Senin, 29 April 2013

SEMANGAT MENSEJAHTERAKAN RAKYAT



Peraturan perundangan yang bersesuaian dengan dinamika masyarakat Desa Ngandagan, antara lain peraturan perundangan yang mengatur tentang kelebihan batas maksimal pemilikan tanah. Hal inilah yang diatur dalam Pasal 7 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau UUPA (Undang – Undang Pokok Agraria). Pasal ini menyatakan, bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Relevan dengan substansi Pasal 7 UUPA masyarakat Desa Ngandagan sejak tahun 1947, atau 13 tahun sebelum lahirnya UUPA, telah menerapkan semangat yang sama dengan substansi Pasal 7 UUPA.
Pada saat Desa Ngandagan dipimpin oleh Soemotirto (selaku Kepala Desa atau Lurah Desa Ngandagan), ia menginginkan warganya bisa makan secara merata, maka ia mengharuskan kulian (warga yang mempunyai tanah sawah seluas 300 ubin atau lebih) menyerahkan hak garap atas tanah sawahnya seluas 90 ubin kepada Pemerintah Desa Ngandagan, untuk kemudian diserahkan pada dua orang petani (disebut buruh kulian) yang tidak mempunyai tanah sawah. Dengan demikian kulian hanya menggarap tanah sawhnya seluas 210 ubin.
Berdasarkan cara pandang hukum (yuridis) diketahui, bahwa buruh kulian hanya mempunyai hak garap atas tanah sawah seluas 45 ubin, yang didukung oleh penguasaan fisik. Sementara itu, berdasarkan cara pandang hukum diketahui, bahwa tanah sawah seluas 210 ubin yang digarap oleh kulian merupakan hak milik adat, yang didukung oleh bukti yuridis dan penguasaan fisik. Landreform ala Ngandagan yang diluncurkan oleh Soemotirto di Desa Ngandagan pada tahun 1947, ternyata juga bersesuaian dengan Peraturan pemerintah Nomor 224 tahun 1961, yang mengatur tentang pembagian tanah pertanian atau redistribusi tanah pertanian. Dukungan yang sama juga diberikan oleh Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang pembagian tanah pertanian. Semangat mensejahterakan rakyat yang telah dipraktekkan oleh masyarakat Desa Ngandagan sejak tahun 1947 hingga saat ini, juga mendapat dukungan dari TAP MPR No IX/MPR/2001  tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sebagaimana diketahui Tap MPR ini merupakan sumber hukum dan dasar hukum dalam mensejahterakan petani. 
Selain membagi tanah sawah, Soemotirto juga membagi tanah tegalan kepada petani Desa Ngandagan yang tidak memiliki tanah. Soemotirto membagi tanah tegalan milik seorang Siten, yang bernama Kusumo Mangunharjo Besali, yang setelah ia meninggal tanah tersebut menjadi terlantar. Tegalan Siten ini terletak diperbatasan Desa Ngandagan dengan Desa Kapiteran. Tegalan Siten yang berada di Desa Ngandagan luasnya mencapai 10 Ha, yang digarap oleh 49 kepala keluarga petani. Realita  ini sesungguhnya telah ditangkap oleh UUPA, terutama ketika UUPA mengatur bidang tanah yang tidak dikelola secara aktif oleh pemiliknya. Pasal 27 UUPA menyatakan, bahwa hapusnya hak milik bisa karena tanahnya jatuh kepada Negara, yang disebabkan oleh: (1) pencabutan hak berdasar pasal 18 UUPA, (2) penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya, (3) ditelantarkan, dan (4) tanahnya musnah.