Peraturan
perundangan yang bersesuaian dengan dinamika masyarakat Desa Ngandagan, antara
lain peraturan perundangan yang mengatur tentang kelebihan batas maksimal pemilikan
tanah. Hal inilah yang diatur dalam Pasal 7 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960
atau UUPA (Undang – Undang Pokok Agraria). Pasal ini menyatakan, bahwa untuk
tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas tidak diperkenankan. Relevan dengan substansi Pasal 7 UUPA
masyarakat Desa Ngandagan sejak tahun 1947, atau 13 tahun sebelum lahirnya
UUPA, telah menerapkan semangat yang sama dengan substansi Pasal 7 UUPA.
Pada
saat Desa Ngandagan dipimpin oleh Soemotirto (selaku Kepala Desa atau Lurah
Desa Ngandagan), ia menginginkan warganya bisa makan secara merata, maka ia
mengharuskan kulian (warga yang mempunyai tanah sawah seluas 300 ubin atau
lebih) menyerahkan hak garap atas tanah sawahnya seluas 90 ubin kepada
Pemerintah Desa Ngandagan, untuk kemudian diserahkan pada dua orang petani
(disebut buruh kulian) yang tidak mempunyai tanah sawah. Dengan demikian kulian
hanya menggarap tanah sawhnya seluas 210 ubin.
Berdasarkan
cara pandang hukum (yuridis) diketahui, bahwa buruh kulian hanya mempunyai hak
garap atas tanah sawah seluas 45 ubin, yang didukung oleh penguasaan fisik. Sementara
itu, berdasarkan cara pandang hukum diketahui, bahwa tanah sawah seluas 210
ubin yang digarap oleh kulian merupakan hak milik adat, yang didukung oleh bukti
yuridis dan penguasaan fisik. Landreform ala Ngandagan yang diluncurkan oleh
Soemotirto di Desa Ngandagan pada tahun 1947, ternyata juga bersesuaian dengan
Peraturan pemerintah Nomor 224 tahun 1961, yang mengatur tentang pembagian
tanah pertanian atau redistribusi tanah pertanian. Dukungan yang sama juga
diberikan oleh Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang pembagian tanah
pertanian. Semangat mensejahterakan rakyat yang telah dipraktekkan oleh
masyarakat Desa Ngandagan sejak tahun 1947 hingga saat ini, juga mendapat
dukungan dari TAP MPR No IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sebagaimana diketahui
Tap MPR ini merupakan sumber hukum dan dasar hukum dalam mensejahterakan
petani.
Selain membagi tanah sawah, Soemotirto juga
membagi tanah tegalan kepada petani Desa Ngandagan yang tidak memiliki tanah.
Soemotirto membagi tanah tegalan milik seorang Siten, yang bernama Kusumo
Mangunharjo Besali, yang setelah ia meninggal tanah tersebut menjadi terlantar.
Tegalan Siten ini terletak diperbatasan Desa
Ngandagan dengan Desa Kapiteran. Tegalan Siten yang berada di Desa Ngandagan
luasnya mencapai 10 Ha, yang digarap oleh 49 kepala keluarga petani. Realita ini sesungguhnya telah ditangkap oleh UUPA, terutama
ketika UUPA mengatur bidang tanah yang tidak dikelola secara aktif oleh
pemiliknya. Pasal 27 UUPA menyatakan, bahwa hapusnya hak milik
bisa karena tanahnya jatuh kepada Negara, yang disebabkan oleh: (1) pencabutan
hak berdasar pasal 18 UUPA, (2) penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya, (3)
ditelantarkan, dan (4) tanahnya musnah.