Senin, 12 April 2010

SEJARAH KERUNTUHAN BANGSA

Sejak memasuki tahun 2010, Bangsa Indonesia disuguhi oleh berbagai informasi tentang buruknya hukum, keadilan, dan kesejahteraan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Informasi ini tentu menyesakkan dada warga bangsa, yang sesungguhnya bersyukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas nikmatnya memiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdiri "atas berkat rahmat Allah, dan didorong oleh keinginan yang luhur" (lihat Pembukaan UUD 1945).

Kesesakan menjadi-jadi ketika ada ketidak-adilan dalam birokrasi, saat pegawai Kementerian Keuangan golongan III/a memiliki penghasilan resmi Rp.12 juta per bulan (dengan alasan "remunerasi"); sedangkan pegawai negeri sipil pada umumnya pada golongan tersebut hanya memiliki penghasilan resmi sekitar Rp. 3 juta per bulan. Kesesakan menjadi-jadi ketika para pejabat yang "banyak cakap" ternyata memiliki simpanan dalam rekeningnya hingga bermiliar-miliar rupiah. Kesesakan menjadi-jadi karena kolusi dan nepotisme masih tumbuh subur, dengan berbagai modus operandi.

Ibnu Khaldun (Bapak Sosiologi Dunia) pernah mengingatkan "jangan suka melupakan sejarah", yang ditimpali oleh Soekarno (Presiden Republik Indonesia Pertama) dengan singkatan "Jas Merah". Hal senada disampaikan Djoko Suryo (Guru Besar Sejarah Universitas Gadjah Mada), bahwa sejarah adalah jalinan masa lampau (past), masa kini (present), dan masa yang akan datang (future) dalam dimensi waktu dan ruang, yang mengandung kontinuitas waktu, dan diskontunuitas fenomena.

Belajar dari pesan Ibnu Khaldun, Soekarno, dan Djoko Suryo; maka kondisi Bangsa Indonesia dan Negara Kesatuan RepublikIndonesia memiliki kemiripan ciri dengan Negara Majapahit diakhir masa hidupnya. Tanpa perbaikan tata nilai secara individual dan kolektif, maka besar kemungkinan negeri tercinta ini akan collapse, sebagaimana Negara Majapahit. Semoga Allah SWT berkenan menghindarkannya...

Seharusnya sejarah yang dibuat oleh suatu bangsa, mampu memberi kontribusi bagi hadirnya stability (ketentraman), security (keamanan), dan comfort (kenyamanan). Sebagai contoh (dalam konteks pertanahan), maka fenomena pertanahan yang ditampilkan seharusnya memberi ketentraman, keamanan, dan kenyamanan bagi masyarakat pada umumnya. Fenomena pertanahan tidak boleh diabaikan, karena keruntuhan Negara Majapahit antara lain juga disebabkan oleh ketidak-adilan di bidang pertanahan. Ketika para pejabat Negara Majapahit menguasai tanah luas dengan kewenangan yang sangat besar, yang justru menyengsarakan masyarakat.

Kondisi "melek sejarah" sudah selayaknya ditebar pada segenap warga bangsa, agar peristiwa runtuhnya Negara Majapahit tidak di-copy paste oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Djoko Suryo mengingatkan, bahwa sejarah yang difahami hendaknya bersifat visioner, dengan menyeimbangkan penekanan orientasi kajiannya secara integratif, yang mencakup tiga dimensi temporal (masa lalu, masa kini, dan masa akan datang).

Melek sejarah dibutuhkan dalam berbagai konteks (hukum, keadilan, kesejahteraan, pertanahan, dan lain-lain). Dalam konteks pertanahan, tak ada satupun fenomena pertanahan yang muncul tiba-tiba. Tiap fenomena pertanahan mengalami proses, dan mensejarah dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan melek sejarah, tidak ada lagi warga bangsa yang mencontoh perilaku buruk pejabat Negara Majapahit di masa akhir sejarahnya.

Semoga Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap dalam perlindungan Allah SWT, dan setiap warganya dapat beribadah dengan khusyu kepadaNya, serta "rahmatan lil'alamiin" bagi sesamanya.

Referensi:
Djoko Suryo. 2009. "Transformasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi Indonesia Modern." Yogyakarta, STPN Press.