Senin, 31 Agustus 2009

MEMPERHATIKAN RASA KEADILAN

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang dicintai rakyatnya. Oleh karena itu, rakyat berjuang memerdekakan negeri ini ketika dijajah oleh Negara Dzalim, Belanda. Begitupun di masa-masa selanjutnya, rakyat terus berjuang ketika Negara-Negara Dzalim lainnya, seperti Jepang dan Inggris berusaha menguasai negara ini.
Uniknya, ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia telah relatif aman, maka rakyat justru tidak aman, mereka terancam oleh bahaya kesengsaraan, ketidak-sejahteraan, dan kemiskinan. Orde Lama tidak membuat rakyat lebih sejahtera, tepatnya, rakyat tetap miskin. Orde Baru tetap membuat rakyat miskin, karena yang sejahtera hanyalah kroni-kroni penguasa Orde Baru. Pada Orde Reformasi seperti saat ini, 40 juta keluarga rakyat tetap miskin.
Lebih uniknya lagi, di saat rakyat bergelut dengan kemiskinan, dana yang ada pada negara disalurkan hanya pada segelintir orang dengan jumlah yang relatif besar. Lihatlah kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang melibatkan dana triliunan rupiah, yang disalurkan ke perbankan termasuk perbankan swasta. Kasus lebih baru, pada Agustus 2009, wakil rakyat di DPR-RI terperangah mengetahui, bahwa ada dana sebesar Rp. 6,7 triliun disuntikkan oleh pemerintah ke Bank Century (lihat berbagai media-massa).
Keunikan-keunikan itu, ketika dikritik, dipertahankan dengan alasan telah berdasarkan hukum yang berlaku. Akibatnya rakyat menjadi terperangah, seperti inikah hukum Indonesia? Bagaimana mungkin, hukum yang bertujuan untuk menciptakan keadilan ternyata justru membangun ketidak-adilan. Hanya saja, jika diperhatikan penjelasan UUD. 1945 diketahui, bahwa ada pesan dari dari the founding fathers tentang pentingnya kesungguhan hati para penyelenggara negara untuk menegakkan rasa keadilan.
Sudah saatnya para pemimpin negeri, termasuk institusi tidak hanya berlindung pada keabsahan hukum dan formalitas administrasi, melainkan juga memperhatikan rasa keadilan. Jika tanah banyak dikuasai oleh perusahaan besar perkebunan, maupun kehutanan, maka rakyat tak lagi mendapat bagian tanah yang memadai. Jika investasi asing lebih diagung-agungkan daripada investasi dalam negeri, maka bangsa akan bergantung pada asing. Jika outsourcing lebih dimuliakan dari sumberdaya lokal, maka ketidak-adilan menjadi logo utama.
Oleh karena itu, dalam agama apapun selalu diingatkan agar pemimpin memperhatikan rasa keadilan, dan tidak hanya terpatri pada teks hukum dan formalitas administrasi. Seorang pemimpin juga selayaknya tidak under-estimates terhadap bangsa dan yang dipimpinnya, agar equalitas terjaga, seiring rasa hormat dan saling dukung yang terus berkembang semakin baik.
Pada gilirannya, rakyat akan menghormati pemimpinnya. Doa mereka akan selalu dipanjatkan untuk pemimpinnya, agar sang pemimpin dapat terus memimpin dengan penuh rasa keadilan. Rakyat akan mendukung segala sesuatu yang visioner yang berpeluang mensejahterakan mereka, meskipun harus menempuh perjuangan yang berat dan melelahkan.
Suatu saat, semoga Bangsa Indonesia dapat menikmati rasa keadilan, dalam frame Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam taburan darma bakti para pemimpinnya yang adil. Semoga, dan salam untuk semua pemimpin bangsa...

Rabu, 19 Agustus 2009

KEPERCAYAAN MASYARAKAT DI BIDANG PERTANAHAN

Kepercayaan masyarakat merupakan sesuatu yang penting bagi pemerintah dan masyarakat dalam konteks berbangsa dan bernegara di masa kini. Hal yang berkaitan dengan kepercayaan dikonstruksi oleh masyarakat dan pemerintah, dengan mendapat pengaruh yang ketat dari suatu sistem abstrak tertentu yang diberlakukan.
Berdasarkan sistem abstrak ini, maka suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah berpeluang untuk dipercaya, atau sebaliknya, tidak dipercaya oleh masyarakat. Sistem abstrak ini berupa konsepsi filosofis yang selanjutnya diturunkan dalam grand theory terpilih, lalu menjalar hingga middle theory dan aplicative theory, dan akhirnya bermuara pada konsepsi-konsepsi teknis.
Sesungguhnya masyarakat tidak perlu mempercayai suatu institusi yang kegiatannya terus menerus dapat dimonitor secara langsung. Bagi institusi semacam ini yang dibutuhkan adalah pengamatan terus menerus oleh masyarakat, agar kinerjanya dapat optimal.
Sebaliknya, masyarakat sangat perlu untuk mempercayai institusi yang sebagian kegiatannya tidak dapat dimonitor secara langsung oleh mereka. Salah satu institusi ini adalah kantor pertanahan, yang sebagian kegiatannya, misal proses yang dilakukan di back office mulai dari pemberkasan hingga pengambilan keputusan, tidaklah dapat dimonitor secara langsung oleh masyarakat. Kegiatan yang dapat dimonitor oleh masyarakat adalah kegiatan di front office dan hasil dari kegiatan back office.
Kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan sangat diperlukan, bila masyarakat tidak lagi dapat memonitor kegiatan di back office kantor pertanahan. Hal ini dikarenakan, seringkali ada informasi tentang suatu fenomena pertanahan yang belum mampu diterima secara utuh oleh masyarakat.
Kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan dibangun berdasarkan keandalan (reliability) sistem kerja bidang pertanahan yang dijalankan oleh kantor pertanahan. Kepercayaan masyarakat antara lain berupa keyakinan terhadap kejujuran dan kepedulian serta kebenaran prinsip-prinsip yang menjiwai atau dianut oleh sistem kerja bidang pertanahan.
Kepercayaan masyarakat semakin besar perannya dalam konteks interaksi pemerintah dengan masyarakat, ketika pemerintah berhasil mengelola tanda-tanda simbolik dan sistem keahlian yang tepat, yang "digemari" dan sekaligus dibutuhkan masyarakat, dengan tetap memberi output dan outcome yang menguntungkan masyarakat.
Dalam konteks pertanahan, maka pemerintah harus mampu: Pertama, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melahirkan sumber-sumber baru bagi kemakmuran masyarakat.
Kedua, meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
Ketiga, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberi akses secara proporsional kepada masyarakat dalam menguasai, memiliki, menggunakan, dan memanfaatkan tanah.
Keempat, menciptakan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi sengketa dan konflik pertanahan.