Rabu, 21 Januari 2009

TANAH VERSUS HUTAN

Selayaknya masyarakat dapat bersifat kritis terhadap Hukum Tanah Nasional, yang tersebar pada berbagai Undang-Undang, seperti Undang-Undang Pokok Kehutanan, dan lain-lain yang terkadang tidak memihak rakyat. Bukankah banyak contoh, masyarakat yang secara tradisional tinggal di hutan, tiba-tiba harus keluar dari tempat tinggalnya, karena berdasarkan hukum (Kehutanan), hutan tempat tinggalnya telah beralih menjadi taman nasional. Inilah praktek mengatur tanah dengan Hukum Hutan (Rimba), yang akhirnya merugikan masyarakat.
Oleh karena itu, legal drafting bukanlah satu-satunya faktor yang dapat menentukan kualitas Hukum Hutan (Undang-Undang Pokok Kehutanan). Membuat Hukum Hutan memerlukan seni (art) dalam memahami masyarakat, dan teknik yang memadai dalam menuangkan realitas sosial dalam sebuah teks hukum. Dengan demikian pembuat Hukum Hutan, hendaknya memiliki kemampuan identifikasi yang tinggi, agar ia dapat membedakan antara tanah dengan hutan, atau antara kewenangan Hukum Tanah dengan Hukum Hutan.
Hal ini diharapkan dapat mengurangi ekses negatif, ketika banyak pihak mengklaim diri sebagai pengelola hutan, padahal hutannya rusak. Parahnya lagi, ketika hutannya rusak, tanahnya ikut rusak. Akhirnya semua ini bermuara pada penderitaan rakyat yang semakin miskin dan rawan bencana.