Minggu, 30 September 2007

PENGENDALIAN PERTANAHAN

Pengendalian pertanahan berarti pengekangan terhadap tindakan yang sewenang-wenang terhadap tanah, dan hal-hal yang berkaitan dengan tanah. Pengendalian pertanahan juga berarti pengaturan yang meliputi pembatasan terhadap kewenangan. Dengan demikian pengendalian pertanahan merupakan bagian tak terpisahkan dari kewenangan pertanahan, yang memberikan amanat bagi pemegang kewenangan untuk melakukan manajemen pertanahan, yang terdiri dari: (1) perencanaan pertanahan; (2) pengorganisasian bidang pertanahan; (3) pelayanan pertanahan; (4) pengendalian pertanahan; dan (5) pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan.
Sementara itu, pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan dapat berupa regulasi, yang memperbolehkan suatu tindakan dalam rangka mendorong dan memberikan kekuatan, tenaga, atau kemampuan masyarakat di bidang pertanahan. Termasuk dalam hal ini berbagai tindakan yang mendorong dan memberikan kekuatan, tenaga, atau kemampuan masyarakat di bidang pertanahan.
Pengendalian pertanahan dimaksudkan untuk mengarahkan, dan menertibkan tindakan para pihak terhadap tanah, agar tidak melampaui kewenangannya. Ketika pengendalian pertanahan dilaksanakan seiring dengan pemberdayaan masyarakat, maka akan terwujud pendayagunan tanah yang diperkuat oleh peningkatan tindakan para pihak yang sesuai dengan kewenangannya. Wujudnya berupa pelaksanaan hak dan kewajiban yang relevan dengan visi dan misi pengelolaan pertanahan.

Kamis, 13 September 2007

MENSIKAPI PELAYANAN PERTANAHAN


Masyarakat yang ideal adalah masyarakat sipil (civil society), yang memiliki kekuatan khas. Masyarakat sipil menurut Francis Fukuyama (dalam "Trust", 2002:5) memiliki kekuatan yang terletak pada kebiasaan, adat, dan etika masyarakatnya, beserta segenap atribut-atribut yang bisa dibentuk secara tidak langsung melalui tindakan politik yang sadar, dan dipupuk melalui kesadaran dan penghormatan yang tinggi terhadap kebudayaan. Berdasarkan kekuatannya ini masyarakat mensikapi banyak hal, termasuk pelayanan pertanahan. Oleh karena itu, ketika BPN-RI telah menerapkan Standar dan Prosedur Operasional Pelayanan Pertanahan dalam rangka memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, maka sudah selayaknya masyarakat memberikan kepercayaan yang tinggi (high trust) kepada BPN-RI.
Kepercayaan yang tinggi ini dikonstruksi berdasarkan: Pertama, adanya peluang bagi pemenuhan harapan masyarakat yang berupa terwujudnya keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif dari petugas pertanahan. Kedua, adanya norma-norma pelayanan pertanahan yang ditetapkan berdasarkan nilai-nilai luhur, keadilan, profesionalisme, dan etika perilaku.

KEMAMPUAN MENDAFTAR TANAH

Pasal 19 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Pokok Agraria mewajibkan Pemerintah (dalam hal ini BPN-RI atau Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) untuk melakukan pendaftaran tanah, yang meliputi kegiatan: Pertama, pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; Kedua, pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas tanah tersebut; Ketiga, pemberian surat-surat tanda bukti hak (sertipikat hak atas tanah), yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Dengan demikian seharusnya Pemerintah mendaftar seluruh bidang tanah di Indonesia. Tetapi karena keterbatasan dana, tenaga, dan peralatan, Pemerintah belum mampu mendaftar seluruh bidang tanah di Indonesia. Namun demikian sejak tahun 1961 Pemerintah telah berupaya melakukan kewajiban pendaftaran tanah dengan sebaik-baiknya. Hal ini terlihat dari jumlah bidang tanah yang telah didaftar oleh Pemerintah.
Untuk membahas kemampuan Pemerintah dalam mendaftar bidang tanah dapat diperhatikan fakta, sebagai berikut: Pertama, data pada tahun 1996 menunjukkan bahwa bidang tanah yang telah didaftar oleh Pemerintah berjumlah 13 juta bidang. Dengan demikian kemampuan Pemerintah dalam mendaftar bidang tanah pada tahun 1961-1996 adalah sebesar 361 ribu bidang per tahun; Kedua, pada tahun 1997 diketahui bahwa bidang tanah yang telah didaftar oleh Pemerintah berjumlah 18 juta bidang. Dengan demikian kemampuan Pemerintah dalam mendaftar bidang tanah pada tahun 1997 adalah sebesar 5 juta bidang per tahun; Ketiga, data pada tahun 1999 menunjukkan bahwa jumlah bidang tanah yang telah didaftar oleh Pemerintah berjumlah 22 juta bidang. Dengan demikian kemampuan Pemerintah dalam mendaftar bidang tanah pada tahun 1998-1999 adalah sebesar 2 juta bidang per tahun; Keempat, data pada tahun 2002 menunjukkan bahwa jumlah bidang tanah yang telah didaftar oleh Pemerintah berjumlah 23 juta bidang. Dengan demikian kemampuan Pemerintah dalam mendaftar bidang tanah pada tahun 2000-2002 adalah sebesar 333 ribu bidang per tahun.
Data-data tersebut menunjukkan adanya fluktuasi kemampuan Pemerintah dalam mendaftar bidang tanah pada tahun 1961-2002. Namun demikian terobosan terus menerus dilakukan oleh Pemerintah melalui berbagai program percepatan pendaftaran tanah.

Rabu, 12 September 2007

PENGENDALIAN ATAU PEMBERDAYAAN

Sesungguhnya antara "pengendalian" dengan "pemberdayaan" tidak layak diperhadapkan secara diametrikal. Terlebih lagi jika yang dimaksudkan adalah "pengendalian pertanahan" dengan "pemberdayaan masyarakat", karena pengendalian pertanahan dilaksanakan dalam rangka melakukan pemberdayaan masyarakat. Dengan kata lain, pengendalian pertanahan yang baik akan bersifat pemberdayaan bagi masyarakat.
Pengendalian pertanahan yang memberdayakan masyarakat merupakan bagian dari pengelolaan pertanahan, sebab dalam pengelolaan terdapat unsur: (1) perencanaan, (2) pengorganisasian, (3) pelaksanaan, dan (4) pengendalian. Pengelolaan pertanahan yang baik akan menghasilkan kebajikan yang relatif besar, terutama dalam konteks pelayanan, yang pada gilirannya akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja institusi pertanahan. Hanya saja, agar pengelolaan dapat dilaksanakan secara tepat dan terukur dibutuhkan norma-norma yang jelas, yang berisi hak dan kewajiban bagi stake holder (pemangku kepentingan).
Terdapat empat pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan pertanahan, yaitu: (1) regulator, (2) pengelola, (3) pemangku kontrol sosial, dan (4) pengguna. Keempat pemangku kepentingan ini bergerak dalam format berbasis peraturan perundangan, seperti: (1) Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001, (2) Undang-Undang Pokok Agraria dan undang-undang lainnya, serta (3) Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1998 dan peraturan pemerintah lainnya.