Sabtu, 11 Juli 2015

RELASI KUASA DALAM STRATEGI PERTANAHAN


Ikhtiar agar isi strategi pertanahan mampu mengakomodasi kebutuhan petani, dan dapat diakui sebagai instrumen yang memberdayakan petani, serta dapat dimaknai sesuai tujuannya oleh pihak-pihak yang terkait langsung; akhirnya memunculkan relasi kuasa dalam memberdayakan petani. Relasi kuasa (power relation) adalah hubungan antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya berdasarkan ideologi tertentu. Kekuasaan (power) adalah konsep yang kompleks dan abstrak, yang secara nyata mempengaruhi kehidupan mereka. Kekuasaan didefinisikan sebagai kemampuan pemangku kepentingan, untuk menentang atau mendukung individu atau kelompok lainnya (lihat Thomas, 2004:10).
Relasi kuasa para pihak sehubungan dengan adanya strategi pertanahan, terdiri dari relasi antara pihak-pihak, sebagai berikut: (1) Pemerintah Desa, sebagai pihak yang menetapkan strategi pertanahan; (2) petani, sebagai pihak yang menjadi sasaran strategi pertanahan; (3) kelompok tani, sebagai pihak yang memperjuangkan kepentingan petani; (4) gabungan kelompok tani, sebagai pihak yang memperjuangkan kepentingan kelompok tani.
Adanya relasi kuasa akibat strategi pertanahan berpotensi menimbulkan konflik. Namun demikian diketahui, bahwa saat konflik telah berada dipuncak dalam bentuk kemacetan, maka konflik akan menurun dan menuju tahap pengurangan (de-escalation), yang selanjutnya mengalami negosiasi dalam rangka mencapai konsensus. Sumber konflik meliputi: Pertama, pemaknaan tanah oleh stakeholders, yang meliputi perbedaan makna tanah menurut pemerintah desa, petani, kelompok tani, dan gabungan kelompok tani. Kedua, hak dan akses atas tanah, yang meliputi kepemilikan serta akses terhadap keuntungan dan nilai-nilai pertanahan yang dianut. Ketiga, kontestasi antar aktor, yaitu: pemerintah desa, petani, kelompok tani, dan gabungan kelompok tani
 Dinamika kekuasaan dan relasi kuasa (power relation) merupakan faktor yang telah melipat-gandakan dan menjadi penyebab merebaknya kemiskinan (poverty). Serangan komprehensif terhadap kemiskinan dan ketidak-setaraan (inequality) berasal dari kekuasaan (power), termasuk peran konstruktif dan destruktif kekuasaan. Pendekatan untuk mereduksi kemiskinan seringkali mengabaikan kebutuhan utama masyarakat, serta meremehkan (underestimate) dan mengabaikan relasi kuasa yang justru memelihara kemiskinan (Moncrieffe, 2004:7-11).
Angus Stewart (dalam Agusta, 2008:266-267) membagi kekuasaan dalam dua bagian, yaitu: Pertama, kekuasaan yang hadir dalam bentuk dominasi, yang dikenali sebagai kekuasaan meliputi (power over) sesuatu atau seseorang. Kekuasaan jenis ini dipandang sebagai alat strategis untuk mencapai tujuan, melalui mobilisasi sumberdaya. Selain itu, kekuasaan juga sejajar dengan otoritas, sehingga memiliki keresmian dan legitimasi, untuk mendesakkan keinginan kepada orang lain; Kedua, kekuasaan yang hadir dalam bentuk pemberdayaan, yang dikenali sebagai kekuasaan terhadap (power to) sesuatu atau seseorang. Kekuasaan jenis ini dipandang sebagai wujud otonomi masyarakat, melalui proses intersubyektif yang mampu menciptakan solidaritas bersama.
Keberadaan power over relation dan power to relation relevan dengan definisi yang diungkapkan Robert A. Dahl (1957:201). Baginya kekuasaan (power) merupakan terma (istilah) relasi antar orang (manusia), yang dinotasikan dalam simbol sederhana. Ia (1957:202) juga mengungkapkan, bahwa para ilmuwan tidak hendak memproduksi satu teori tentang kekuasaan, misal: Theory of Power, melainkan para ilmuwan cenderung memproduksi beraneka-ragam teori, yang masing-masing dengan cakupan terbatas.
Kekuasaan (power) dapat bersifat konfliktual (conflictual) dan koersif (coercive), sehingga ia perlu dibangun melalui konsensus (consensus) dan legitimasi (legitimacy). Kekuasaan bukanlah hal sederhana yang ada dengan sendirinya, melainkan sesuatu yang harus dikultivasi (cultivated). Kekuasaan tidak akan kehilangan kekuatannya, bila ia digunakan dengan memanfaatkan berbagai taktik untuk mempengaruhi berbagai agenda. Kekuasaan merupakan wujud adanya kewenangan yang legitimate (Moncrieffe, 2004:26-27).
Kekuatan kekuasaan semakin nampak, ketika pandangan Marx, Weber, dan Gramsci diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Mereka bertiga adalah orang-orang yang menekuni teori kekuasaan (power) pada masyarakat berbasis kelas. Karl Marx (1818-1883) mengeksplorasi kekuasaan dalam relasinya dengan buruh, kelas, ekonomi, dan sistem kapitalisme. Menurut Marx, di bawah kapitalisme para pekerja dipaksa menjual tenaganya kepada kaum kapitalis, yang akan menggunakan tenaga ini untuk mengakumulasi modal lebih banyak, untuk meningkatkan kekuasaan kaum kapitalis atas para pekerja.
Sementara itu, Max Weber (1864-1920) sepakat tentang perlunya distribusi kekuasaan dalam proses yang berkaitan dengan buruh. Weber mengeksplorasi kekuasaan dalam terma kewenangan (authority) dan manajemen dalam birokrasi negara. Menurut Weber, kekuasaan adalah kesempatan yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang untuk menentukan sikapnya terhadap suatu tindakan komunal, termasuk menentang orang lain yang berpartisipasi pada tindakan komunal tersebut. Berbeda dengan Marx dan Weber, Antonio Gramschi (1891-1937) mengajukan teori hegemoni sebagai perspektif, untuk menganalisis struktur dan agensi. Teori hegemoni mendasarkan diri pada pandangan Kaum Marxis, yang bergerak melintasi reduksionisme ekonomi (Murphy, 2007:12-19).
Kekuasaan berbasis kelas tidaklah sepenuhnya benar, karena Foucault (dalam Sutrisno, 2005:154) menjelaskan, bahwa kekuasaan bukan milik sispapun, kekuasaan ada di mana-mana, dan kekuasaan adalah strategi. Kekuasaan adalah praktik yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu. Kekuasaan menentukan susunan, aturan, dan hubungan dari dalam. Kekuasaan bertautan dengan pengetahuan yang berasal dari relasi-relasi kekuasaan yang menandai subyek. Oleh karena itu, kekuasaan memproduksi pengetahuan, dan pengetahuan menyediakan kekuasaan. Kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, melainkan juga dapat melalui normalisasi dan regulasi.
James C. Scott (1981 dan 2000) menjelaskan, bahwa ketika para petani (peasant) mendapatkan ketidak-adilan, maka mereka tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan melakukan resistensi. Strategi perlawanan ini (resistensi) dimaksudkan untuk mempertahankan diri dengan cara-cara yang lunak demi kelangsungan hidupnya. Perlawanan semacam ini oleh beberapa pihak sering tidak diakui sebagai perlawanan, karena tindakannya tidak mengancam pemilik kuasa (power). Bentuk resistensi antara lain tdak ikut gotong royong, berbohong, ngemplang, dan sabotase. Bentuk perlawanan tidak frontal ini dapat terjadi, karena adanya moralitas petani yang lebih mementingkan keselamatan (keselarasan) dibanding konflik.
Pendapat James C. Scott dijernihkan oleh Samuel Popkin (1979), yang  menyatakan, bahwa tindakan petani tidak semata-mata karena moralitas petani, melainkan karena pertimbangan rasional. Resistensi muncul dari kesadaran untuk memilih tindakan terbaik dan paling menguntungkan bagi petani. Caranya antara lain dengan beralih ke pekerjaan lain (non pertanian), cara ini lebih efisien daripada melakukan protes atau menentang penguasa. 
Hubungan para aktor dapat berwujud kerjasama, bahkan dapat menimbulkan konflik, sehingga untuk memelihara relasi tersebut, diperlukan skema resolusi konflik atau penyeimbangan kekuasaan antar aktor. Hubungan masing-masing aktor dalam ranah pengelolaan sumberdaya alam juga ditentukan oleh ideologi politik/kekuasaan dan orientasi ekonomi yang dianut aktor (Innah, 2012:98).

Senin, 29 April 2013

SEMANGAT MENSEJAHTERAKAN RAKYAT



Peraturan perundangan yang bersesuaian dengan dinamika masyarakat Desa Ngandagan, antara lain peraturan perundangan yang mengatur tentang kelebihan batas maksimal pemilikan tanah. Hal inilah yang diatur dalam Pasal 7 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau UUPA (Undang – Undang Pokok Agraria). Pasal ini menyatakan, bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Relevan dengan substansi Pasal 7 UUPA masyarakat Desa Ngandagan sejak tahun 1947, atau 13 tahun sebelum lahirnya UUPA, telah menerapkan semangat yang sama dengan substansi Pasal 7 UUPA.
Pada saat Desa Ngandagan dipimpin oleh Soemotirto (selaku Kepala Desa atau Lurah Desa Ngandagan), ia menginginkan warganya bisa makan secara merata, maka ia mengharuskan kulian (warga yang mempunyai tanah sawah seluas 300 ubin atau lebih) menyerahkan hak garap atas tanah sawahnya seluas 90 ubin kepada Pemerintah Desa Ngandagan, untuk kemudian diserahkan pada dua orang petani (disebut buruh kulian) yang tidak mempunyai tanah sawah. Dengan demikian kulian hanya menggarap tanah sawhnya seluas 210 ubin.
Berdasarkan cara pandang hukum (yuridis) diketahui, bahwa buruh kulian hanya mempunyai hak garap atas tanah sawah seluas 45 ubin, yang didukung oleh penguasaan fisik. Sementara itu, berdasarkan cara pandang hukum diketahui, bahwa tanah sawah seluas 210 ubin yang digarap oleh kulian merupakan hak milik adat, yang didukung oleh bukti yuridis dan penguasaan fisik. Landreform ala Ngandagan yang diluncurkan oleh Soemotirto di Desa Ngandagan pada tahun 1947, ternyata juga bersesuaian dengan Peraturan pemerintah Nomor 224 tahun 1961, yang mengatur tentang pembagian tanah pertanian atau redistribusi tanah pertanian. Dukungan yang sama juga diberikan oleh Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang pembagian tanah pertanian. Semangat mensejahterakan rakyat yang telah dipraktekkan oleh masyarakat Desa Ngandagan sejak tahun 1947 hingga saat ini, juga mendapat dukungan dari TAP MPR No IX/MPR/2001  tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sebagaimana diketahui Tap MPR ini merupakan sumber hukum dan dasar hukum dalam mensejahterakan petani. 
Selain membagi tanah sawah, Soemotirto juga membagi tanah tegalan kepada petani Desa Ngandagan yang tidak memiliki tanah. Soemotirto membagi tanah tegalan milik seorang Siten, yang bernama Kusumo Mangunharjo Besali, yang setelah ia meninggal tanah tersebut menjadi terlantar. Tegalan Siten ini terletak diperbatasan Desa Ngandagan dengan Desa Kapiteran. Tegalan Siten yang berada di Desa Ngandagan luasnya mencapai 10 Ha, yang digarap oleh 49 kepala keluarga petani. Realita  ini sesungguhnya telah ditangkap oleh UUPA, terutama ketika UUPA mengatur bidang tanah yang tidak dikelola secara aktif oleh pemiliknya. Pasal 27 UUPA menyatakan, bahwa hapusnya hak milik bisa karena tanahnya jatuh kepada Negara, yang disebabkan oleh: (1) pencabutan hak berdasar pasal 18 UUPA, (2) penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya, (3) ditelantarkan, dan (4) tanahnya musnah.

Minggu, 11 November 2012

ADZAB ALLAH SWT UNTUK POLISI MALAYSIA



Sahabat-Sahabatku yang baik hatinya, pada kesempatan ini marilah kita berdoa agar Allah SWT berkenan mengadzab polisi Malaysia, yang berbuat dzalim kepada TKI (Tenaga Kerja Indonesia), baik TKI yang laki-laki maupun TKI yang wanita (TKW atau Tenaga Kerja Wanita). Doa ini penting untuk mengurangi jumlah polisi Malaysia yang berbuat dzalim. Termasuk dalam doa ini adalah para pimpinan dan tokoh Malaysia yang mengabaikan kedzaliman polisi Malaysia terhadap TKI.

Kita (Bangsa Indonesia) sudah berulang-kali mendengar tentang penembakan semena-mena yang dilakukan polisi Malaysia terhadap TKI yang menewaskan banyak TKI, dan kita juga sudah berulang-kali mendengar perkosaan yang dilakukan polisi Malaysia terhadap TKW. Oleh karena itu marilah dengan segenap kerendahan hati di haribaan Allah SWT, kita memohon agar Allah SWT berkenan menurunkan adzabnya pada polisi Malaysia, dan para pimpinan serta tokoh Malaysia yang mengabaikan kedzaliman polisi Malaysia terhadap TKI.

Semoga Allah SWT berkenan mengabulkan doa kita ini.....

...

Minggu, 02 September 2012

INSENTIF BAGI DESA PELESTARI KEMAMPUAN LINGKUNGAN



Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, ketika akan menetapkan suatu desa sebagai desa yang akan mendapat insentif, berupa sertipikasi hak atas tanah secara massal, antara lain: Pertama, bahwa untuk menjaga kelestarian fungsi lindung kawasan hutan diperlukan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung dan sawah lestari, khususnya lindung di luar kawasan hutan. Kedua, bahwa untuk meningkatkan partisipasi masyarakat diperlukan peningkatan kesejahteraan melalui pemberian insentif berupa hak milik atas tanah, atas perannya dalam menjaga keseimbangan kelestarian kemampuan lingkungan hidup di wilayahnya. 

Sebagai contoh, suatu desa yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan kelestarian lingkungan hidup di wilayahnya, dapat diberi insentif berupa PRODA (Proyek Operasi Daerah Agraria). Insentif ini sesungguhnya diberikan oleh Pemerintah Provinsi setempat, yang kemudian disalurkan melalui Kantor Wilayah BPN (Badan Pertanahan Nasional) Provinsi kepada Kantor Pertanahan Kabupaten setempat.

Pendanaan bagi kegiatan PRODA tersebut dapat diambil dari Pemerintah Provinsi oleh Kepala Bagian Tata Usaha Kantor Wilayah BPN Provinsi, untuk kemudian ditransfer ke Kantor Pertanahan Kabupaten. Setelah dana dari Kanwil BPN Provinsi cair, lalu ada surat dari Kantor Wilayah BPN Provinsi yang menyatakan, bahwa dana tersebut merupakan dana stimulan, maka pembiayaan selebihnya menjadi beban peserta PRODA, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang PNBP di Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. 

Surat dari Kantor Wilayah BPN Provinsi ini wajib direspon dengan tepat oleh Kepala Seksi Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat yang menjadi pelaksana PRODA di Kantor Pertanahan Kabupaten setempat. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 menyatakan, bahwa apabila ada perjanjian maka biaya yang dipungut sesuai dengan yang diperjanjikan.

Sebagaimana biasanya pelaksanaan PRODA berpeluang mengalami kendala eksternal dan internal, yang menjadi tanggungjawab Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat untuk mengatasinya, dengan tetap berkoordinasi dengan seksi lain di Kantor Pertanahan Kabupaten setempat, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Desa setempat.

Agar PRODA yang dilaksanakan berbasis pelestarian kemampuan lingkungan, maka perlu ditetapkan tujuan, bahwa penyelenggaraan kegiatan sertipikasi tanah di kawasan lindung dan sawah lestari adalah untuk meningkatkan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat, melalui pemberian insentif berupa hak milik atas tanah. Insentif diberikan sebagai bentuk apreasiasi atas peran masyarakat dalam menjaga keseimbangan kelestarian kemampuan lingkungan hidup di kawasan lindung dan sawah lestari.

Hasil akhir dari kegiatan sertipikasi hak atas tanah di kawasan lindung dan sawah lestari adalah memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah kepada masyarakat, yang telah ditetapkan menjadi peserta Kegiatan Sertipikasi Tanah di Kawasan Lindung dan Sawah Lestari. Dengan demikian diharapkan masyarakat (peserta kegiatan PRODA) dapat memanfaatkannya untuk hal-hal yang positif, guna meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya.” 

Pada saat melaksanakan PRODA keseluruhan biaya yang tersedia akan digunakan untuk lima kegiatan, sebagai berikut: (1) penyuluhan, (2) pengumpulan data yuridis, (3) pengukuran bidang, (4) penetapan hak, dan (5) penerbitan sertipikat hak atas tanah.

Pada umumnya, dalam pelaksanaan sertipikasi tanah pada Kegiatan Sertipikasi Tanah di Kawasan Lindung dan Sawah Lestari tidak ada permasalahan yang berarti. Hanya saja perlu diperhatikan dengan seksama (karena urgensinya), masalah komunikasi yang seringkali menyebabkan penyelesaian sertipikat hak atas tanah agak terlambat.

Selamat merenungkan, semoga Allah SWT berkenan meridhai segenap ikhtiar bagi terwujudnya tanah untuk kemakmuran rakyat...

InsyaAllah...

...