Sabtu, 25 Februari 2012

INSTRUMEN REKAYASA SOSIAL

Berkaitan dengan instrumen rekayasa sosial, maka pelaksanaan pendaftaran tanah dapat dijadikan sebagai entry point bagi pembahasannya.



Pada pelaksanaan pendaftaran tanah terdapat norma yang dikonstruksi oleh peraturan perundangan yang berlaku, mulai dari Undang-Undang Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, hingga peraturan pelaksanaan lainnya yang berkaitan dengan pendaftaran tanah.



Konstruksi norma pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud, antara lain: Pertama, pada tahapan pemeriksaan berkas permohonan, dikonstruksi norma keaktifan anggota masyarakat dalam membuktikan dirinya sebagai pemilik yang sah atas suatu bidang tanah. Termasuk dalam hal ini kesediaan anggota masyarakat memanfaatkan jasa PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), yang aktanya bermanfaat dalam memperkuat pembuktian kepemilikan atas tanah.



Kedua, pada tahapan pembayaran biaya pengukuran dan pendaftaran hak atas tanah, dikonstruksi norma kesediaan anggota masyarakat membayar biaya pengukuran dan pendaftaran hak atas tanah.


Ketiga, pada tahapan penelitian data yuridis, dikonstruksi norma ketelitian anggota masyarakat dalam menyiapkan alas hak atau bukti awal pemilikan tanah.


Keempat, pada tahapan pemeriksaan lapangan tentang kebenaran data yuridis, dikonstruksi norma, yang berupa: (a) kejujuran anggota masyarakat dalam membuktikan kebenaran kepemilikan tanahnya; (b) kepedulian anggota masyarakat yang berbatasan dan berdekatan dengan pemilik tanah untuk bersedia memberikan informasi tentang tanah tersebut.


Kelima, pada tahapan pengukuran bidang tanah untuk mengumpulkan data fisik, dikonstruksi norma, yang berupa: (a) kesediaan pemilik tanah (anggota masyarakat) memasang tanda batas untuk menandai bidang tanah yang dimilikinya; (b) kesediaan pemilik tanah untuk berinteraksi dengan tetangga batas dalam penetapan batas bidang tanah, sebagai konsekuensi penerapan asas contradictoir delimitatie di Indonesia; (c) kepedulian tetangga batas (anggota masyarakat) untuk menghadiri penetapan batas bidang tanah; (d) pengakuan pemilik tanah terhadap hasil pengukuran oleh petugas kantor pertanahan.


Keenam, pada tahapan pengumuman data yuridis dan data fisik, dikonstruksi norma apresiasi (penghormatan) anggota masyarakat terhadap informasi pertanahan.


Ketujuh, pada tahapan pembukuan hak, dikonstruksi norma apresiasi anggota masyarakat terhadap budaya tulis atau budaya catat di bidang pertanahan, terutama yang berkaitan dengan pemilik tanah.


Kedelapan, pada tahapan penerbitan sertipikat hak atas tanah, dikonstruksi norma apresiasi anggota masyarakat terhadap hak dan kewajiban masyarakat, sehubungan dengan telah dibuktikannya pemilikan atas suatu bidang tanah.


Kesembilan
, pada tahapan penyerahan sertipikat hak atas tanah kepada pemohon, dikonstruksi norma kehati-hatian anggota masyarakat dalam menyimpan alat bukti yang kuat bagi pemilikan atas suatu bidang tanah.


Kesepuluh, pada tahapan paska penyerahan sertipikat hak atas tanah kepada pemohon, dikonstruksi norma kemampuan anggota masyarakat memanfaatkan sertipikat hak atas tanah yang ada padanya.


Kesepuluh norma yang berhasil dikonstruksi oleh peraturan perundang-undangan tentang pendaftaran tanah ini, merupakan bukti adanya penggunaan peraturan perundang-undangan sebagai instrumen rekayasa sosial. Tepatnya, peran hukum sebagai instrumen rekayasa sosial.



Selamat merenungkan, semoga Allah SWT meridhai...


Jumat, 17 Februari 2012

HIGH OR LOW TRUST

Fenomena kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan merupakan sebuah fakta sosial, yang memberi ruang memadai untuk dikaji. Hal ini diperkuat oleh pendapat Heru Nugroho (2000:67), bahwa fakta sosial yang ditangkap sebagai sebuah fenomena dapat dipertahankan eksistensinya dan dicermati kecenderungannya. Hanya saja terlebih dahulu perlu ditetapkan batasan tentang kepercayaan.


Elizabeth Walter (2004) menyatakan, bahwa kepercayaan (trust), adalah percaya bahwa seseorang itu baik dan jujur, serta tidak akan menciderai atau menyakiti. Selanjutnya Elizabeth Walter juga menyatakan, bahwa kepercayaan juga berarti, bahwa seseorang percaya terhadap orang lain yang dapat dipercaya.


Sementara itu, masyarakat mengandung arti sebagai sejumlah orang yang berada pada suatu lokalitas berdiam, yang memiliki kelengkapan kehidupan sosial, perasaan memiliki kesatuan tempat tinggal, dan memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu secara kolektif (lihat Paul S. Horton dan Robert Horton dalam Soeprapto, 1996:14).


Pernyataan kolektivitas masyarakat sebagaimana yang disampaikan oleh Paul S. Horton dan Robert Horton, akan memposisikan kepercayaan sebagai modal sosial sebagaimana diungkapkan oleh Francis Fukuyama (2000).


Francis Fukuyama (2000:iii) menjelaskan, bahwa kepercayaan adalah harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh anggota-anggota komunitas itu. Selanjutnya Francis Fukuyama juga menjelaskan, bahwa norma-norma tersebut dapat berupa standar profesional dank ode perilaku.


Pada bagian lain dari bukunya yang berjudul “Trust”, Francis Fukuyama menjelaskan, bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat sipil (civil society), yang memiliki kekuatan khas, yaitu kebiasaan, adaptasi, dan etika, serta segenap atribut-atribut yang dapat dibentuk secara tidak langsung melalui tindakan politik sadar, dan dipupuk melalui kesadaran dan penghormatan yang tinggi terhadap kebudayaan.


Kepercayaan yang muncul dari masyarakat memiliki dua kemungkinan, yaitu: (1) high trust, yaitu kepercayaan yang mencapai taraf tinggi, dan (2) low trust, yaitu kepercayaan yang hanya mencapai taraf rendah.


Kepercayaan antara lain didorong oleh adanya keyakinan terhadap kebenaran yang sedang diperjuangkan. David Jary dan Julia Jary (1991:670) mengingatkan, bahwa kebenaran adalah sesuatu yang berhubungan dengan fakta atau kejadian. Mereka menyebutnya sebagai “correspondence theory of truth”.


Fakta atau kejadian menjadi pendorong bagi diakuinya suatu kebenaran, yaitu suatu proposisi atau gambaran idea sebenarnya yang mewakili kondisi nyata. Dalam konteks pertanahan, kejadian ini dapat berupa beberapa kejadian, yang pada akhirnya akan “dibaca” oleh masyarakat sebagai: Pertama, suatu kejujuran atas kepedulian terhadap kondisi masyarakat. Kedua, suatu upaya yang mengandung kebenaran atas adanya prinsip-prinsip tertentu, yang boleh jadi masih bersifat abstrak.


Selamat merenungkan, semoga Allah SWT meridhai...

Sabtu, 11 Februari 2012

KEPERCAYAAN MASYARAKAT DAN EMPAT PRINSIP PERTANAHAN

Anthony Giddens (1991) menyatakan, “Kita tak perlu mempercayai seseorang yang terus menerus kelihatan, dan yang aktivitasnya dapat dimonitor secara langsung.”


Pernyataan ini menunjukkan, bahwa seseorang yang terus menerus kelihatan, dan yang aktivitasnya dapat dimonitor secara langsung, tidaklah memerlukan kepercayaan. Orang yang terus menerus kelihatan ini tidak membutuhkan kepercayaan, melainkan membutuhkan pengamatan terus menerus agar kinerjanya sesuai dengan tugas dan fungsinya.


Dengan kata lain, pengamatan merupakan instrumen pengganti kepercayaan, yang dimaksudkan untuk mengawal kefasihan orang yang diamati dalam menjalankan tugas dan fungsinya.


Ian Craib (1992) menyatakan, “Kepercayaan menjadi perlu, bila kita tidak lagi mempunyai informasi lengkap tentang fenomena sosial” (lihat Ritzer, 2005:556).


Pernyataan ini menunjukkan, bahwa kalaupun ada informasi tentang suatu fenomena sosial (misal: keberadaan kantor pertanahan), terkadang informasi tersebut tidak diterima secara lengkap oleh masyarakat. Saat itulah dibutuhkan kepercayaan masyarakat, misal: masyarakat percaya bahwa kantor pertanahan akan mensejahterakan mereka.


Kepercayaan yang dimaksud dalam konteks ini, adalah kepercayaan terhadap keandalan (reliability) seseorang atau sistem, yang berkenaan dengan sekumpulan kejadian atau hasil tertentu, di mana kepercayaan itu merupakan keyakinan terhadap kejujuran atas kepedulian orang lain, atau terhadap kebenaran prinsip-prinsip yang abstrak.


George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2005:556) menyatakan, bahwa kepercayaan sangat besar perannya, tak hanya dalam masyarakat modern pada umumnya, tetapi juga terhadap tanda simbolik, dan sistem keahlian yang membantu memisahkan kehidupan dalam dunia modern. Sebagai contoh, agar ekonomi uang dan sistem hukum dapat berfungsi, maka orang harus mempunyai kepercayaan terhadapnya.


Soerjono Soekanto (1998:37) menjelaskan, bahwa sejak dahulu kala jarang sekali kejadian adanya ahli pikir yang menguraikan (mendeskripsikan) masyarakat terlepas dengan konteks pertanahannya, sebagai suatu lingkungan di mana masyarakat tersebut berada.


Penjelasan ini menjadi penghubung konseptual antara penjelasan tentang fenomena kepercayaan yang ada di masyarakat, dengan konteks pertanahannya. Dengan kata lain terdapat fenomena kepercayaan masyarakat dalam konteks pertanahan, yang secara institusional berarti kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan.



Dalam konteks pertanahan, maka kepercayaan berkaitan dengan kebijakan pertanahan yang dicanangkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, yang dikenal dengan sebutan “Empat Prinsip Pertanahan”, yaitu:


Pertama, pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat;


Kedua, pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah;


Ketiga
, pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat, terutama tanah;


Keempat
, pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air, dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.

Selamat merenungkan, semoga Allah SWT meridhai…

Jumat, 03 Februari 2012

MEMBANGUN KEPERCAYAAN MASYARAKAT

Salah satu respon masyarakat yang berpeluang terjadi adalah kepercayaan, khususnya kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan. Kepercayaan (trust), adalah percaya bahwa seseorang itu baik dan jujur, serta tidak akan menciderai atau menyakiti. Kepercayaan juga berarti, bahwa seseorang percaya terhadap orang lain yang dapat dipercaya (lihat Walter, 2004).


Dalam konteks pertanahan, kepercayaan masyarakat merupakan sesuatu yang penting bagi kantor pertanahan. Hal ini disebabkan, salah satu agenda Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, adalah membangun kepercayaan masyarakat. Selain itu, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia juga mencanangkan “Empat Prinsip Pertanahan”, yang tentu merupakan bagian dari “skenario” membangun kepercayaan masyarakat.


Namun kepercayaan itu tetaplah berpulang tidak didapat dari masyarakat, karena demikianlah sikap masyarakat bagi kinerja kantor pertanahan. Dengan kata lain, pada satu sisi kantor pertanahan berharap adanya kepercayaan masyarakat, namun pada sisi yang lain masyarakat tidak percaya kepada kantor pertanahan.


Sebagaimana diketahui, pada umumnya kepercayaan masyarakat terhadap pensertipikatan tanah dapat muncul dan tumbuh berkembang, apabila dalam proses, waktu, dan biaya pensertipikatan tanah dikonstruksi:


Pertama, keteraturan, dengan menerapkan peraturan perundangan pensertipikatan tanah secara tertib. Kedua, kejujuran, dengan mencegah kebohongan dan khianat. Ketiga, perilaku kooperatif, dengan membangun kerjasama antara petugas pertanahan dengan masyarakat. Keempat, nilai luhur, dengan menerapkan kejujuran, kerjasama, dan sifat bijaksana. Kelima, nilai keadilan, dengan menerapkan prinsip perilaku yang sama, dan peniadaan kesewenang-wenangan. Keenam, profesionalisme, berupa penguasaan teknik keterampilan secara intelek (berpengetahuan).


Sementara itu, konstruksi kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan dikonstruksi melalui: Pertama, kontribusi pertanahan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat; Kedua, kontribusi pertanahan dalam meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah; Ketiga, kontribusi pertanahan dalam menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat, terutama tanah; Keempat, kontribusi pertanahan dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air, dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.


Selanjutnya untuk menguji, manfaat kinerja kantor pertanahan bagi masyarakat, perlu digunakan empat pertanyaan Henry Bernstein dalam ”Class Dynamic of Agrarian Change” (2010). Sehubungan dengan kinerja kantor pertanahan, maka pertanyaanya: Pertama, siapa memiliki apa atau who owns what? Kedua, siapa melakukan apa atau who does what? Ketiga, siapa mendapatkan apa atau who gets what? Keempat, apa yang mereka lakukan dari yang mereka dapatkan atau what do they do with it?


Bagi kantor pertanahan kabupaten yang mengelola tanah di wilayah pedesaan dan pertanian, seharusnya keempat pertanyaan tersebut dijawab, sebagai berikut: Pertama, kelompok elit memiliki tanah yang sangat luas. Kedua, pemerintah melakukan usaha, yang antara lain berupa pengambil-alihan tanah milik kelompok elit, dengan diberi ganti rugi yang layak, untuk kemudian diberikan kepada penggarap. Ketiga, penggarap mendapatkan tanah. Keempat, penggarap dapat mensejahterakan keluarganya.


Selamat merenungkan…