Sabtu, 28 Januari 2012

KEPASTIAN DAN KEADILAN TENURIAL

Dinamika pertanahan pada awal Abad 21 memperlihatkan ”perlawanan” masyarakat terhadap ketidak-pastian dan ketidak-adilan tenurial. Negara dipandang belum mampu menjalankan amanat konstitusi (Undang-Undang Dasar Tahun 1945), yaitu: ”melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.


Secara sosiologis penghuni pertama atas sebidang tanah mempunyai kedudukan yang kuat bagi kepemilikan atas tanah tersebut, sepanjang: Pertama, tidak ada pihak lain yang sebelumnya telah menempati tanah tersebut. Kedua, tanah tersebut dikuasai semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketiga, prosesnya menjadi penghuni pertama telah memenuhi norma sosial yang berlaku di masyarakat setempat. Keempat, kepenghuniannya mendapat pengakuan dari masyarakat setempat.


Penghuni pertama atas tanah dan penguasa pertama atas sumberdaya alam di Indonesia adalah Bangsa Indonesia, yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia sebagai masyarakat lokal atau masyarakat adat. Dinamika sosial kekinian yang berlangsung sejak awal Abad 21 ternyata telah mengancam kepenghunian dan kepenguasaan Bangsa Indonesia, masyarakat lokal, atau masyarakat adat terhadap tanah dan sumberdaya alam yang berada di wilayah Indonesia.


Terdapat fakta, bahwa saat ini pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam telah menjadi ajang eksplotasi, yang menimbulkan gerakan masyarakat (petani) yang lapar tanah dan sumberdaya alam. Masyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses tanah dan sumberdaya alam bagi pemenuhan kebutuhan hidup mereka.
Gerakan masyarakat ini adakalanya dilakukan dengan cara-cara yang lembut, sopan, dan santun. Tetapi adakalanya pula gerakan ini mengandung unsur kekerasan, sehingga mengkhawatirkan pengelolaan pertanahan dan sumberdaya alam di Indonesia, terutama pada awal Abad 21.


Sebagaimana diketahui, gerakan masyarakat yang lapar tanah disebabkan: Pertama, fungsi tanah, kandungan hasil bumi, ragam tanaman, dan hasil di atas tanah akan dieksploitasi secara masif. Kedua, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah terkonsentrasi pada pihak-pihak tertentu yang berakibat meningkatnya jumlah petani tuna kisma. Ketiga, penerbitan HGU (Hak Guna Usaha), serta pelaksanaan PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi).
Keempat, pengambil-alihan tanah masyarakat untuk keperluan kawasan industri, pariwisata, real estate, pergudangan, dan pembangunan fasilitas umum. Kelima, pencabutan hak rakyat atas tanah untuk keperluan penetapan taman nasional, hutan lindung dan sebagainya yang mengatasnamakan kelestarian lingkungan.


Dalam konteks tenurial,
Lynn Ellsworth dalam bukunya “A Place in the World: A Review of the Global Debate on Tenure Security” menjelaskan, bahwa sesungguhnya ada empat aliran dalam security of tenure yang sama-sama berpandangan bahwa pemilikan dan penguasaan atas tanah harus dilindungi. Tetapi keempat aliran ini memiliki perbedaan dalam fokus perlindungannya. Keempat aliran tersebut adalah, sebagai berikut: Pertama, property rights, yang fokus pada nilai hak (titles) atas tanah, yang dapat diperjualbelikan. Aliran ini berpandangan, bahwa property rights dapat dimaknai sebagai hak individual (private), yang merupakan prakondisi bagi kesejahteraan, karena mendorong efisiensi dalam produksi (pareto optimality). Sertipikat hak atas tanah merupakan bagian dari security of tenure, yang dapat diperdagangkan atau diagunkan dalam pasar tanah. Nilai (value) yang tidak berkaitan dengan pasar tanah tidak diperhitungkan, karena merupakan hal eksternal yang boleh dikorbankan demi efisiensi produksi.


Kedua
, agrarian structure, yang mempersoalkan keadilan pasar tanah, sehingga menuntut diberikannya perlindungan bagi ketidakpastian pemilikan dan penguasaan hak atas tanah. Oleh karena itu, perlu didorong lahirnya kelas menengah pedesaan yang menekuni usaha pertanian, dalam rangka transformasi dari struktur feodal menuju masyarakat yang demokratis. Aliran ini berpandangan, bahwa meskipun secara normatif sertipikasi hak atas tanah dapat melindungi petani dari kesewenang-wenangan negara atau korporasi, tetapi adakalanya justru berdampak yang sebaliknya. Jual beli tanah tidak ada kaitannya dengan efisiensi, karena keunggulan aktor dan kerumitan proses memainkan peran penting dalam pasar tanah.


Ketiga
, common property, yang mendorong dukungan bagi sistem pemilikan dan penguasaan tanah yang bersifat tradisional dan berbasis komunitas, terutama di kawasan hutan. Aliran ini berpandangan, bahwa tanah di kawasan hutan merupakan sumberdaya bersama yang penting bagi penghidupan kaum miskin, yang tidak dapat diperdagangkan. Pengakuan dan dukungan perlu diberikan bagi hak atas tanah dan sumberdaya alam yang telah turun temurun dimiliki masyarakat adat atau masyarakat lokal. Tepatnya pengakuan dan dukungan diberikan bagi common property (kepemilikan bersama), dan bukan sekedar open access bagi masyarakat adat atau masyarakat lokal. Oleh karena itu, kepastian hukum dalam konteks tenurial tidak hanya ditempuh melalui sertipikasi hak atas tanah, melainkan dengan melakukan revitalisasi pengelolaan tanah dan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat (community-based property) yang masih ada.


Keempat
, institutional, yang memfokuskan diri pada ekonomi politik bagi pembentukan ulang rejim pemilikan dan penguasaan tanah, dengan memperhatikan klaim khusus yang dilakukan masyarakat atas suatu pemilikan dan penguasaan tanah. Oleh karena itu, suatu rejim pemilikan dan penguasaan atas tanah dan sumberdaya alam harus diawali dari politik akses, serta kontrol dari beragam aktor sosial. Hal ini dikonstruksi dengan alasan, bahwa proses perubahan lingkungan merupakan hasil dari negosiasi dan kontestasi di antara berbagai aktor sosial. Dengan demikian yang diperlukan adalah adanya kekuasaan politik dan distribusi atas tanah dan sumberdaya alam yang tepat sasaran.


Selamat merenungkan...