Sabtu, 17 Desember 2011

KRITIK GUNAWAN WIRADI TERHADAP BUKU "NGANDAGAN KONTEMPORER"

Pada acara ”Launching dan Diskusi Buku Terbitan STPN Press” dengan tema ”Membedah Persoalan Agraria” di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang 15 Desember 2011; Gunawan Wiradi berkesempatan membedah buku ”Ngandagan Kontemporer: Implikasi Sosial Landreform Lokal” yang ditulis oleh Aristiono Nugroho, Tullus Subroto, dan Haryo Budhiawan.


Gunawan Wiradi memberi kritik, sebagai berikut: Pertama, idenya bagus, tetapi cara penyajiannya terlalu campur aduk, sehingga sulit melihat konsistensi antara judul, tujuan, uraian, dan kesimpulannya.


Kedua, isi ”Pengantar” seharusnya tidak seperti itu. Sebagian besar isinya seharusnya masuk ke dalam bab ”Pendahuluan”. Dalam bab ”Pendahuluan” perlu ditegaskan tujuan menulis, fokusnya, dan teori pokok yang dijadikan dasar.


Ketiga, buku ini memfokuskan kepada masalah ”livelihood” , yang dengan demikian titik tolak kerangka pemikirannya juga didasarkan pada teori tentang itu. Jadi tidak perlu dicampuradukkan dengan teori-teori Derek Hall dan kawan-kawan, atau dengan teori Bernstein dan sebagainya. Cukup bertolak dari teori Elizabeth Walter. Menghubung-hubungkan dengan teori lain itu sebenarnya bagus, tetapi harus lebih dulu memahami paradigma masing-masing yang berbeda-beda.


Keempat, tidak ditemukan rumusan eksplisit mengenai proposisinya pada substansi. Walaupun dalam buku ini sebenarnya ada proposisi implisit. Ini bisa dilihat dari sistematika urutan bab-babnya. Digambarkan adanya tiga macam strategi (on-farm, off-farm, dan non-farm). Pertanyaannya: Siapa yang berstrategi-1, siapa yang berstrategi-2, dan siapa yang berstrategi-3. Apa saja cirri-ciri kelompok-1, kelompok-2, dan kelompok-3.


Kelima, pertanyaan tersebut muncul karena penyajian buku ini kurang analitis, melainkan hanya deskriptif, bahkan hanya menampilkan data mentah berupa kasus-kasus responden, sehingga belum dapat menghasilkan tipologi.


Keenam, koreksi terhadap kesalahan, sebagai berikut: (1) kesalahan mengenai pemahaman prinsip-prinsip landreform ala Ngandagan (halaman-3); (2) kesalahan memahami makna istilah-istilah (halaman: 85 dan 165); dan (3) kesalahan logika (halaman-87).

TANGGAPAN ARISTIONO NUGROHO ATAS KRITIK GUNAWAN WIRADI TERHADAP BUKU "NGANDAGAN KONTEMPORER"

Sebagai penulis buku ”Ngandagan Kontemporer: Implikasi Sosial Landreform Lokal”, Aristiono Nugroho menyampaikan terimakasih atas kritik yang diberikan oleh Gunawan Wiradi (Pakar Agraria Indonesia).


Namun demikian ada beberapa hal yang perlu dijelaskan berkaitan dengan kritik tersebut, sebagai berikut:


Buku “Ngandagan Kontemporer” disajikan dengan gaya “naratif segmentasi kondisional”, yang mengajak pembaca mengenali satu persatu strategi livelihood masyarakat Desa Ngandagan, dalam segmen on-farm, off-farm, dan non-farm, secara kondisional berdasarkan beberapa contoh pengalaman beberapa keluarga. Cara penyajian semacam ini memang masih jarang, tetapi menarik untuk dikembangkan, agar tidak ada lagi penulis buku yang terpenjara atau tersandera dengan cara-cara penyajian konvensional tertentu.


Sebagaimana diketahui ada cara penyajian konvensional yang mengharuskan “Pengantar” dan “Pendahuluan” berisi substansi tertentu. Tetapi cara ini tidak diikuti oleh Aristiono Nugroho dan kawan-kawan, karena ingin menyajikan tulisan yang lebih mampu menyemangati banyak pihak untuk bersedia belajar dari masyarakat Desa Ngandagan.


Oleh karena itu, “Pengantar” difokuskan pada upaya untuk menunjukkan, bahwa landrefrom lokal ala Desa Ngandagan yang diluncurkan oleh Soemotirto pada tahun 1947 ternyata masih relevan hingga saat ini dan masa yang akan datang. Hal ini ditunjukkan oleh kesesuaian fenomena Ngandagan dengan teori yang diungkapkan oleh Derek Hall dan kawan-kawan (Power of Exclusion, 2011) dan Henry Bernstein (Class Dynamic of Agrarian Change, 2010).


Sementara itu, bab “Pendahuluan” lebih difokuskan pada upaya untuk menunjukkan, bahwa ada landreform lokal ala Desa Ngandagan yang unik, dan mengalami adatisasi, serta berlaku hingga saat ini; yang pada gilirannya berkaitan dengan livelihood masyarakat Desa Ngandagan.


Bab-bab selanjutnya difokuskan pada upaya menggambarkan strategi livelihood masyarakat Desa Ngandagan pada ranah on-farm, off-farm, dan non-farm. Termasuk dalam hal ini mendeskripsikan keluarga-keluarga yang menerapkan strategi tersebut.


Berkaitan dengan prinsip landreform lokal ala Desa Ngandagan yang dideskripsikan pada halaman-3, sesungguhnya dimaksudkan untuk menggambarkan keunikannya, ketika dibandingkan dengan landreform nasional yang diselenggarakan pada tahun 1961.


Sementara itu, makna beberapa istilah yang dideskripsikan pada halaman 85 dan 165, merupakan istilah yang saat ini (2011) ada pada alam pikir masyarakat Desa Ngandagan, yang boleh jadi berbeda dari istilah-istilah yang ada di masa lampau (1947).


Khusus mengenai logika sebagaimana yang dideskripsikan pada halaman-87, merupakan logika yang dimainkan untuk menunjukkan beratnya menjadi bawon di masa kini, baik karena adanya saingan dari penebas, maupun karena adanya peningkatan kebutuhan keluarga. Oleh karena itu, logika ini tidak salah, melainkan berada pada posisi relatif ketika disandingkan dengan logika yang lain.

CATATAN DARI NOER FAUZI RACHMAN

Pada acara ”Launching dan Diskusi Buku Terbitan STPN Press” dengan tema ”Membedah Persoalan Agraria” di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang 15 Desember 2011; Noer Fauzi Rachman menyampaikan makalah dengan judul “Agraria Adalah Akibat, Kapitalisme Adalah Sebab: Menyegarkan Pemahaman Mengenai Cara Bagaimana Kapitalisme Berkembang.” Dalam makalah tersebut ia menyatakan:


Pertama, Fernand Braudel, seorang sejarawan Perancis, dalam bukunya ”Civilization and Capitalism 15th – 18th Century. Volume II: The Wheels of Commerce,” menyatakan bahwa manakala kapitalisme diusir ke luar dari pintu, maka ia akan masuk kembali lewat jendela.


Kedua, sistem produksi kapitalis adalah yang paling mampu dalam mengakumulasi keuntungan melalui: (1) kemajuan dan sophistikasi teknologi, (2) peningkatan produktivitas tenaga kerja per unit kerja, (3) efisiensi hubungan sosial dan pembagian kerja produksi, serta (4) sirkulasi barang dagangan.


Ketiga, Joseph A. Schumpeter dalam “Capitalism, Socialism, and Democracy” (1944) pada Bab: “Can Capitalism Survive” menyatakan, bahwa pada hakekatnya kapitalisme adalah suatu bentuk atau metoda perubahan ekonomi, yang bukan hanya tidak pernah statis, melainkan tidak pernah bisa statis.


Keempat, sebagai sistem produksi, kapitalisme memberi tempat hidup dan insentif bagi semua yang efisien, dan menghukum mati atau membiarkan mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya.


Kelima, pemberlakukan hukum agraria, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang mengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, merupakan suatu cara agar perusahaan-perusahaan kapitalis dari negara-negara penjajah di Eropa dapat memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam, yang kemudian mereka definisikan sebagai modal perusahaan-perusahaan itu.


Keenam, dalam upaya memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam, maka badan-badan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan lalu memagari suatu wilayah, dan mengeluarkan penduduk bumiputera (baca: asli) dari wilayah tersebut. Hubungan dan cara-cara penduduk bumiputera menikmati hasil dari tanah dan alam terlah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pemagaran wilayah secara fisik, hingga penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan yang tidak lagi dipangku oleh bumiputera.


Ketujuh, bila saja sekelompok rakyat melakukan protes dan perlawanan, untuk menguasai dan menikmati kembali tanah dan wilayah yang telah diambil alih pemerintah dan perusahaan-perusahaan itu. Akibatnya sangat nyata, yakni mereka dapat dikriminalisasi, dikenai sanksi oleh birokrasi hukum, atau tindakan kekerasan lainnya yang dapat saja dibenarkan secara hukum.


Kedelapan, David Harvey membedakan antara “accumulation by dispossession” dengan “accumulation by exploitation”. Accumulation by dispossession adalah akumulasi kekayaan atau keuntungan yang dilakukan melalui cara-cara perampasan, misal: korporasi raksasa yang terus menerus mengambil alih barang atau sumberdaya milik rakyat atas dukungan lembaga-lembaga negara. Sementara itu, accumulation by exploitation adalah akumulasi kekayaan atau keuntungan yang dilakukan melalui cara-cara pemerasan atau eksploitasi tenaga kerja dalam proses produksi dan sirkulasi barang.


Sementara itu, saat memberi penjelasan secara lisan, Noer Fauzi Rachman menjelaskan, bahwa kapitalisme tidak pernah hilang dari bumi Indonesia sejak adanya kolonialisme di Indonesia. Kapitalisme datang ke Indonesia bersama-sama dengan kolonialisme yang merupakan bentuk lain dari kapitalisme.


Kapitalisme dan kolonialisme hanya pernah jeda (istirahat) di bumi Indonesia, yaitu sejak tahun 1945 (Kemerdekaan Indonesia) sampai dengan tahun 1965. Sesudah itu (setelah 1965) kapitalisme dan kolonialisme kembali berkuasa di Indonesia dalam bentuk neo-kapitalisme dan neo-kolonialisme, hingga saat ini (2011).


Lebih jauh Noer Fauzi Rachman mengingatkan untuk kembali melihat sejarah terbentuknya Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. Pada awal berkuasanya Orde Baru, kehutanan hanyalah sektor yang dikelola oleh Ditjen Kehutanan di Departemen Pertanian. Namun dengan lahirnya UU. No.5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan” lembaga ini menjadi sangat berpengaruh. Pada tahun 1980-an dibuatlah di seluruh Indonesia Tata Guna Hutan Kesepakatan yang menetapkan sebagian besar wilayah Indonesia adalah wilayah hutan. Akibatnya dibutuhkan lembaga yang lebih besar, maka Ditjen. Kehutanan diubah menjadi Departemen Kehutanan, dan pada masa SBY menjadi Kementrian Kehutanan. Wilayah Kehutanan adalah wilayah yang steril dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) atau UU. No.5 Tahun 1960. UUPA tidak berlaku di kawasan (wilayah) hutan.

Sumber:

Noer Fauzi Rachman. 2011. “Agraria Adalah Akibat, Kapitalisme Adalah Sebab: Menyegarkan Pemahaman Mengenai Cara Bagaimana Kapitalisme Berkembang.” Makalah disampaikan pada acara ”Launching dan Diskusi Buku Terbitan STPN Press” dengan tema ”Membedah Persoalan Agraria” di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang 15 Desember 2011.