Minggu, 22 Agustus 2010

ETOS PETANI KABUPATEN PURWOREJO

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2008, Kabupaten Purworejo terdiri dari 30.626,97 Ha tanah sawah dan 72.854,78 Ha tanah kering. Sebagai konsekuensi adanya tanah pertanian (tegalan, kebun campuran, dan sawah) di Kabupaten Purworejo, maka kabupaten ini memiliki petani, yang terbagi dalam tiga kategori, yaitu: (1) petani pemilik tanah pertanian sebanyak 146.650 orang atau 51,95 %, (2) petani penggarap tanah sebanyak 87.093 orang atau 30,86 %, dan (3) buruh tani sebanyak 48.521 orang atau 17,19 %.

Etos petani Kabupaten Purworejo menarik untuk diteliti, karena sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar bagi PDRB Kabupaten Purworejo. Sebagai contoh PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Purworejo yang pada tahun 2006 mencapai Rp.4.094.294.690.000,- ternyata mendapat kontribusi dari sektor pertanian sebesar Rp.1.429.300.660.000,- atau 34,91 %.

Metode Kualitatif yang dilengkapi dengan Pendekatan Rasionalistik diterapkan pada penelitian ini, yang antara lain menyandarkan argumennya pada Filsafat Rasional, yang menyatakan bahwa ilmu berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan berargumen secara logik. Dengan memanfaatkan metode ini dapat diperoleh data kualitatif dari para informan, yang selanjutnya dilakukan analisis kualitatif untuk mendapatkan fakta.


Berdasarkan hasil penelitian diketahui, bahwa ”selamat” merupakan etos petani Kabupaten Purworejo. Etos ini diperlihatkan oleh segenap ikhtiar yang mereka lakukan untuk menyelamatkan hidup keluarganya. Caranya dengan melakukan berbagai strategi livelihood, seperti strategi on – farm, off – farm, dan non – farm. Oleh karena kondisi yang tidak memungkinkan, pada umumnya petani tidak hanya melaksanakan salah satu strategi, melainkan melaksanakan gabungan beberapa strategi. Ketika strategi on – farm gagal memberi kesejahteraan, petani memadukan strategi ini dengan strategi off – farm atau strategi non – farm. Demikian pula ketika paduan strategi on – farm dan off – farm masih gagal memberikan kesejahteraan, maka petani memadukannya dengan strategi non – farm.

Senin, 12 April 2010

SEJARAH KERUNTUHAN BANGSA

Sejak memasuki tahun 2010, Bangsa Indonesia disuguhi oleh berbagai informasi tentang buruknya hukum, keadilan, dan kesejahteraan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Informasi ini tentu menyesakkan dada warga bangsa, yang sesungguhnya bersyukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas nikmatnya memiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdiri "atas berkat rahmat Allah, dan didorong oleh keinginan yang luhur" (lihat Pembukaan UUD 1945).

Kesesakan menjadi-jadi ketika ada ketidak-adilan dalam birokrasi, saat pegawai Kementerian Keuangan golongan III/a memiliki penghasilan resmi Rp.12 juta per bulan (dengan alasan "remunerasi"); sedangkan pegawai negeri sipil pada umumnya pada golongan tersebut hanya memiliki penghasilan resmi sekitar Rp. 3 juta per bulan. Kesesakan menjadi-jadi ketika para pejabat yang "banyak cakap" ternyata memiliki simpanan dalam rekeningnya hingga bermiliar-miliar rupiah. Kesesakan menjadi-jadi karena kolusi dan nepotisme masih tumbuh subur, dengan berbagai modus operandi.

Ibnu Khaldun (Bapak Sosiologi Dunia) pernah mengingatkan "jangan suka melupakan sejarah", yang ditimpali oleh Soekarno (Presiden Republik Indonesia Pertama) dengan singkatan "Jas Merah". Hal senada disampaikan Djoko Suryo (Guru Besar Sejarah Universitas Gadjah Mada), bahwa sejarah adalah jalinan masa lampau (past), masa kini (present), dan masa yang akan datang (future) dalam dimensi waktu dan ruang, yang mengandung kontinuitas waktu, dan diskontunuitas fenomena.

Belajar dari pesan Ibnu Khaldun, Soekarno, dan Djoko Suryo; maka kondisi Bangsa Indonesia dan Negara Kesatuan RepublikIndonesia memiliki kemiripan ciri dengan Negara Majapahit diakhir masa hidupnya. Tanpa perbaikan tata nilai secara individual dan kolektif, maka besar kemungkinan negeri tercinta ini akan collapse, sebagaimana Negara Majapahit. Semoga Allah SWT berkenan menghindarkannya...

Seharusnya sejarah yang dibuat oleh suatu bangsa, mampu memberi kontribusi bagi hadirnya stability (ketentraman), security (keamanan), dan comfort (kenyamanan). Sebagai contoh (dalam konteks pertanahan), maka fenomena pertanahan yang ditampilkan seharusnya memberi ketentraman, keamanan, dan kenyamanan bagi masyarakat pada umumnya. Fenomena pertanahan tidak boleh diabaikan, karena keruntuhan Negara Majapahit antara lain juga disebabkan oleh ketidak-adilan di bidang pertanahan. Ketika para pejabat Negara Majapahit menguasai tanah luas dengan kewenangan yang sangat besar, yang justru menyengsarakan masyarakat.

Kondisi "melek sejarah" sudah selayaknya ditebar pada segenap warga bangsa, agar peristiwa runtuhnya Negara Majapahit tidak di-copy paste oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Djoko Suryo mengingatkan, bahwa sejarah yang difahami hendaknya bersifat visioner, dengan menyeimbangkan penekanan orientasi kajiannya secara integratif, yang mencakup tiga dimensi temporal (masa lalu, masa kini, dan masa akan datang).

Melek sejarah dibutuhkan dalam berbagai konteks (hukum, keadilan, kesejahteraan, pertanahan, dan lain-lain). Dalam konteks pertanahan, tak ada satupun fenomena pertanahan yang muncul tiba-tiba. Tiap fenomena pertanahan mengalami proses, dan mensejarah dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan melek sejarah, tidak ada lagi warga bangsa yang mencontoh perilaku buruk pejabat Negara Majapahit di masa akhir sejarahnya.

Semoga Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap dalam perlindungan Allah SWT, dan setiap warganya dapat beribadah dengan khusyu kepadaNya, serta "rahmatan lil'alamiin" bagi sesamanya.

Referensi:
Djoko Suryo. 2009. "Transformasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi Indonesia Modern." Yogyakarta, STPN Press.

Minggu, 28 Maret 2010

TIPE LANDREFORM DI SELURUH DUNIA

Saturnino M. Borras Jr., Cristobal Kay, dan A. Haroon Akram Lodhi (dalam Bernstein, 2008) menyatakan, bahwa landreform berbeda dengan reforma agraria. Landreform menyoal pembaruan distribusi pemilikan tanah; sedangkan reforma agraria menunjuk pada landreform serta pembaruan sosial, ekonomi, dan politik yang melengkapinya.

Dalam pelaksanaan landreform di seluruh dunia, terdapat beberapa tipe, yaitu: Pertama, negara yang pada masa lalu belum melaksanakan landreform secara signifikan, namun sejak 1990-an landreform menjadi komponen penting kebijakan nasionalnya, misal: Brazil dan Filipina.

Kedua, negara yang pada masa lalu telah melaksanakan landreform dalam framework pembangunan yang kapitalistik, misal: Bolivia dan Mesir.

Ketiga, negara yang pada masa lalu mengalami konstruksi sosialis, tetapi saat ini menerapkan kebijakan yang pro pasar, sehingga landreformnya diarahkan oleh pasar tanah, misal: Ethiopia dan Vietnam.

Keempat, negara yang tidak memiliki sejarah pertanahan yang panjang, namun saat ini melaksanakan landreform sebagai kebijakan post kolonialnya, misal: Zimbabwe dan Namibia.

Sumber:
Bernstein, Henry (et.al.). 2008. "Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21." Yogyakarta, STPN.

Sabtu, 20 Februari 2010

KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN KARANGANYAR

Artikel kali ini berupaya mengulas "Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar". Tentu tidak semua hal dapat diulas dalam artikel ini, tetapi setidak-tidaknya diupayakan untuk memberikan informasi penting tentang pelayanan pertanahan di kantor ini, yang semoga dapat menjadi inspirasi bagi kantor pertanahan lainnya di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, informasi yang tepat tentang Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar, tentulah hanya dapat diberikan oleh kantor ini sendiri, yang beralamat di Jl. Lawu 202 Karanganyar Telp. 0271-495026.

Kegiatan pelayanan pertanahan diberikan oleh kantor ini, dengan memanfaatkan sistem loket, yang terdiri dari Loket-1 (informasi), Loket-2 (penerimaan berkas permohonan), Loket-3 (pembayaran biaya permohonan), dan Loket-4 (pengambilan produk). Permohonan oleh masyarakat untuk suatu pelayanan pertanahan dilakukan dengan prosedur: (1) permohonan informasi di Loket-1; (2) mengisi formulir yang tersedia; (3) menyerahkan berkas permohonan yang telah memenuhi persyaratan ke Loket-2; (4) membayar biaya yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Loket-3; dan (5) bila produk layanan telah dihasilkan oleh kantor pertanahan, dilanjutkan dengan mengambil produk tersebut di Loket-4.

Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, Kantor Pertanahan memberikan jenis-jenis pelayanan pertanahan, antara lain sebagai berikut: (1) pengukuran dan pemetaaan, baik untuk perorangan maupun badan hukum; (2) permohonan hak atas tanah, baik untuk permohonan baru maupun pembaruan hak atas tanah; (3) perpanjangan hak atas tanah; (4) pendaftaran tanah untuk pertama kali, baik yang berasal dari konversi, pengakuan, dan penegasan hak maupun yang berasal dari pemberian hak atas tanah; (5) pemecahan, pemisahan, dan penggabungan sertipikat hak atas tanah; (6) pemindahan hak, karena jual beli, hibah, pembagian hak bersama, merger, cessie, putusan/penetapan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan tukar menukar; (7) pendaftaran sertipikat pengganti, karena rusak, hilang, dan ganti blanko baru; (8) perubahan atau peningkatan hak atas tanah; (9) hak tanggungan, dan roya; (10) pemindahan hak karena wakaf; (11) pendaftaran peralihan hak karena pewarisan; (12) Penghapusan dan pelepasan hak atas tanah; (13) permohonan pemblokiran dan penyitaan; (14) pencatatan perubahan penggunaan tanah pertanian menjadi non pertanian; (15) pengecekan sertipikat hak atas tanah; dan (16) permohonan surat keterangan pendaftaran tanah.

Sabtu, 06 Februari 2010

SOLUSI KEMISKINAN DI KABUPATEN KEDIRI

Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan sandang, pangan, dan papan. Ia juga meliputi rendahnya akses terhadap sumberdaya dan asset produktif, yang diperlukan untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan hidup, seperti ilmu pengetahuan, informasi, teknologi, dan modal. Ada beberapa pengertian tentang kemiskinan, yang meliputi kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, dan kemiskinan kultural. Kemiskinan dapat disebabkan oleh sumberdaya yang terbatas, lembaga-lembaga yang ada di masyarakat menciptakan ketidak-adilan, kondisi badaniah dan mental yang lemah, serta karena bencana alam.
Wilayah Indonesia yang sangat luas ternyata menyulitkan Pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2006 memperlihatkan, bahwa masih ada 76,8 juta orang yang menyandang kemiskinan di Indonesia. Sementara itu, IKM (Indeks Kemiskinan Manusia) Indonesia sebesar 17,9 sehingga menduduki peringkat ke-33 dari 99 negara yang dinilai oleh UNDP (United Nations Development Programme). Khusus di Provinsi Jawa Timur terdapat 2,2 juta keluarga miskin, sedangkan di Kabupaten Kediri terdapat 87.247 keluarga miskin.
Ketika terjadi kemiskinan di kalangan rakyat (masyarakat), maka tentulah telah terjadi kesalahan dalam pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini berarti, kemiskinan merupakan masalah agraria, karena: Pertama, pengelolaan agraria bertujuan mewujudkan kemakmuran rakyat (masyarakat). Kedua, oleh karena itu, ketika terjadi kemiskinan, tentulah telah terjadi masalah dalam pengelolaan agraria, seperti: kesenjangan penguasaan dan pemilikan tanah, kesenjangan kesuburan tanah, dan berbagai sengketa pertanahan.
Proses penyusunan strategi pengentasan kemiskinan perlu mengadopsi pendekatan hak dasar sebagai paradigma dan acuan implementasinya. Pengentasan kemiskinan dilakukan dengan kesadaran penuh tentang perlunya melakukan pengentasan multidimensi, dan tidak lagi terjebak dalam "kubangan" parsial dan ekonomi sentris semata. Oleh karena itu, perlu diperhatikan beberapa prinsip dasar, sebagai berikut: Pertama, prinsip yang berkenaan dengan tujuan, seperti kesamaan hak dan tanpa pembedaan, manfaat bersama, tepat sasaran dan adil, serta kemandirian. Kedua, prinsip yang berkenaan dengan proses, seperti: kebersamaan, transparansi, akuntabilitas, keterwakilan, keberlanjutan, kemitraan, dan keterpaduan.
Peluang utama dalam mengentaskan kemiskinan adalah meniadakan pengabaian pertanian rakyat, namun sebaliknya justru memberdayakan pertanian rakyat. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Kediri perlu merevitalisasi beberapa upaya, sebagai berikut: Pertama, revitalisasi tanah obyek landreform. Kedua, revitalisasi pendaftaran tanah. Ketiga, revitalisasi konsolidasi tanah. Keempat, revitalisasi pertanian lahan basah. Kelima, revitalisasi kawasan hutan dan perkebunan.

Rabu, 27 Januari 2010

UNDANG - UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA)

Banyak pihak mensyukuri kehadiran UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) sebagai undang-undang yang paling membela rakyat (populis), setelah UUD (Undang - Undang Dasar) Tahun 1945. Hanya saja di masa Orde Baru, UUPA justru dijadikan alat oleh Rezim Orde Baru, dengan cara memberi makna menyimpang pada setiap ayat dari undang-undang yang sesungguhnya populis ini.
Pada masa Orde Baru, istilah "kepentingan nasional" dimaknai sebagai "kepentingan negara" yang dijalankan oleh "pemerintah", khususnya oleh "pejabat pemerintah" yang merupakan instrumen penegak Orde Baru. Oleh karena itu, "kepentingan nasional" adalah kepentingan para pejabat Orde Baru. Pada masa itu sulit memisahkan kepentingan nasional dengan kepentingan dan keuntungan pejabat Orde Baru.
Pengelolaan tanah di masa Orde Baru adalah "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat", yang karenanya perlu di dukung oleh investor yang akan memakmurkan rakyat. Selanjutnya, agar investor dapat optimal memakmurkan rakyat, maka para investor harus dimakmurkan terlebih dahulu. Maka dari itu, Negara wajib memberikan segala fasilitas pada investor, agar mereka dapat optimal memakmurkan rakyat. Bila ada rakyat yang belum sejahtera (masih miskin) maka dibutuhkan kesabaran, karena investor sedang dalam tahap memakmurkan dirinya sendiri terlbih dahulu, untuk sesudah itu dapat memakmurkan rakyat (secukupnya dan bila sempat).
Dengan demikian untuk mendukung kepentingan nasional, maka dilakukan beberapa langkah mulia, sebagai berikut:
Pertama, menjadikan kepentingan nasional berada dalam kerangka pembangunan, agar pelepasan tanah rakyat dapat semakin mudah, sehingga investor dapat semakin memakmurkan dirinya (untuk kemudian memakmurkan rakyat).
Kedua, meninjau ulang pengakuan legal atas tanah rakyat, karena akan mempersulit investor dalam memperoleh tanah.
Ketiga, menyadarkan masyarakat tentang mulianya penggusuran, urgennya pembangunan, dan baik hatinya para pejabat Orde Baru.
Inilah sekelumit tipudaya Rezim Orde Baru yang telah memperalat UUPA bagi kepentingan dzalimnya. Semoga tidak ada lagi rezim yang identik dengan Rezim Orde Baru di masa kini. Semoga segenap pegiat, peneliti, akademisi, dan masyarakat pertanahan Indonesia semakin cerdas dalam mengenali dan mengeliminasi anasir-anasir pendompleng (penunggang) pelaksanaan UUPA. Semoga Allah SWT berkenan...

Selasa, 12 Januari 2010

JENIS DUPLIKASI PENELITIAN

Secara metodologis tidak semua duplikasi penelitian dilarang, melainkan adapula beberapa jenis duplikasi penelitian yang masih dapat ditolerir, terutama untuk penelitian level Strata-1 (skripsi). Hanya saja ketika melakukan duplikasi, seorang peneliti tetap harus memperhatikan prinsip penelitian, yaitu: cerdas, kreatif, fokus, dan proporsional. Duplikasi yang sangat "diharamkan" dalam penelitian adalah duplikasi yang bersifat plagiasi, yaitu penjiplakan, pengambilan, dan pengajuan penelitian pihak lain, yang diakui sebagai penelitian seorang peneliti (plagiator).
Sementara itu, duplikasi yang masih dapat ditolerir untuk penelitian pada level Strata-1 adalah: Pertama, inter-tekstualitas, yaitu keterkaitan antara tulisan yang dibuat saat ini dengan tulisan yang dibuat sebelumnya. Kedua, replikasi, yaitu pengulangan suatu penelitian dengan tema-tema tertentu, pada lokasi, waktu, dan metode penelitian yang berbeda. Ketiga, epigon, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meniru tema, gaya bahasa, dan orientasi budaya penelitian sebelumnya, bagi penelitian yang dilakukan pada obyek yang berbeda.
Demikianlah kelonggaran (toleransi) yang diberikan secara metodologis bagi para peneliti level Strata-1. Oleh karena itu, tiada kata lain bagi peneliti level Strata-1, selain kata "happy". Tepatnya, "Don't worry, be happy! friend..."