Sabtu, 31 Maret 2012

MEMAHAMI ANTUSIASME MASYARAKAT

Antusiasme masyarakat di bidang pertanahan, bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba, melainkan sesuatu yang timbul karena adanya proses tertentu. Sebagai contoh, dalam kasus antusiasme masyarakat terhadap pensertipikatan tanah, merupakan sesuatu yang timbul karena ada proses yang berkaitan dengan pensertipikatan tanah.


Masyarakat akan antusias, bila ia merasa tertarik pada sesuatu, dan sangat senang bila dilibatkan dalam suatu kegiatan. Oleh karena itu, hal penting bagi kantor pertanahan adalah upaya untuk membuat agar pensertipikatan tanah merupakan sesuatu yang menarik bagi masyarakat, sehingga mereka bersedia, bahkan senang terlibat dalam aktivitas ini.


Sudah saatnya kantor pertanahan menjadikan pensertipikatan tanah sebagai sesuatu yang menarik, dengan cara menggelar aktivitas pensertipikatan yang bersifat:


Pertama, tidak biasa, melalui berbagai terobosan yang dapat menguatkan asset masyarakat, sehingga memudahkan mereka mengakses asset yang dimilikinya sebagai “jalan” menuju kesejahteraan, keadilan, keberlangsungan, dan reduksi konflik.


Kedua, menarik, melalui berbagai penjelasan yang mencerahkan sehingga masyarakat faham betul tentang arti penting sertipikat hak atas tanah bagi diri dan keluarganya, baik di masa kini, maupun di masa yang akan datang.


Ketiga, memuat banyak ide, melalui seperangkat manfaat pensertipikatan tanah, yang bermuara pada kepentingan masyarakat.


Hal lain yang menjadi alasan optimisme kantor pertanahan adalah kesiapan komputerisasi pengelolaan pertanahan, misalnya dengan menggunakan program SAS (Standing Alone System), meskipun jumlah komputer di kantor pertanahan sangat terbatas. Keterbatasan ini dapat diatasi oleh kantor pertanahan dengan memobilisasi komputer pribadi yang dimiliki kepala kantor dan stafnya, untuk digunakan di kantor pertanahan.


Solusi ini penting, karena kantor pertanahan mendapat tugas melaksanakan program PRONA dalam jumlah yang relatif besar. Tugas ini merupakan pelengkap akumulatif pelaksanaan tugas sebelumnya, misalnya PRONA (Program Operasi Nasional Agraria), PRODA (Program Operasi Daerah Agraria), LC (Land Consolidation), pensertipikatan tanah bagi UKM (Usaha Kecil dan Menengah), dan program SMS (Sertipikasi Massal Swadaya).


Namun demikian, optimisme tersebut memiliki kendala dalam perwujudannya. Salah satu kendala tersebut adalah adanya beberapa pungutan di luar kantor pertanahan, yang dibebankan pada masyarakat saat mereka mengurus sertipikat tanah. Sebagai contoh, pologoro (iuran desa) yang dipungut oleh pemerintah desa pada saat mengurus sertipikat tanah.


Bagi masyarakat, pologoro ini menjadi beban tersendiri yang dapat menghalangi mereka dari keinginan untuk mensertipikatkan tanahnya, misalnya ada pologoro yang nilainya mencapai Rp. 500.000,-. Pologoro intens ditarik oleh pemerintah desa, untuk membiayai operasional pemerintahan desa.


Beban berat dari sisi pendanaan yang dialami oleh pemerintah desa masih ditambah lagi dengan ketiadaan dana pendamping, dalam kegiatan pertanahan yang bersifat massal. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat seringkali ditarik dana operasional oleh pemerintah desa.


Selamat merenungkan, semoga Allah SWT meridhai...

...

Minggu, 25 Maret 2012

PRINSIP BERKINERJA BAIK

Prinsip berkaitan dengan dua hal utama, yaitu “moral rule” dan ”basic idea”, dengan penjelasan sebagai berikut: Pertama, moral rule, atau aturan moral, adalah suatu aturan atau keyakinan yang mempengaruhi perilaku, dan menjadi dasar bagi pemikiran-pemikiran yang dianggap benar. Kedua, basic idea, atau ide dasar, adalah sekumpulan ide yang menjelaskan tentang bagaimana sesuatu seharusnya dikelola.


Dengan demikian prinsip pertanahan juga berkaitan dengan moral rule of land affair atau aturan moral pertanahan, dan basic idea of land affair atau ide dasar pertanahan. Sudah selayaknya, ada suatu aturan atau keyakinan yang mempengaruhi perilaku, dan menjadi dasar bagi pemikiran-pemikiran yang dianggap benar dalam mengelola pertanahan.


Selain itu, sudah selayaknya pula, ada sekumpulan ide yang menjelaskan tentang bagaimana pertanahan seharusnya dikelola. Oleh karena itu, sudah selayaknya dalam pengelolaan pertanahan di Indonesia, digunakan “Empat Prinsip Pertanahan” sebagai moral rule, yang sekaligus juga merupakan basic idea.




“Empat Prinsip Pertanahan” merupakan kebijakan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI), yang dapat menjadi pemicu kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan. Efek ini muncul setelah terlebih dahulu kantor pertanahan (dalam hal ini kepala kantor dan para stafnya) mampu memaknai masing-masing prinsip dari “Empat Prinsip Pertanahan”, dan menterjemahkannya dalam berbagai kegiatan.




Makna dan penterjemahan yang tepat berpeluang memunculkan respon masyarakat, yang berupa kepercayaan kepada kantor pertanahan. Sebagai contoh, kepala kantor pertanahan hendaknya berani menyatakan optimismenya, dalam melaksanakan “Empat Prinsip Pertanahan”.




Hal ini selain karena keempat prinsip tersebut berpeluang dilaksanakan di wilayah kerjanya, juga karena adanya dukungan dari pemerintah kabupaten/kota setempat terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi kantor pertanahan.




Wujud dukungan tersebut antara lain berupa bantuan pemerintah kabupaten/kota kepada kantor pertanahan. Sebagai contoh, dari 18 (delapan belas) buah motor dinas yang ada di kantor pertanahan, 16 (enam belas) buah motor di antaranya adalah bantuan dari pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, pemerintah kabupaten/kota setempat juga membantu pembangunan ruang arsip, untuk menyimpan data-data pertanahan.




Pada saat kepala kantor pertanahan berkonsultasi dengan bupati/walikota setempat, diperoleh komitmen bupati/walikota untuk terus membantu kantor pertanahan. Bila hal ini terjadi, maka sesungguhnya sikap bupati/walikota tersebut, dikarenakan bupati/walikota menghargai kinerja kantor pertanahan yang terus membaik.




Seolah-seolah bupati/walikota tidak memperdulikan surat edaran menteri yang melarang bupati/walikota memberi bantuan (dalam bentuk pendanaan) kepada instansi vertikal. Komitmen tinggi bupati/walikota, dan antusiasme masyarakat, akhirnya semakin memperkuat optimisme kantor pertanahan untuk dapat melaksanakan tugas dengan baik. Hal ini berimplikasi pada hadirnya kinerja yang baik dari kantor pertanahan, yang diikuti dengan munculnya kepercayaan bupati/walikota dan masyarakat pada kantor pertanahan.




Selamat merenungkan, semoga Allah SWT meridhai...


...

Minggu, 18 Maret 2012

BANJARNEGARA SEBAGAI JANTUNGNYA JAWA TENGAH

Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Secara astronomis kabupaten ini terletak di antara 7012’ – 7031’ Lintang Selatan dan 109029’ – 109045’ Bujur Timur. Kabupaten Banjarnegara beribukota di Kecamatan Banjarnegara, yang letaknya bukanlah tepat di bagian tengah kabupaten ini, namun cenderung ke arah selatan kabupaten ini.


Kabupaten ini awalnya hanya terdiri dari 18 kecamatan, namun pada tahun 2004 jumlah kecamatan dimekarkan menjadi 20 kecamatan, karena adanya dua kecamatan baru, yaitu: (1) Kecamatan Pagedongan yang terletak di bagian selatan kabupaten ini, dan (2) Kecamatan Pandanarum yang terletak di bagian utara kabupaten ini.


Secara geografis, Kabupaten Banjarnegara terletak di bagian tengah, pusat, atau jantungnya Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Banjarnegara berbatasan: Pertama, di sebelah utara dengan Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Batang. Kedua, di sebelah timur dengan Kabupaten Wonosobo. Ketiga, disebelah selatan dengan Kabupaten Kebumen. Keempat, disebelah barat dengan Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas.


Oleh karena posisi geografisnya itu, maka Kabupaten Banjarnegara layak disebut “The Heart of Central Java” atau “Jantungnya Jawa Tengah”. Adakalanya sebutan simbolis (secara geografis) bertolak belakang dengan fakta lapangan (secara sosial-ekonomi).


Hal ini terjadi pula pada Kabupaten Banjarnegara, sebutan sebagai “The Heart of Central Java” atau “Jantungnya Jawa Tengah”, ternyata menjadi ironi ketika dikaitkan dengan fakta lapangan. Secara faktual, sebagai “Jantungnya Jawa Tengah”, Kabupaten Banjarnegara justru berpeluang mengakibatkan “jantungan” para pemimpin Jawa Tengah, atau pihak manapun yang menaruh perhatian pada kesejahteraan masyarakat.


Betapa tidak, karena Kabupaten Banjarnegara adalah kabupaten termiskin di Provinsi Jawa Tengah sejak tahun 1996 hingga tahun 2007. Pada tahun 1996, ketika persentase kemiskinan Provinsi Jawa Tengah hanya mencapai 20 %, dengan ikon-nya, yaitu Kota Tegal, yang persentase kemiskinannya hanya mencapai 4,21 %, maka Kabupaten Banjarnegara memiliki persentase kemiskinan sebesar 45,45 %.


Sementara itu, pada tahun 1999, ketika persentase kemiskinan Provinsi Jawa Tengah hanya mencapai 26,07 %, dengan ikon-nya, yaitu Kota Tegal, yang persentase kemiskinannya hanya mencapai 6,29 %, maka Kabupaten Banjarnegara memiliki persentase kemiskinan sebesar 43,57 %.


Sebutan sebagai kabupaten termiskin di Provinsi Jawa Tengah bahkan terus disandang oleh Kabupaten Banjarnegara hingga tahun 2007. Meskipun pada tahun 2007 persentase kemiskinan di Kabupaten Banjarnegara mengalami penurunan (38,66 %), namun kabupaten lain di Provinsi Jawa Tengah juga mengalami penurunan, sehingga tetap saja sebutan sebagai kabupaten termiskin di Provinsi Jawa Tengah terus digelarkan kepada Kabupaten Banjarnegara.


Dengan kata lain, penurunan angka kemiskinan kabupaten ini belum mampu mengimbangi penurunan angka kemiskinan kabupaten lainnya di Provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu, Kabupaten Banjarnegara tetap memerlukan perhatian khusus dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, agar kabupaten ini dapat memposisikan diri sebagai jantungnya Jawa Tengah, dan bukannya membuat jantungan para pemimpin Jawa Tengah.


Kondisi Kabupaten Banjarnegara yang seperti ini, hendaknya mendorong Kantor Pertanahan Kabupaten Banjarnegara untuk bekerja lebih semangat, terutama dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat.


Jajaran Kantor Pertanahan Kabupaten Banjarnegara perlu memahami, bahwa pasar bebas tidak mengarah pada pencapaian kemakmuran yang meluas, melainkan lebih banyak memperlihatkan kemiskinan dan eksploitasi besar-besaran. Suatu masyarakat akan tumbuh dan berkembang secara “sehat”, bila: (1) kebutuhannya dapat dipenuhi, dan (2) ketika ketidak-setaraan serta eksploitasi di bidang ekonomi dan relasi sosial dapat dieliminasi.


Oleh karena itu, kemiskinan bukanlah fenomena individual melainkan fenomena struktural. Kemiskinan terjadi karena adanya ketidak-adilan dan ketimpangan sosial, sebagai akibat tersumbatnya akses kelompok tertentu terhadap sumberdaya. Dengan demikian strategi penanggulangan kemiskinan haruslah bersifat institusional (melembaga).


Selamat merenungkan, semoga Allah SWT meridhai...

...

Kamis, 08 Maret 2012

SISTEM DAN STRUKTUR

Dalam konteks pensertipikatan tanah di suatu wilayah, subyek hak berada pada strata tertentu dalam struktur sosial. Subyek hak dapat berada pada strata tertinggi, strata terrendah, atau berada di antara keduanya.


Dengan kata lain subyek hak berada pada struktur sosial yang dibentuk oleh agensi manusia dan konstitusinya. Struktur sosial merupakan ”peraturan” yang konsisten, dan sekaligus merupakan sumberdaya yang melibatkan manusia.


Pihak yang berada pada strata teratas, adalah pihak yang akan paling banyak menikmati penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah; dan demikian pula sebaliknya. ”Peraturan” ini menjadi pengendali tindakan manusia, dan pengelolaan sumberdaya.


Contoh, subyek hak yang berada pada strata tertentu dalam struktur sosial, tunduk pada ”peraturan” yang inheren dalam struktur sosial. Ketundukan itu mengharuskan subyek hak mensertipikatkan tanahnya, agar ia berpeluang melakukan optimalisasi asset. Hal ini berarti subyek hak berpeluang melakukan optimalisasi terhadap penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang menjadi assetnya.


Sementara itu, banyak pihak seringkali menganggap sistem sebagai struktur, karena ia memperlihatkan pemilikan struktural, tetapi sesungguhnya ia bukanlah struktur itu sendiri. Demikian pula halnya dengan sistem pensertipikatan tanah, ia bukanlah struktur, meskipun ia memperlihatkan hasil berupa adanya struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.


Sistem pensertipikatan tanah merupakan: (1) cara atau metode dalam pensertipikatan tanah, (2) seperangkat koneksi antar bagian dalam proses pensertipikatan tanah yang beroperasi secara terintegrasi, dan (3) bagian-bagian dari suatu institusi yang bekerjasama dalam memproses pensertipikatan tanah.


Sistem pensertipikatan tanah merupakan sistem yang diikuti dengan sungguh-sungguh oleh subyek hak, agar ia dapat memperoleh sertipikat hak atas tanah. Sistem ini digelar pada ruang sosial, yang terstrukturasi.


Untuk mengamati strukturasi pada sistem pensertipikatan tanah, dapat dilakukan dengan mengamati pola yang ada pada sistem tersebut, melalui aplikasi peraturan umum, dan sumberdaya yang diproduksi dan direproduksi oleh interaksi sosial.


Sebagai contoh, strukturasi pada sistem pensertipikatan tanah dapat diamati dari pola peraturan umum yang diterapkannya, dan tanah yang ”diproduksi” (misal melalui program redistribusi tanah) dan ”direproduksi” (misal melalui program reforma agraria) oleh sistem pendaftaran tanah.



Strukturasi adalah proses pada sistem reproduksi struktur. Strukturasi ini pulalah yang memposisikan subyek hak berada pada level tertentu dalam strata, yang memberinya peluang melakukan optimalisasi bidang-bidang tanah yang berada dalam pengelolaannya.



Optimalisasi mendorong subyek hak untuk mengikuti sistem pensertipikatan tanah yang diselenggarakan oleh kantor pertanahan setempat. Sistem ini melibatkan aktivitas aparat kantor pertanahan, dan subyek hak, serta pihak-pihak lain yang membantu aktivitas ini.



Pola relasi sosial antara subyek hak dengan aparat kantor pertanahan setempat melintasi ruang dan waktu. Mereka mengangkat seperangkat peraturan ke dalam praktek nyata, yang sekaligus merupakan hasil reproduksi oleh sistem sosial yang ada.



Selamat merenungkan, semoga Allah SWT meridhai...

Sabtu, 03 Maret 2012

MEMBEDAH PENDAFTARAN TANAH

Berkaitan dengan pendaftaran tanah, banyak teori yang dapat diajukan sebagai ”pisau bedah” bagi fenomena yang ada dalam pendaftaran tanah. Sebagai contoh, pendaftaran tanah terlebih dahulu dapat dibedah dengan memilih salah satu dari tiga paradigma sosiologis, yang masing-masing memiliki teori-teorinya sendiri.


Apabila pendaftaran tanah dibedah dengan menggunakan Paradigma Fakta Sosial, maka fenomena yang ada dapat dibedah dengan menggunakan salah satu dari teori berikut ini, yaitu: Teori Fungsional Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro.


Selanjutnya, apabila pendaftaran tanah dibedah dengan menggunakan Paradigma Definisi Sosial, maka fenomena yang ada dapat dibedah dengan menggunakan salah satu dari teori berikut ini, yaitu: Teori Aksi, Teori Interaksionisme Simbolik, dan Teori Fenomenologi.


Sementara itu, apabila pendaftaran tanah dibedah dengan menggunakan Paradigma Perilaku Sosial, maka fenomena yang ada dapat dibedah dengan menggunakan salah satu dari teori berikut ini, yaitu: Teori Perilaku, dan Teori Pertukaran.


Sesungguhnya tidak ada satupun dari teori-teori tersebut yang terisolasi dalam ranah tersendiri, tanpa bersinggungan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, pilihan untuk membebaskan diri dari kungkungan teorisasi yang paradigmatis dapatlah dimengerti.


Salah satu tokoh yang nampak berhasil melepaskan diri dari kungkungan teorisasi yang paradigmatis adalah Anthony Giddens. Oleh karena itu, apabila pendaftaran tanah ingin difahami dengan cara Anthony Gidden (1991), maka dapat digunakan pendapatnya, sebagai berikut:


Pertama, struktur sosial ditandai oleh peran manusia dan peraturan perundang-undangan yang melingkupinya. Dalam konteks pendaftaran tanah, maka dapatlah dikatakan, bahwa struktur pertanahan yang ada di Indonesia saat ini merupakan cermin struktur sosial dan cermin kualitas peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.


Kedua, struktur sosial berperan dan menjadi sumber keterlibatan tindakan manusia. Dalam konteks pendaftaran tanah, maka dapatlah dikatakan, bahwa orang-orang dari struktur sosial tertentu akan berada pada posisi tertentu dalam struktur pertanahan. Contoh, orang-orang yang berada pada posisi elit dalam struktur sosial, besar kemungkinan akan berada pada posisi elit pula dalam struktur pertanahan.


Ketiga, peraturan perundang-undangan menghalangi suatu tindakan, dan sekaligus menjadi sumber bagi berbagai kemungkinan. Dalam konteks pendaftaran tanah, maka dapatlah dikatakan, bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia telah menghalangi orang-orang yang berada pada lapisan bawah dalam struktur sosial, untuk berada pada bagian atas struktur pertanahan. Oleh karena itu, hal yang mungkin dilakukan untuk mengatasi kondisi ini adalah melalui perombakan struktur pertanahan.


Selamat merenungkan, semoga Allah SWT meridhai...