Senin, 23 Februari 2009

TANTANGAN REFORMA AGRARIA

Reforma agraria merupakan upaya untuk memberi penguatan asset masyarakat yang berupa tanah, dan sekaligus upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap tanah. Dalam perspektif manajemen, reforma agraria merupakan format pelayanan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia kepada masyarakat. Meskipun reforma agraria merupakan kebutuhan masyarakat, namun ia merupakan kewajiban negara, dalam penyelenggaraannya. Walaupun, tetap saja dalam prakteknya, reforma agraria sangat membutuhkan partisipasi masyarakat.
Sebagai format pelayanan, maka reforma agraria memiliki tantangan sebagai berikut:
Pertama, reforma agraria haruslah mudah (esier). Pelaksanaan reforma agraria hendaklah dapat mudah difahami oleh banyak pihak, termasuk masyarakat. Untuk itu diperlukan formula yang memenuhi logika dan rasionalitas masyarakat.
Kedua, reforma agraria haruslah cepat (faster). Pelaksanaan reforma agraria hendaklah tidak terlalu lama. atau jangan ditunda-tunda lagi, sebab akan kehilangan momentum. Penundaan reforma agraria akan membangkitkan konflik sosial yang akan mengganggu harmoni kebangsaan.
Ketiga, reforma agraria haruslah murah (cheaper). Pelaksanaan reforma agraria hendaklah dapat dijangkau oleh anggaran negara, baik melalui anggaran pemerintah pusat, maupun anggaran pemerintah daerah.
Keempat, reforma agraria haruslah lebih baik (better). Pelaksanaan reforma agraria hendaklah dapat memberikan upaya optimal bagi pencapaian keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Dengan demikian akan tercipta struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih adil.
Kelima, reforma agraria haruslah memenuhi prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Pelaksanaan reforma agraria yang memenuhi prinsip-prinsip ini akan lebih dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat.

Sabtu, 21 Februari 2009

Rabu, 18 Februari 2009

KEMISKINAN DI KABUPATEN PURWOREJO

Ada 7 (tujuh) kecamatan di Kabupaten Purworejo, yang patut mendapat perhatian dalam konteks kemiskinan, dari 16 kecamatan di Kabupaten Purworejo. Ketujuh kecamatan tersebut, meliputi: (1) Kecamatan Bruno, (2) Kecamatan Kaligesing, (3) Kecamatan Purworejo, (4) Kecamatan Butuh, (5) Kecamatan Kutoarjo, (6) Kecamatan Bener, dan (7) Kecamatan Banyu-urip.
Pertama, Kecamatan Bruno. Berdasarkan kondisi desa miskin, maka 78 % desa yang ada di kecamatan ini adalah desa miskin. Berdasarkan kondisi keluarga miskin, maka 49 % keluarga di kecamatan ini adalah keluarga miskin.
Kedua, Kecamatan Kaligesing. Berdasarkan kondisi desa miskin, maka jumlah desa miskin di kecamatan ini tidak terlalu menonjol (tidak tinggi dan tidak rendah) dalam konteks Kabupaten Purworejo. Berdasarkan kondisi keluarga miskin, maka 45 % keluarga di kecamatan ini adalah keluarga miskin.
Ketiga, Kecamatan Purworejo. Berdasarkan kondisi desa miskin, maka 20 % desa yang ada di kecamatan ini adalah desa miskin. Berdasarkan kondisi keluarga miskin, maka 29 % keluarga di kecamatan ini adalah keluarga miskin.
Keempat, Kecamatan Butuh. Berdasarkan kondisi desa miskin, maka jumlah desa miskin di kecamatan ini tidak terlalu menonjol (tidak tinggi dan tidak rendah) dalam konteks Kabupaten Purworejo. Berdasarkan kondisi keluarga miskin, maka 29 % keluarga di kecamatan ini adalah keluarga miskin.
Kelima, Kecamatan Kutoarjo. Berdasarkan kondisi desa miskin, maka jumlah desa miskin di kecamatan ini tidak terlalu menonjol (tidak tinggi dan tidak rendah) dalam konteks Kabupaten Purworejo. Berdasarkan kondisi keluarga miskin, maka 28 % keluarga di kecamatan ini adalah keluarga miskin.
Keenam, Kecamatan Bener. Berdasarkan kondisi desa miskin, maka 79 % desa di kecamatan ini adalah desa miskin. Berdasarkan kondisi keluarga miskin, maka jumlah keluarga miskin di kecamatan ini tidak terlalu menonjol (tidak tinggi dan tidak rendah) dalam konteks Kabupaten Purworejo.
Ketujuh, Kecamatan Banyu-urip. Berdasarkan kondisi desa miskin, maka 15 % desa di kecamatan ini adalah desa miskin. Berdasarkan kondisi keluarga miskin, maka jumlah keluarga miskin di kecamatan ini tidak terlalu menonjol (tidak tinggi dan tidak rendah) dalam konteks Kabupaten Purworejo.
Dengan demikian, diketahui bahwa Kecamatan Bruno merupakan kecamatan termiskin di Kabupaten Purworejo, baik berdasarkan kondisi desa miskin (78 %), maupun berdasarkan kondisi keluarga miskin (49 %).

Sabtu, 14 Februari 2009

REFORMA AGRARIA DI ASIA

Reforma agraria dilaksanakan oleh banyak negara, dalam rangka memberi penguatan asset masyarakat yang berupa tanah, termasuk memfasilitasi penguatan akses masyarakat terhadap asset yang berupa tanah. Untuk konteks Asia, ada dua model reforma agraria yang dapat dicontoh, yaitu model sosialis dan model kapitalis. Reforma agraria model sosialis dipraktekkan oleh China dan Vietnam, sedangkan model kapitalis diperagakan oleh Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang.
Reforma agraria model sosialis menekankan pada peran negara yang relatif besar. Pada model ini tanah-tanah para tuan tanah disita oleh negara, untuk diredistribusikan kepada petani tak bertanah. Para tuan tanah tetap diperkenankan memiliki dan menguasai tanah, namun dengan luas tertentu yang ditetapkan oleh negara. Reforma model sosialis dilaksanakan dengan tanpa beban biaya finansial untuk transfer tanahnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya tanah-tanah yang disita oleh negara.
Reforma agraria model kapitalis menekankan pada sinergitas antara peran negara, petani tak bertanah, dan tuan tanah. Pada model ini tanah-tanah para tuan tanah dibeli oleh negara dengan harga yang layak, untuk diredistribusikan kepada petani tak bertanah. Negara memberikan tanah ini kepada petani tak bertanah tidak secara gratis, melainkan memberikan dengan harga yang memadai, yang akan dibayar oleh petani penerima tanah tersebut dengan cara mengangsur. Reforma agraria model kapitalis dilaksanakan dengan beban finansial yang yang rendah untuk transfer tanahnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya tanah-tanah yang diperoleh negara dengan harga yang layak (bagi tuan tanah), memadai (bagi petani tak bertanah), dan terjangkau (bagi negara).
Untuk Indonesia, hendaklah tidak terjebak pada kutub sosialis atau kapitalis, melainkan hendaklah dapat dilacak sebuah model yang khas Indonesia, agar sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, dan hukum Indonesia. Tujuannya adalah untuk mengantarkan kesejahteraan bagi rakyat, melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang berupa tanah, secara adil, lestari, dan optimal.

Sabtu, 07 Februari 2009

PILIHAN PARADIGMA DALAM REFORMA AGRARIA

Ada banyak pilihan paradigma yang dapat digunakan dalam pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, yang tentunya, apapun pilihannya tetap harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia. Paradigma tersebut, antara lain meliputi: (1) Paradigma Pro-Pasar, (2) Paradigma Anti-Pasar, dan (3) Paradigma Intervensi-Pasar.
Paradigma pro-pasar (pro-market), diadopsi dari pandangan Adam Smith tahun 1776. Paradigma ini beranggapan, bahwa reforma agraria akan berjalan dengan sendirinya, bila masyarakat mempraktekkan dengan konsekuen pasar tanah. Dengan kata lain, penawaran dan permintaan terhadap tanah diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Tiap-tiap anggota masyarakat dipersilahkan berkompetisi satu sama lain, dalam upayanya mendapatkan tanah.
Dalam pandangan paradigma pro-pasar, ada kekuatan harmoni dalam mekanisme pasar tanah. Oleh karena itu, tidak dibutuhkan intervensi pemerintah dalam pasar tanah, meskipun ada "riak" kecil dalam dinamika pasar tanah, seperti: (1) adanya tanah-tanah absentee yang dimiliki pihak tertentu, (2) adanya monopoli pihak tertentu terhadap asset yang berupa tanah dan akses terhadap tanah, dan (3) adanya peningkatan sewa tanah yang memberatkan petani, yang dikonstruksi oleh pihak tertentu.
Bagi Karl Marx, segala kerusakan yang ditimbulkan oleh pasar bukanlah "riak" kecil. Hal ini ia sampaikan setelah melakukan kunjungan dan penelitian di Irlandia, Inggris, dan Perancis antara tahun 1851-1871. Baginya, ini adalah kerusakan sosial terparah, yang menjerat manusia dan kemanusiaannya, dan sengaja dijeratkan oleh para pemilik modal dan tuan tanah. Pandangan Karl Marx yang kritis inilah, yang selanjutnya diadopsi sebagai "paradigma anti-pasar".
Paradigma anti-pasar berpandangan, bahwa hak milik atas tanah yang ada ditangan anggota masyarakat, terutama para pemilik modal dan tuan tanah, sangat membahayakan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penghapusan hak milik atas tanah, dan menggantinya dengan kepemilikan bersama (kolektif). Dengan demikian tidak terjadi jual beli tanah di masyarakat, yang selanjutnya akan menjamin keberlangsungan produktivitas tanah.
Namun demikian, paradigma pro-pasar dan paradigma anti-pasar mendapat penentangan keras dari paradigma intervensi-pasar. Paradigma ini (intervensi pasar) diadopsi dari pandangan John Stewart Mill. Sebagai scholar (sarjana), John Stewart Mill telah melakukan penelitian terhadap: (1) fenomena kelaparan petani Irlandia pada tahun 1845-1851, dan (2) fenomena perebutan tanah yang "keras" di Irlandia pada tahun 1879-1892. Berdasarkan hasil penelitiannya inilah, John Stewart Mill menyatakan, bahwa pasar tetap diperlukan oleh masyarakat, namun karena adanya ekses negatif yang berpeluang ditimbulkan oleh mekanisme pasar yang terlalu bebas (liar), maka dibutuhkan intervensi pemerintah. Dengan demikian, dalam konteks reforma agraria, paradigma intervensi pasar menyarankan agar pasar tidak diberangus (dihapus), melainkan dieliminir, direduksi, atau dikurangi ekses negatifnya melalui intervensi pemerintah.
Setelah memperhatikan pandangan paradigma pro-pasar, paradigma anti-pasar, dan paradigma intervensi pasar, maka dalam konteks Indonesia, selayaknya reforma agraria yang dilaksanakan berbasis pada pandangan, atau pemikiran paradigma intervensi pasar.

Minggu, 01 Februari 2009

REFORMASI PEMILIKAN TANAH

Reforma agraria terdiri dari: Pertama, penguatan asset, melelui reformasi pemilikan dan penguasaan tanah. Kedua, pemberian akses pada masyarakat, melalui reformasi penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Dengan demikian, sebagai bagian dari reforma agraria, maka reformasi pemilikan tanah memiliki arti strategis bagi pemberdayaan dan pensejahteraan masyarakat, melalui pengelolaan sumberdaya agraria (tanah). Ada empat alasan, yang menunjukkan arti strategis reformasi pemilikan tanah, yaitu:
Pertama, reformasi pemilikan tanah akan mengubah kondisi ekonomi, karena tanah tidak lagi dimonopoli oleh kelompok atau orang tertentu. Kondisi ekonomi berubah, karena akses terhadap tanah diperoleh oleh lebih banyak orang, sehingga keuntungan ekonomi dapat dirasakan oleh lebih banyak orang.
Kedua, reformasi pemilikan tanah menolak konsepsi "asal berubah". Perubahan tidaklah sebatas penghapusan tuan tanah, dan menggantikannya dengan sistem sewa atau kontrak. Reformasi pemilikan tanah meliputi redistribusi tanah kepada petani tak bertanah.
Ketiga, redistribusi tanah kepada petani tak bertanah, akan memberi manfaat, berupa: (1) Peningkatan martabat petani, yang akan membangkitkan jatidiri dan motivasinya, dalam memacu prestasi dan kinerja di bidang pertanian; (2) Peningkatan distribusi pendapatan pada kalangan yang lebih luas, sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya akan memicu peningkatan "putaran" ekonomi di sektor riil.
Keempat, redistribusi tanah kepada petani tak bertanah memerlukan tindakan, yang berupa penyisihan secara proporsional sebagian kawasan hutan dan perkebunan besar. Untuk itu, elemen substansi pengambil-alihan tanah merupakan bagian yang memerlukan pencermatan mendalam, agar tidak terjadi konflik antara petani tak bertanah dengan pengelola kawasan hutan dan perkebunan besar.