Sesuai dengan
tupoksi (tugas pokok dan fungsi), Kantor Pertanahan berupaya mensejahterakan
masyarakat, termasuk petani miskin. Dengan demikian selain menjadi tugas petani
yang bersangkutan, kesejahteraan petani juga menjadi tugas Kantor Pertanahan. Hal
ini menunjukkan adanya internalisasi kepentingan pada Kantor Pertanahan, di
mana tupoksi dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan dengan menggerakkan semua
seksi yang ada di Kantor Pertanahan.
Kesejahteraan
petani miskin, sebenarnya bukan hanya tugas Kantor Pertanahan, melainkan juga
merupakan tugas instansi-instansi lain, baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten.
Selain itu ada pengusaha, yang juga berkepentingan untuk mensejahterakan petani
miskin, sebagai tanggungjawab sosialnya, atau biasa dikenal dengan istilah CSR (Corporate Social Responsibility). Perlu
diketahui pula, bahwa tugas mensejahterakan petani miskin merupakan tugas
masyarakat, bahkan merupakan tugas petaninya itu sendiri.
Kantor Pertanahan
berupaya melayani masyarakat, baik yang miskin maupun yang sejahtera. Sementara
itu, khusus bagi yang miskin (ekonomi lemah) disediakan pelayanan sertipikasi hak
atas tanah yang spesial, seperti PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria) dan
PRODA (Proyek Operasi Daerah Agraria).
Sebagaimana
diketahui petani miskin membutuhkan modal untuk usahanya, maka sertipikasi hak
atas tanah merupakan salah satu jawaban atas kebutuhan tersebut. Dengan adanya
sertipikat hak atas tanah, maka petani miskin dapat memperoleh tambahan modal
bagi usahanya. Petani miskin dapat menjadikan tanahnya sebagai agunan, di mana
sertipikat merupakan salah satu syarat dari pihak bank, agar yang bersangkutan
dapat memperoleh kredit.
Persoalan menjadi
sulit untuk diatasi, ketika ternyata petani miskin ada yang tidak mempunyai
tanah. Bagi mereka ini solusinya tidak dapat dengan sertipikasi hak atas tanah,
melainkan dengan program redistribusi tanah.
Sementara itu, bantuan
bagi petani miskin perlu memperhatikan adanya struktur sosial yang memiliki
lapisan, sebagai berikut: Pertama,
lapisan atas yang terdiri dari petani kaya, dan para pengusaha. Lapisan inilah yang paling banyak
menguasai sumberdaya alam, termasuk tanah; Kedua,
lapisan menengah yang terdiri dari pamong desa, dan karyawan. Lapisan ini
seringkali berperan sebagai pendukung lapisan atas. Ketiga, lapisan bawah yang terdiri dari buruh dan buruh tani. Lapisan
ini yang paling mengalami banyak kendala dalam mengakses semberdaya alam
(tanah).
Struktur sosial
ini tidak menguntungkan bagi petani miskin, karena penguasaan sumberdaya alam
terbanyak dipegang oleh lapisan atas. Ironinya, lapisan bawah tidak mendapat
perhatian yang cukup dari negara/pemerintah, padahal mereka (lapisan bawah) tidak
memiliki kemampuan yang cukup untuk ”merebut” sumberdaya alam.
Kondisi inilah
yang menjadikan lapisan bawah, yang terdiri dari buruh dan buruh tani, akan tetap
miskin dan sulit sejahtera. Lapisan bawah berada pada posisi sulit, karena
tidak ada pihak yang membantu lapisan ini untuk meningkatkan kemampuan, dan
tidak ada pihak yang membantu mereka mendapat kuasa atas sumberdaya alam
(tanah).
Oleh karena itu,
bagi lapis terbawah yang memiliki tanah (walaupun relatif sempit), Kantor
Pertanahan menyediakan pelayanan sertipikasi hak atas tanah secara khusus,
seperti PRONA dan PRODA. Meskipun demikian, kegiatan yang digelar oleh Kantor
Pertanahan ini seringkali dianggap membebani masyarakat, karena adanya pungutan
yang dilakukan pemerintah desa berdasarkan keputusan dan peraturan daerah
setempat, misalnya pologoro.
Dalam kondisi
masyarakat yang serba sulit ini, beban masyarakat ditambah lagi dengan penerapan
pajak oleh Pemerintah Kabupaten, yang memberatkan masyarakat. Penerapan pajak
yang memberatkan ini dilakukan dengan cara, sebagai berikut:
Pertama, ketika ada jual beli, Pemerintah Kabupaten mengakui, bahwa harga adalah
kesepakatan antara penjual dengan pembeli, sebagaimana yang tertuang di akta
jual beli.
Kedua, tetapi Pemerintah Kabupaten berketetapan, bahwa angka yang tertera di
akta akan diabaikan.
Ketiga, untuk itu, akan ada Tim yang memeriksa ke lapangan, untuk mendapat angka
yang sebenarnya, sehingga pajak yang ditarik dari masyarakat dapat bertambah.
Kebijakan Pemerintah
Kabupaten ini sesungguhnya merupakan kebijakan yang tidak mengakui harga yang
tertuang dalam akta, padahal akta merupakan bukti tertulis, di mana penetapan
pajak seharusnya berdasarkan bukti tertulis yang menyebut harga tertentu.
Selamat
merenungkan, dan semoga Allah SWT meridhai ikhtiar mewujudkan tanah untuk
rakyat...
...