Sabtu, 21 Maret 2009

ZAMAN KEGELAPAN REFORMA AGRARIA

Reforma agraria di Indonesia telah berlangsung sejak sebelum tahun 1960, namun secara formal barulah nampak bersemangat sejak tahun 1960. Gerakan ini (reforma agraria) tidak terlepas dari peran Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, yang pada tahun 1960 diketuai oleh KH. Zainul Arifin dari Partai NU (Nahdlatul Ulama).
Pada awalnya gerakan reforma agraria didukung oleh segenap komponen bangsa. Hal ini terlihat dari adanya dukungan dari segenap komponen bangsa dalam pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian. Undang-undang ini terbit sebagai upaya memberikan akses bagi petani penggarap, agar dapat menggarap tanah pertanian milik orang lain, dengan melakukan perjanjian bagi hasil yang adil, antara petani penggarap dengan pemilik tanah.
Kebulatan segenap komponen bangsa juga terlihat, ketika dilakukan pengesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang kemudian dikenal dengan sebutan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). UUPA hadir untuk melengkapi keberadaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 yang mengupayakan akses reform. Dalam hal ini, UUPA berupaya melakukan asset reform melalui program landreform, dengan melakukan redistribusi tanah, setelah Negara terlebih dahulu mengambil-alih tanah yang luas pemilikannya melampaui batas, dengan memberi ganti rugi yang layak.
Namun kemudian situasi dan kondisi berubah, ketika PKI (Partai Komunis Indonesia) melakukan aksi sepihak, tanpa menghormati komponen-komponen bangsa lainnya. PKI tidak bersedia melaksanakan program landreform berdasarkan prosedur yang diatur dalam UUPA. Oleh karena itu, sangat menggelikan, jika ada pihak yang menyatakan bahwa UUPA adalah produk PKI, karena faktanya PKI tidak bersedia melakukan program landreform sesuai dengan prosedur yang diatur dalam UUPA.
Akibatnya landreform berubah format dari pembagian tanah (redistribusi tanah), menjadi perebutan tanah. Hal ini, pada gilirannya menimbulkan konflik di mana-mana, bahkan hingga mengakibatkan korban jiwa. Puncaknya berupa konflik horizontal, yang mengkambing-hitamkan program landreform. Sebagai seteru PKI yang memiliki BTI (Barisan Tani Indonesia) antara lain adalah PERTANU (Persatuan Tani Nahdlatul Utama) yang berada di bawah Partai NU. Dalam hal ini PERTANU mendukung pelaksanaan program landreform di Indonesia, tetapi menolak cara-cara yang dilakukan oleh BTI.
Langkah PKI (dengan BTI-nya) yang membabi-buta, dan tanpa aturan dalam melaksanakan program landreform, sehingga menimbulkan konflik horizontal di mana-mana, akhirnya memberangus idealisme landreform di Indonesia. Bahkan citra buruk segera dilekatkan pada ide pelaksanaan landreform, termasuk adanya kesan bahwa landreform merupakan program PKI. Oleh karena itu, ketika Orde Baru melarang keberadaan PKI di Indonesia, maka program landreform dibekukan.
Nasib naas yang menimpa landreform, juga terjadi pada pelaksanaan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian, yang tidak dapat dilaksanakan, karena para birokrat yang seharus menjadi pamong praja lebih berperan sebagai pangreh praja. Akibatnya para birokrat gagal beroeran sebagai katalis pelaksanaan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian. Inilah zaman kegelapan reforma agraria di Indonesia, ketika upaya akses reform (Perjanjian Bagi Hasil Pertanian) dan asset reform (landreform) mengalami mati suri dan pembekuan.

Sabtu, 07 Maret 2009

FENOMENA STEWART DALAM REFORMA AGRARIA

Fenomena Stewart adalah fenomena yang terjadi dalam reforma agraria, ketika beberapa negara yang sebelumnya menganut paradigma Adam Smith dan paradigma Karl Marx, mulai menggeser paradigmanya, hingga akhirnya menganut paradigma John Stewart Mill.
Pardigma Adam Smith memiliki ciri berupa negara yang hanya berperan selayaknya "penjaga malam", dan tak boleh intervensi. Segala sesuatunya diserahkan pada mekanisme pasar.
Paradigma Karl Marx memiliki ciri berupa negara yang sangat dominan. Hak milik ditiadakan, dan segala sesuatu adalah milik negara. Termasuk dalam hal ini pasar, juga dikuasai oleh negara.
Paradigma John Stewart Mill memiliki ciri berupa negara moderat, yaitu negara yang dapat melakukan intervensi terhadap pasar, dalam rangka mengendalikan pasar.
Dalam konteks reforma agraria, fenomena Stewart nampak ketika: Pertama, negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan yang berparadigma Adam Smith, ternyata ketika melakukan reforma agraria mempraktekkan adanya intervensi negara. Kedua, negara-negara seperti Republik Rakyat Cina, dan Vietnam yang berparadigma Karl Marx, ternyata ketika melakukan reforma agraria mempraktekkan adanya kepemilikan individual.
Dengan demikian fenomena Stewart menunjukkan, bahwa intervensi negara dan kepemilikan individual merupakan prasyarat paling mendasar bagi terlaksananya reforma agraria.