusan kebijakan pertanahan. Contoh: masyarakat memberi kontribusi pemikiran (masukan) tentang tradisi lokal yang dapat mendukung PPAN; Kelima, partisipasi psikologis (psychological participation). Partisipasi ini terjadi ketika timbul kesediaan masdyarakat untuk melakukan proses formasi sikap untuk mendukung kegiatan pertanahan.

Selasa, 31 Juli 2007

NILAI - NILAI PERTANAHAN

Pada 24 September 1960 Bangsa Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang biasa disebut UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Saat ini banyak pemikiran bergaya kapitalis, yang merongrong nilai-nilai pertanahan yang terkandung dalam UUPA. Sebagaimana diketahui UUPA berjiwa populis-nasionalis dalam menata pertanahan di Indonesia. Nilai-nilai pertanahan yang terdapat dalam UUPA, antara lain: (1) Tanah dikuasai oleh Negara, untuk dikelola agar dapat mewujudkan kemakmuran rakyat; (2) Hubungan Bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi; (3) Hak Ulayat atas tanah dari masyarakat hukum adat diakui sepanjang masih ada, dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional; (4) Negara menetapkan jenis-jenis hak atas tanah, yang dapat mewujudkan kemakmuran rakyat; (5) Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial; (6) Hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hubungan sepenuhnya dengan tanah; (7) Setiap pemegang hak atas tanah wajib menjaga kemampuan tanah yang ada dalam tanggungjawabnya.
Oleh karena nilai-nilai pertanahan ini relatif populis-nasionalis, maka perlu mengupayakan agar terjadi konformitas masyarakat terhadap nilai-nilai ini. Konformitas (conformity), adalah perilaku masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai pertanahan yang terdapat dalam UUPA.
Pada gilirannya, konformitas barulah akan tercapai bila masyarakat memiliki daya konformitas, yaitu kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan perilakunya dengan nilai-nilai pertanahan yang terdapat dalam UUPA. Perlu diketahui, konformitas berbeda dengan adaptasi (adaptation). Bila konformitas merupakan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai tertentu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi tertentu, maka adaptasi merupakan perilaku yang sesuai dengan kondisi tertentu untuk mempertahankan eksistensi masyarakat. Boleh jadi pada awalnya masyarakat melakukan adaptasi, namun kemudian masyarakat mengembangkannya menjadi konformitas.