Senin, 20 Agustus 2007

REFORMA SEHARUSNYA ...


Reforma agraria yang dilaksanakan seharusnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai pertanahan yang tertuang dalam UUPA, karena nilai-nilai inilah yang menjadi basis pengelolaan pertanahan yang populis. Bila terdapat jarak antara reforma agraria dengan nilai-nilai pertanahan sebagaimana dimaksud, maka reforma agraria telah menerjang definisinya sendiri. Hal ini akan menggugurkan hak hidup dan hak implementatif reforma agraria, dan masyarakat akan berkata, "Selamat jalan reforma agraria! Selamat kembali ke 'Republik Mimpi'!"
Oleh karena itu, sebelum melaksanakan reforma agraria, sudah selayaknya dilakukan pemetaan masalah agraria yang mendasar (fundamental). Dalam peta tersebut layak termuat masalah, seperti: (1) batas minimum pemilikan tanah; (2) batas maksimum penguasaan dan/atau pemilikan tanah; (3) redistribusi tanah; (4) tanah absentee atau guntai; (5) gadai tanah; (6) perjanjian bagi hasil tanah pertanian; dan (7) perlindungan terhadap tanah pertanian.
Sebagai contoh: Pertama, adalah fakta bahwa batas minimum pemilikan tanah seluas dua hektar belumlah terwujud secara merata di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Pulau Jawa; Kedua, adalah fakta bahwa saat ini belum ada ketentuan batas maksimum luas penguasaan dan/atau pemilikan tanah, terutama bagi tanah berstatus Hak Guna Usaha; Ketiga, adalah fakta bahwa saat ini program redistribusi (pembagian kembali) tanah belum berjalan optimal, sehingga masih terdapat ketimpangan yang besar antara pemilik tanah luas dengan anggota masyarakat yang memiliki tanah sempit, dan yang tidak memiliki tanah; Keempat, adalah fakta bahwa saat ini ketentuan tentang tanah absentee masih mudah disiasati oleh para pelanggarnya; Kelima, adalah fakta bahwa saat ini sebagian masyarakat masih enggan menerapkan ketentuan gadai, sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; Keenam, adalah fakta bahwa saat ini sebagian masyarakat masih enggan menerapkan ketentuan perjanjian bagi hasil pertanian, sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (Tanah Pertanian) dan ketentuan yang memperbarui teknis pelaksanaannya; Ketujuh, adalah fakta bahwa saat ini perlindungan terhadap tanah pertanian relatif lemah, sehingga banyak tanah pertanian yang berubah penggunaan dan pemanfaatannya menjadi tanah non pertanian, yang berdampak pada terjadinya ancaman terhadap ketahanan pangan nasional.
Setelah masalah agraria yang mendasar berhasil dipetakan, maka reforma agraria harus dirumuskan dan dilaksanakan sebagai formula solusi terhadap masalah tersebut. Tanpa kemampuan ini, maka reforma agraria hanya akan menjadi bagian dari utopia masyarakat dan pemerintah. Namun demikian sesungguhnya ketidak-mampuan tidalah layak disandang oleh program reforma agraria, karena di beberapa negara reforma agraria telah menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Tidak ada komentar: