Sabtu, 17 Desember 2011

KRITIK GUNAWAN WIRADI TERHADAP BUKU "NGANDAGAN KONTEMPORER"

Pada acara ”Launching dan Diskusi Buku Terbitan STPN Press” dengan tema ”Membedah Persoalan Agraria” di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang 15 Desember 2011; Gunawan Wiradi berkesempatan membedah buku ”Ngandagan Kontemporer: Implikasi Sosial Landreform Lokal” yang ditulis oleh Aristiono Nugroho, Tullus Subroto, dan Haryo Budhiawan.


Gunawan Wiradi memberi kritik, sebagai berikut: Pertama, idenya bagus, tetapi cara penyajiannya terlalu campur aduk, sehingga sulit melihat konsistensi antara judul, tujuan, uraian, dan kesimpulannya.


Kedua, isi ”Pengantar” seharusnya tidak seperti itu. Sebagian besar isinya seharusnya masuk ke dalam bab ”Pendahuluan”. Dalam bab ”Pendahuluan” perlu ditegaskan tujuan menulis, fokusnya, dan teori pokok yang dijadikan dasar.


Ketiga, buku ini memfokuskan kepada masalah ”livelihood” , yang dengan demikian titik tolak kerangka pemikirannya juga didasarkan pada teori tentang itu. Jadi tidak perlu dicampuradukkan dengan teori-teori Derek Hall dan kawan-kawan, atau dengan teori Bernstein dan sebagainya. Cukup bertolak dari teori Elizabeth Walter. Menghubung-hubungkan dengan teori lain itu sebenarnya bagus, tetapi harus lebih dulu memahami paradigma masing-masing yang berbeda-beda.


Keempat, tidak ditemukan rumusan eksplisit mengenai proposisinya pada substansi. Walaupun dalam buku ini sebenarnya ada proposisi implisit. Ini bisa dilihat dari sistematika urutan bab-babnya. Digambarkan adanya tiga macam strategi (on-farm, off-farm, dan non-farm). Pertanyaannya: Siapa yang berstrategi-1, siapa yang berstrategi-2, dan siapa yang berstrategi-3. Apa saja cirri-ciri kelompok-1, kelompok-2, dan kelompok-3.


Kelima, pertanyaan tersebut muncul karena penyajian buku ini kurang analitis, melainkan hanya deskriptif, bahkan hanya menampilkan data mentah berupa kasus-kasus responden, sehingga belum dapat menghasilkan tipologi.


Keenam, koreksi terhadap kesalahan, sebagai berikut: (1) kesalahan mengenai pemahaman prinsip-prinsip landreform ala Ngandagan (halaman-3); (2) kesalahan memahami makna istilah-istilah (halaman: 85 dan 165); dan (3) kesalahan logika (halaman-87).

TANGGAPAN ARISTIONO NUGROHO ATAS KRITIK GUNAWAN WIRADI TERHADAP BUKU "NGANDAGAN KONTEMPORER"

Sebagai penulis buku ”Ngandagan Kontemporer: Implikasi Sosial Landreform Lokal”, Aristiono Nugroho menyampaikan terimakasih atas kritik yang diberikan oleh Gunawan Wiradi (Pakar Agraria Indonesia).


Namun demikian ada beberapa hal yang perlu dijelaskan berkaitan dengan kritik tersebut, sebagai berikut:


Buku “Ngandagan Kontemporer” disajikan dengan gaya “naratif segmentasi kondisional”, yang mengajak pembaca mengenali satu persatu strategi livelihood masyarakat Desa Ngandagan, dalam segmen on-farm, off-farm, dan non-farm, secara kondisional berdasarkan beberapa contoh pengalaman beberapa keluarga. Cara penyajian semacam ini memang masih jarang, tetapi menarik untuk dikembangkan, agar tidak ada lagi penulis buku yang terpenjara atau tersandera dengan cara-cara penyajian konvensional tertentu.


Sebagaimana diketahui ada cara penyajian konvensional yang mengharuskan “Pengantar” dan “Pendahuluan” berisi substansi tertentu. Tetapi cara ini tidak diikuti oleh Aristiono Nugroho dan kawan-kawan, karena ingin menyajikan tulisan yang lebih mampu menyemangati banyak pihak untuk bersedia belajar dari masyarakat Desa Ngandagan.


Oleh karena itu, “Pengantar” difokuskan pada upaya untuk menunjukkan, bahwa landrefrom lokal ala Desa Ngandagan yang diluncurkan oleh Soemotirto pada tahun 1947 ternyata masih relevan hingga saat ini dan masa yang akan datang. Hal ini ditunjukkan oleh kesesuaian fenomena Ngandagan dengan teori yang diungkapkan oleh Derek Hall dan kawan-kawan (Power of Exclusion, 2011) dan Henry Bernstein (Class Dynamic of Agrarian Change, 2010).


Sementara itu, bab “Pendahuluan” lebih difokuskan pada upaya untuk menunjukkan, bahwa ada landreform lokal ala Desa Ngandagan yang unik, dan mengalami adatisasi, serta berlaku hingga saat ini; yang pada gilirannya berkaitan dengan livelihood masyarakat Desa Ngandagan.


Bab-bab selanjutnya difokuskan pada upaya menggambarkan strategi livelihood masyarakat Desa Ngandagan pada ranah on-farm, off-farm, dan non-farm. Termasuk dalam hal ini mendeskripsikan keluarga-keluarga yang menerapkan strategi tersebut.


Berkaitan dengan prinsip landreform lokal ala Desa Ngandagan yang dideskripsikan pada halaman-3, sesungguhnya dimaksudkan untuk menggambarkan keunikannya, ketika dibandingkan dengan landreform nasional yang diselenggarakan pada tahun 1961.


Sementara itu, makna beberapa istilah yang dideskripsikan pada halaman 85 dan 165, merupakan istilah yang saat ini (2011) ada pada alam pikir masyarakat Desa Ngandagan, yang boleh jadi berbeda dari istilah-istilah yang ada di masa lampau (1947).


Khusus mengenai logika sebagaimana yang dideskripsikan pada halaman-87, merupakan logika yang dimainkan untuk menunjukkan beratnya menjadi bawon di masa kini, baik karena adanya saingan dari penebas, maupun karena adanya peningkatan kebutuhan keluarga. Oleh karena itu, logika ini tidak salah, melainkan berada pada posisi relatif ketika disandingkan dengan logika yang lain.

CATATAN DARI NOER FAUZI RACHMAN

Pada acara ”Launching dan Diskusi Buku Terbitan STPN Press” dengan tema ”Membedah Persoalan Agraria” di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang 15 Desember 2011; Noer Fauzi Rachman menyampaikan makalah dengan judul “Agraria Adalah Akibat, Kapitalisme Adalah Sebab: Menyegarkan Pemahaman Mengenai Cara Bagaimana Kapitalisme Berkembang.” Dalam makalah tersebut ia menyatakan:


Pertama, Fernand Braudel, seorang sejarawan Perancis, dalam bukunya ”Civilization and Capitalism 15th – 18th Century. Volume II: The Wheels of Commerce,” menyatakan bahwa manakala kapitalisme diusir ke luar dari pintu, maka ia akan masuk kembali lewat jendela.


Kedua, sistem produksi kapitalis adalah yang paling mampu dalam mengakumulasi keuntungan melalui: (1) kemajuan dan sophistikasi teknologi, (2) peningkatan produktivitas tenaga kerja per unit kerja, (3) efisiensi hubungan sosial dan pembagian kerja produksi, serta (4) sirkulasi barang dagangan.


Ketiga, Joseph A. Schumpeter dalam “Capitalism, Socialism, and Democracy” (1944) pada Bab: “Can Capitalism Survive” menyatakan, bahwa pada hakekatnya kapitalisme adalah suatu bentuk atau metoda perubahan ekonomi, yang bukan hanya tidak pernah statis, melainkan tidak pernah bisa statis.


Keempat, sebagai sistem produksi, kapitalisme memberi tempat hidup dan insentif bagi semua yang efisien, dan menghukum mati atau membiarkan mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya.


Kelima, pemberlakukan hukum agraria, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang mengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, merupakan suatu cara agar perusahaan-perusahaan kapitalis dari negara-negara penjajah di Eropa dapat memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam, yang kemudian mereka definisikan sebagai modal perusahaan-perusahaan itu.


Keenam, dalam upaya memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam, maka badan-badan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan lalu memagari suatu wilayah, dan mengeluarkan penduduk bumiputera (baca: asli) dari wilayah tersebut. Hubungan dan cara-cara penduduk bumiputera menikmati hasil dari tanah dan alam terlah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pemagaran wilayah secara fisik, hingga penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan yang tidak lagi dipangku oleh bumiputera.


Ketujuh, bila saja sekelompok rakyat melakukan protes dan perlawanan, untuk menguasai dan menikmati kembali tanah dan wilayah yang telah diambil alih pemerintah dan perusahaan-perusahaan itu. Akibatnya sangat nyata, yakni mereka dapat dikriminalisasi, dikenai sanksi oleh birokrasi hukum, atau tindakan kekerasan lainnya yang dapat saja dibenarkan secara hukum.


Kedelapan, David Harvey membedakan antara “accumulation by dispossession” dengan “accumulation by exploitation”. Accumulation by dispossession adalah akumulasi kekayaan atau keuntungan yang dilakukan melalui cara-cara perampasan, misal: korporasi raksasa yang terus menerus mengambil alih barang atau sumberdaya milik rakyat atas dukungan lembaga-lembaga negara. Sementara itu, accumulation by exploitation adalah akumulasi kekayaan atau keuntungan yang dilakukan melalui cara-cara pemerasan atau eksploitasi tenaga kerja dalam proses produksi dan sirkulasi barang.


Sementara itu, saat memberi penjelasan secara lisan, Noer Fauzi Rachman menjelaskan, bahwa kapitalisme tidak pernah hilang dari bumi Indonesia sejak adanya kolonialisme di Indonesia. Kapitalisme datang ke Indonesia bersama-sama dengan kolonialisme yang merupakan bentuk lain dari kapitalisme.


Kapitalisme dan kolonialisme hanya pernah jeda (istirahat) di bumi Indonesia, yaitu sejak tahun 1945 (Kemerdekaan Indonesia) sampai dengan tahun 1965. Sesudah itu (setelah 1965) kapitalisme dan kolonialisme kembali berkuasa di Indonesia dalam bentuk neo-kapitalisme dan neo-kolonialisme, hingga saat ini (2011).


Lebih jauh Noer Fauzi Rachman mengingatkan untuk kembali melihat sejarah terbentuknya Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. Pada awal berkuasanya Orde Baru, kehutanan hanyalah sektor yang dikelola oleh Ditjen Kehutanan di Departemen Pertanian. Namun dengan lahirnya UU. No.5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan” lembaga ini menjadi sangat berpengaruh. Pada tahun 1980-an dibuatlah di seluruh Indonesia Tata Guna Hutan Kesepakatan yang menetapkan sebagian besar wilayah Indonesia adalah wilayah hutan. Akibatnya dibutuhkan lembaga yang lebih besar, maka Ditjen. Kehutanan diubah menjadi Departemen Kehutanan, dan pada masa SBY menjadi Kementrian Kehutanan. Wilayah Kehutanan adalah wilayah yang steril dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) atau UU. No.5 Tahun 1960. UUPA tidak berlaku di kawasan (wilayah) hutan.

Sumber:

Noer Fauzi Rachman. 2011. “Agraria Adalah Akibat, Kapitalisme Adalah Sebab: Menyegarkan Pemahaman Mengenai Cara Bagaimana Kapitalisme Berkembang.” Makalah disampaikan pada acara ”Launching dan Diskusi Buku Terbitan STPN Press” dengan tema ”Membedah Persoalan Agraria” di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang 15 Desember 2011.

Minggu, 10 April 2011

TEORI FENOMENOLOGI

Salah satu kegiatan BPN-RI (Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) yang sangat bermanfaat bagi warga desa di pedalaman adalah Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah). Kantor Pertanahan memaknai Larasita sebagai mobile office yang siap melayani masyarakat di lokasi yang relatif jauh dari Kantor Pertanahan.


Untuk lebih mudah memahami konsepsi mobile office pada Larasita, perlu diperhatikan pandangan Max Weber yang menyatakan, bahwa tindakan manusia dapat menjadi hubungan sosial, bila manusia yang satu memberikan arti atau makna tertentu pada tindakannya, sedangkan manusia yang lain dapat memahami arti atau makna tersebut.


Dengan demikian Larasita bermakna mobile office, karena ia merupakan tindakan Kantor Pertanahan yang bernuansa sosial. Ketika Kantor Pertanahan memberikan arti atau makna Larasita sebagai mobile office, dan masyarakat dapat memahami arti atau makna tersebut melalui kinerja larasita, maka terbentuklah makna yang kuat bahwa Larasita merupakan mobile office.


Sementara itu, Alfred Schutz menunjukkan adanya bentuk inter-subyektivitas, yang memungkinkan terjadinya pergaulan sosial. Berdasarkan pandangan Alfred Schutz, maka diakui adanya interaksi antara pandangan Kantor Pertanahan dengan masyarakat yang keduanya sama-sama subyektif, atau sesuai kepentingan masing-masing.


Pergaulan sosial antara Kantor Pertanahan dengan masyarakat dalam konteks Larasita, tetap bergantung pada pengetahuan masing-masing, terutama dalam hal peranan masing-masing. Pengetahuan dan peranan ini akan mengalami suatu proses internalisasi yang juga dikenal sebagai proses memperibadi atau menjadi bersifat pibadi.


Konsep inter-subyektivitas dalam Larasita mengacu kepada suatu kenyataan, bahwa antara Kantor Pertanahan dengan masyarakat saling berinteraksi, saling memahami, dan saling bertindak. Sikap ini diperlukan untuk membangun kerjasama antara Kantor Pertanahan dengan masyarakat. Hanya saja sikap saling berinteraksi, saling memahami, dan saling bertindak memerlukan kesadaran para pihak.


Berdasarkan konsep inter-subyektivitas inilah Alfred Schutz membangun Teori Fenomenologi, yang dalam konteks Larasita diketahui bahwa tindakan Kantor Pertanahan yang menjadikan Larasita sebagai mobile office dapat menjadi suatu hubungan sosial, bila masyarakat memberikan arti, nilai, atau makna yang sama pada pelaksanaan Larasita.


George Ritzer menyatakan, bahwa bila diamati dengan seksama maka diketahui adanya empat unsur pokok dalam Teori Fenomenologi, yaitu: aktor (actor), sikap alamiah (natural attitude), masalah mikro (micro problem), dan proses tindakan (action process).


Dalam konteks Larasita, maka: Pertama, yang bertindak sebagai aktor, adalah Kantor Pertanahan dan masyarakat. Kedua, yang menjadi sikap alamiah, adalah sikap yang diisyaratkan atau ditunjukkan oleh Kantor Pertanahan dalam pelaksanaan Larasita dan sikap masyarakat dalam merespon Larasita. Ketiga, masalah mikro pada Larasita, adalah proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial yang berisi saling percaya antara Kantor Pertanahan dengan masyarakat. Keempat, proses tindakan yang berlangsung dalam Larasita, adalah proses yang mengantarkan masyarakat pada kondisi tertib, teratur, dan nyaman dalam memenuhi kebutuhan pelayanan pertanahannya, yang dibangun oleh Kantor Pertanahan dalam interaksinya.


Selamat mengamati…

Minggu, 03 April 2011

TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK

K.J. Veeger menyatakan, bahwa masyarakat terdiri dari individu-individu yang masing-masing berpikir sendiri, berkemauan sendiri, berperasaan sendiri, berbadan sendiri, dan beralamat sendiri. Dalam konteks pertanahan, fenomena sertipikasi tanah dapat didekati dengan menggunakan pandangan K.J. Veeger, di mana ada orang yang gemar mengurus sertipikasi tanahnya sendiri, tetapi ada pula orang yang lebih senang bila sertipikasi tanahnya diurus oleh orang lain.


Orang jenis kedua inilah yang membutuhkan peran biro jasa. Dengan kata lain institusi pertanahan dituntut untuk memberi “ruang” usaha bagi biro jasa pertanahan untuk menjalankan peran, tugas, dan fungsinya. Pengakuan terhadap biro jasa pertanahan merupakan pengakuan terhadap filsafat yang menolak pemisahan antara teori (hasil pengamatan terhadap praktek) dengan praktek. Filsafat ini juga menolak anggapan adanya value free science (ilmu atau sains bebas nilai).


Penolakan ini didasari pada kekhawatiran, bahwa sains semacam ini akan melucuti pengetahuan manusia dari ciri kemanusiaanya yaitu nilai-nilai kemanusiaan, meskipun diketahui bahwa value free science sendiri menolak anggapan bahwa pikiran manusia merupakan cerminan dari luar.


Dalam konteks pertanahan, tidak lagi masanya menutup diri dari fenomena biro jasa pertanahan, yang dikelola dan diaktivasi oleh orang-orang swasta yang profesional. K.J. Veeger menyatakan, bahwa manusia tidak secara pasif menerima saja pengetahuannya dari luar, tetapi secara aktif dan dinamis membentuk sendiri pengetahuan (pemikiran) dan perilakunya. Lingkungan hidup dan situasinya tidak mendeterminir (membatasi) dia, tetapi merupakan kondisi yang menjadi dasar bagi penentuan sikapnya.


Dalam konteks pertanahan, pandangan K.J. Veeger dapat dimaknai sebagai suatu keadaan di mana ada orang-orang yang memiliki kesibukan padat sehingga tidak memiliki waktu untuk mengurus sendiri sertipikasi tanahnya. Ketika K.J. Veeger menyatakan, bahwa manusia secara aktif dan dinamis membentuk sendiri pengetahuan dan perilakunya, maka dalam konteks pertanahan hal ini berarti, timbulnya peluang untuk mendirikan biro jasa pertanahan oleh swasta profesional.


Tepatlah kiranya, ketika John Dewey (1859-1952) menggaris bawahi kesatuan antara berpikir dengan bertindak, yang selanjutnya pandangan John Dewey ini mempengaruhi George Herbert Mead (1863-1931), sehingga George Herbert dapat “melihat” bahwa pikiran (mind) dan kedirian (self) merupakan dasar dari perilaku manusia, khususnya ketika berinteraksi dengan orang lain.


Urgensi biro jasa pertanahan merupakan pikiran yang ada pada diri pekerja pertanahan (swasta profesional), yang menjadi bagian dari diri pekerja pertanahan, yaitu memberi pelayanan terbaik pada masyarakat. Pikiran dan kedirian inilah yang kemudian menjadi dasar perilaku pekerja pertanahan, khususnya ketika berinteraksi dengan masyarakat.


David Jary dan Julia Jary menjelaskan, bahwa pandangan George Herbert Mead dipengaruhi oleh John Dewey dan Charles Horton Cooley. Sementara itu, K.J. Veeger menyatakan bahwa George Herbert Mead menaruh perhatian pada upaya manusia mengenakan arti pada dunianya.


Pada sisi lain, Abercrombie dan kawan-kawan menyatakan, bahwa George Herbert Mead menaruh perhatian pada kehidupan sosial, yang menurut Mead ditentukan oleh kemampuan manusia membayangkan dirinya pada peran sosial orang lain, dan kemampuan manusia yang bersangkutan berdiskusi secara internal dengan dirinya sendiri.


Dalam pandangan George Herbert Mead, urgensi biro jasa pertanahan akan mudah difahami oleh siapapun, apabila orang tersebut berkenan membayangkan dirinya sebagai orang yang tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk mengurus sertipikasi tanahnya sendiri.


Akhirnya issue biro jasa pertanahan, layak didekati dengan pandangan Herbert Blumer yang menyatakan, bahwa: Pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. Kedua, makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Ketiga, makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.


Berdasarkan pandangan Herbert Blumer, maka biro jasa pertanahan, perlu mendapat perhatian memadai dari institusi pertanahan. Apabila institusi pertanahan berkenan memiliki makna positif pada biro jasa pertanahan, maka makna yang dimiliki oleh institusi pertanahan berasal dari interaksi sosial antara intitusi tersebut dengan masyarakat. Selanjutnya, makna biro jasa pertanahan akan terus menerus diperbaiki selama interaksi berlangsung.


Terimakasih...

Selasa, 29 Maret 2011

TEORI AKSI

Teori Aksi (Action Theory) dibangun berdasarkan pemikiran Max Weber (1864-1920), Emile Durkheim (1858-1917) dan Vilfredo Pareto (1848-1923). Pada awalnya teori ini memusatkan perhatian pada persoalan makroskopik evolusi sosial, meskipun tetap terbuka untuk mengamati tindakan aktif dan pandangan kreatif manusia. Dengan kata lain, pada awalnya teori ini cenderung melihat kehidupan masyarakat sebagai wujud pemberian tekanan kekuasaan terhadap perilaku individu.


Dengan memanfaatkan teori ini, maka semakin mudah memahami manajemen pertanahan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), yang menganut dualisme, yaitu tanah-tanah yang berada di kawasan hutan dimanaje oleh Kementerian Kehutanan, dan tanah-tanah yang berada di luar kawasan hutan dimanaje oleh BPN-RI (Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia).


Berdasarkan Teori Aksi tahap awal diketahui, bahwa pembagian wilayah manajemen pertanahan, antara di luar dan dalam kawasan hutan, sesungguhnya merupakan wujud tekanan kekuasaan, yang dalam hal ini kekuasaan Kementerian Kehutanan. Dengan “wibawa” Kementerian Kehutanan, maka BPN-RI tidak berwenang memanaje tanah-tanah di kawasan hutan.


Teori Aksi berkembang ketika Charles Horton Cooley (1864-1924) membuktikan, bahwa sesuatu yang mempunyai arti penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah “kesadaran subyektif”. Cooley juga membuktikan bahwa perasaan-perasaan individual, sentimen, dan ide-ide merupakan faktor yang mendorong manusia untuk berinisiatif atau mengakhiri tindakannya terhadap orang lain.


Berdasarkan pandangan Cooley, maka pembagian wilayah manajemen pertanahan antara BPN-RI dengan Kementerian Kehutanan, merupakan format kesadaran subyektif yang dibangun sejak masa penjajahan atau masa Hindia Belanda. Pada masa itu hutan Indonesia diklaim sebagai milik Raja Belanda, yang diamanatkan kepada dinas kehutanan masa itu. Pembuktian dilakukan dengan membuat peta kehutanan, yang sesungguhnya tidak sah, karena dibuat oleh penjajah yang menghinakan hak rakyat Indonesia, yang seharusnya saat ini tidak lagi berkuasa.


Ide pewarisan harta Hindia Belanda merupakan faktor pendorong, yang menghasilkan inisiatif pembagian wilayah manajemen pertanahan antara BPN-RI dengan Kementerian Kehutanan. Pada kawasan hutan tidak berlaku Hukum Tanah Nasional yang berbasis pada Undang-Undang Pokok Agraria. Pada kawasan ini diberlakukan Undang-Undang Pokok Kehutanan, yang seharusnya hanya mengatur hutan saja, namun kemudian diperluas mengatur tanah-tanah di kawasan hutan.


Teori Aksi semakin berkembang di Amerika Serikat berkat jasa beberapa sosiolog Eropa yang mendukung teori ini melalui penerbitan karya-karya mereka, seperti: (1) Florian Znaniecki (1882-1958) melalui karyanya “The Method of Sociology” (1934) dan “Social Actions” (1936); (2) Robert M. Mac Iver melalui karyanya “Sociology: Its Structure and Changes” (1931); dan (3) Talcot Parsons (1902-1979) melalui karyanya “The Structure of Social Action” (1937).


Talcott Parsons menyatakan bahwa penggunaan istilah “action” (aksi atau tindakan) pada Teori Aksi dimaksudkan untuk membedakan teori ini dengan Teori Perilaku, yang menggunakan istilah “behavior” (perilaku atau tindakan yang dilakukan berulang-ulang). “Aksi” menunjukkan adanya suatu aktivitas, kreativitas dan proses penghayatan diri individu. Sedangkan “perilaku” menunjukkan adanya penyesuaian mekanistik perilaku, sebagai respon terhadap stimulus (rangsangan) dari luar.


Teori Perilaku mengabaikan sifat kemanusiaan manusia dan subyektivitas tindakan manusia. Sebaliknya, Teori Aksi sangat memperhatikan sifat kemanusiaan manusia dan subyektivitas tindakan manusia.


Akhirnya Roscoe Hinkle (1963), menyatakan, bahwa tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek, dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. Sebagai subyek, manusia bertindak atau berperilaku tertentu dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode, serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan.


Kelangsungan tindakan manusia dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi tindakan yang telah, sedang, dan akan dilakukannya. Ukuran-ukuran, aturan-aturan, atau prinsip-prinsip moral akan timbul pada saat pengambilan keputusan.


Oleh karena sampai saat ini tidak ada pihak otoritatif yang mengkritik pembagian wilayah manajemen pertanahan antara BPN-RI dengan Kementerian Kehutanan, yang bernuansa kolonial, maka kebijakan ini berlanjut terus. Terlebih lagi saat ini dunia memasuki era kolonial baru, yang dibungkus dalam konsepsi “perdagangan karbon”, maka kawasan hutan diberi status quo atau moratorium.


Akhirnya, kebijakan pembagian wilayah manajemen pertanahan antara BPN-RI dengan Kementerian Kehutanan berlangsung terus…

Minggu, 20 Maret 2011

TEORI KONFLIK

Pemilikan tanah adalah kewenangan yang ada pada seseorang atau badan hukum atas suatu bidang tanah. Berdasarkan kepemilikannya ini, ia dapat menyewakan atau melakukan bagi-hasil dengan seseorang atau badan hukum untuk menggunakan dan memanfaatkan sebidang tanah. Berdasarkan transaksi ini, maka timbul penguasaan tanah pada seseorang atau badan hukum yang bukan pemilik tanah. Penguasaan tanah berkaitan dengan kewenangan yang diberikan oleh pemilik tanah pada seseorang atau badan hukum untuk menggunakan dan memanfaatkan sebidang tanah.


Berdasarkan kewenangan menguasai yang ada pada seseorang atau badan hukum, orang atau badan hukum ini dapat menggunakan dan memanfaatkan bidang tanah tersebut. Penggunaan tanah adalah bentuk interaksi antara seseorang atau badan hukum dengan tanah yang dikuasainya. Wujud penggunaan tanah dapat berupa sawah, perkebunan, hutan tanaman industri, tegalan, dan lain-lain. Sementara itu, pemanfaatan tanah adalah bentuk konkrit manfaat yang dapat diambil atas sebidang tanah, misalnya dengan menanami padi (di sawah), karet (di perkebunan), pinus (di hutan tanaman industri), dan ketela pohon (di tegalan).


Ketika penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah diobservasi dengan menggunakan Teori Konflik, maka diketahui, bahwa: Pertama, berbagai perubahan yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan berpotensi menimbulkan pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Kebijakan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang tepat secara agroekologikal, tetap saja berpeluang menimbulkan pertentangan yang terus menerus di masyarakat. Apa lagi kebijakan yang tidak tepat, tentu akan menimbulkan pertentangan yang kuat, keras, dan terus menerus di masyarakat.


Kedua, setiap unsur dalam masyarakat memberi sumbangan bagi terjadinya disintegrasi sosial. Pihak yang mendapat keuntungan dan pihak yang mendapat kerugian atas dikeluarkannya suatu kebijakan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, sama-sama akan memberi sumbangan bagi terjadinya disintegrasi sosial. Pihak yang diuntungkan akan berupaya dengan sungguh-sungguh agar keuntungan yang diperolehnya semakin meningkat dan berkelanjutan; sehingga pihak ini siap menghadapi pihak manapun yang akan menggagalkan keuntungannya. Sementara itu, pihak yang dirugikan akan berupaya dengan sungguh-sungguh agar kerugian yang dialaminya dapat segera berhenti, dan diganti dengan keuntungan; sehingga pihak ini siap menghadapi pihak manapun yang telah merugikan dan menghalangi keuntungannya.


Ketiga, keteraturan yang terdapat di masyarakat hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan oleh golongan yang berkuasa. Bila hubungan antara pihak yang diuntungkan dengan pihak yang dirugikan nampak harmonis, maka hal ini merupakan fakta palsu, karena adanya peran dominan dari penguasa. Pihak yang menolak keteraturan akan mendapat hukuman yang berat dari pihak penguasa.


Keempat, distribusi wewenang dan kekuasaan yang tidak merata menjadi salah satu faktor yang secara sistematis menimbulkan konflik. Distribusi wewenang dan kekuasaan yang tidak merata menghasilkan adanya pihak yang diuntungkan, dan pihak yang dirugikan. Oleh karena itu, akan terus menerus terjadi konflik antara pihak yang diuntungkan, dengan pihak yang dirugikan. Menurut Lewis A Coser, konflik yang terjadi di masyarakat bersifat fungsional.

Fungsi konflik bagi masyarakat adalah mendorong terjadinya perubahan. Ralp Dahrendorf juga mengatakan, bahwa dalam situasi konflik, kelompok yang terlibat melakukan berbagai tindakan untuk mengadakan perubahan di masyarakat. Pada saat konflik semakin hebat, maka perubahan yang timbul juga semakin radikal. Demikian pula ketika konflik disertai tindak kekerasan, maka perubahan akan mencapai kehancuran struktur masyarakat.

Minggu, 13 Maret 2011

TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL

Ketika pengelolaan pertanahan diobservasi dengan menggunakan Teori Fungsional Struktural dari Talcott Parsons (1902-1979), maka diketahui, bahwa: Pertama, masyarakat memiliki suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Oleh karena itu, kebijakan pertanahan yang awalnya menyentuh salah satu elemen masyarakat akan mempengaruhi elemen lainnya.


Contoh fasilitas yang diberikan kepada para pengusaha dalam memperoleh tanah, akan mempengaruhi elemen masyarakat lainnya, yaitu petani. Para petani akan kalah dalam berkompetisi memperebutkan tanah, sehingga merusak kesejahteraan yang mereka bangun dengan susah payah.


Kedua, perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Contoh semakin luasnya tanah-tanah yang dikuasai oleh para pengusaha, akan mempersempit tanah-tanah yang dikuasai oleh para petani. Akibatnya tanah tak dapat lagi mendukung kesejahteraan petani, bahkan ada kesan tak adil yang dirasakan oleh petani dalam konteks penguasaan tanah.


Asumsi dasarnya adalah, bahwa setiap struktur dalam sistem sosial bersifat fungsional terhadap yang lain. Berdasarkan asumsi ini, maka diketahui bahwa para pengusaha merupakan strata yang fungsional, yaitu strata yang memiliki peluang berfungsi menindas para petani dengan kemampuan finansialnya. Demikian pula halnya dengan para petani, yang merupakan strata yang fungsional, yaitu strata yang memiliki peluang berfungsi ditindas oleh para pengusaha dengan menggunakan kemampuan finansial.


Teori Fungsional Struktural dikembangkan oleh Talcott Parsons (1902-1979) setelah ia memperhatikan dengan seksama pandangan Vilfredo Pareto (1848-1923) dalam “The Structure of Social Action” (1937). Dalam buku tersebut Pareto menyatakan, bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang berada dalam keseimbangan, dan merupakan satu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung. Perubahan satu bagian dapat menyebabkan perubahan pada bagian lainnya dari sistem tersebut.


Solusi bagi para petani dalam berkompetisi dengan para pengusaha, adalah dengan menegakkan keadilan dalam pengelolaan pertanahan. Perlu tekanan bagi kekuatan finansial para penguasaha, melalui kebijakan yang membuat kekuatan finansial menjadi tak berarti. Misalnya dengan membatasi luas penguasaan tanah, serta penertiban dan penindakan atas tanah-tanah yang diterlantarkan oleh para pengusaha.


Solusi ini, pada akhirnya menuntut perlunya pembatasan luas tanah yang berstatus HGU (Hak Guna Usaha). Bukan saatnya lagi, membiarkan para pengusaha menguasai tanah berstatus HGU dengan luas jutaan hektar. Kinilah saatnya luasan itu dibatasi, agar sebagian tanah eks HGU tersebut dapat dikuasai oleh petani. Dengan demikian, barulah petani berpeluang memiliki tanah yang memadai.


Ketika petani memiliki tanah yang memadai, maka saat itulah tanah dapat berkontribusi bagi kesejahteraan petani, memperlihatkan keadilan, menimbulkan harmoni sosial, dan mendukung terwujudnya keberlanjutan sistem.


Semoga Allah SWT berkenan…