Minggu, 27 Mei 2012

PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG PENSERTIPIKATAN TANAH


Ada sebuah proses pembentukan persepsi oleh masyarakat yang mengantarkan mereka pada kepercayaan terhadap kantor pertanahan. Proses diawali oleh input, yang berupa adanya realitas pensertipikatan tanah. Input ini selanjutnya masuk dalam alam pikir masyarakat, dan ketika difahami sebagai sesuatu yang menguntungkan, maka dihasilkan output berupa kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan.

Dengan kata lain, kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan, merupakan respon terhadap kegiatan pensertipikatan tanah yang dilakukan oleh kantor pertanahan. Pensertipikatan tanah oleh kantor pertanahan pada awalnya melibatkan delapan substansi yang terkait satu sama lain.

Kedelapan substansi ini merupakan persepsi yang dibentuk oleh masyarakat, yang memberi kesempatan bagi munculnya kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan. Substansi tersebut terdiri dari: (1) akses permodalan, (2) perlakuan diskriminatif, (3) akses pengelolaan, (4) penguatan asset, (5) kesejahteraan, (6) keadilan, (7) keberlanjutan, dan (8) pencegahan konflik.

Kedelapan substansi tersebut bersesuaian dengan ”Empat Prinsip Pertanahan”, mulai dari Prinsip Pertama hingga Prinsip Keempat. Ketika kedelapan substansi tersebut diletakkan pada trayek (jalur atau lintasan) masing-masing prinsip dari ”Empat Prinsip Pertanahan”, maka diketahui adanya empat trayek, sebagai berikut: Pertama, pensertipikatan tanah merupakan cara untuk membuka akses permodalan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sesuai dengan semangat Prinsip Pertama dari “Empat Prinsip Pertanahan;

 Kedua, pensertipikatan tanah merupakan cara untuk memberi perlakuan diskriminatif kepada masyarakat yang tidak mampu, dengan memberi pelayanan khusus berupa biaya yang ditekan serendah mungkin. Perlakuan diskriminatif ini akan mewujudkan keadilan, karena ada kondisi yang sama (sama-sama dapat mensertipikatkan tanah) antara masyarakat yang tidak mampu dengan yang mampu secara finansial (keuangan) dalam membiaya pensertipikatan tanahnya. Kondisi ini akan memberi jaminan kepastian hukum yang sama pada keduanya atas bidang tanahnya masing-masing, meskipun antara kedua kelompok ini (masyarakat yang tidak mampu dengan yang mampu) mendapat perlakuan yang berbeda (diskriminatif). Hal ini sesuai dengan semangat Prinsip Kedua dari “Empat Prinsip Pertanahan;

Ketiga, pensertipikatan tanah merupakan cara untuk memberi kesempatan kepada masyarakat, agar mereka dapat mengelola tanahnya dengan baik. Dengan kata lain ada akses pengelolaan yang memadai bagi masyarakat atas sumberdaya tanah. Akses pengelolaan ini, selanjutnya akan menciptakan peluang bagi keberlanjutan pengelolaan tanah secara turun temurun oleh suatu keluarga. Pada level yang lebih luas, pengelolaan turun temurun ini, dapat dimaknai sebagai pengelolaan tanah dari generasi ke generasi, yang berarti mewujudkan konsepsi keberlanjutan pada tataran implementasi. Hal ini sesuai dengan semangat Prinsip Ketiga dari “Empat Prinsip Pertanahan;

Keempat, pensertipikatan tanah merupakan cara untuk penguatan asset masyarakat, ketika ada jaminan kepastian hukum tentang subyek (pemilik) dan obyek (yang dimiliki) atas sebidang tanah. Penguatan asset ini pada gilirannya antara lain akan berperan sebagai upaya pencegahan konflik, dikarenakan tidak ada lagi pihak lain yang mengklaim kembali suatu bidang tanah, sepanjang pihak lain tersebut tidak memiliki bukti yang kuat. Dengan kata lain, ada efek gentar bagi pihak lain, yang dibangun oleh penguatan asset ini, sebagai upaya pencegahan konflik. Hal ini sesuai dengan semangat Prinsip Keempat dari “Empat Prinsip Pertanahan.

Selamat merenungkan, dan semoga Allah SWT berkenan meridhai...

...

Sabtu, 19 Mei 2012

MENCEGAH KONFLIK SECARA ADIL


Selain konflik yang terjadi karena keinginan mendapatkan tanah yang masih dikuasai pihak lain, konlik juga berpeluang terjadi disebabkan hal-hal yang  berhubungan dengan sosial-ekonomi. Sementara itu diketahui, bahwa kemampuan masyarakat mengembangkan potensi sosial-ekonominya, akan menghalangi terjadinya konflik.

Oleh karena itu, kantor pertanahan perlu sungguh-sungguh melakukan penertipikatan hak atas tanah, sebagai salah satu upaya mencegah terjadinya konflik. Telah menjadi pengetahuian umum, bahwa pensertipikatan hak atas tanah akan memberi akses permodalan bagi pemegang hak atas tanah.

Modal ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk mewujudkan atau mengembangkan potensi wirausahanya. Secara akumulatif, hal ini akan berdampak pada pengembangan potensi wilayah, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan, dan menekan peluang terjadinya konflik, terutama yang disebabkan oleh faktor sosial-ekonomi.

Kesemua ini memperteguh semangat, bahwa agar dapat dicegah terjadinya konflik, maka kantor pertanahan harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pensertipikatan hak atas tanah, khususnya dalam hal mendapatkan modal usaha.

Selain itu, kantor pertanahan juga perlu memperhatikan berbagai potensi wilayah, misal potensi pariwisata, yang di beberapa wilayah kurang optimal dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten/kota. Untuk itu, wilayah yang memiliki potensi wisata membutuhkan kemudahan keterjangkauan (aksesibilitas), yang selama ini juga kurang mendapat perhatian memadai.

Apabila potensi wilayah dikembangkan, kemiskinan akan berkurang, dan konflik akan dapat dicegah dan dikurangi. Perbedaan menyolok antara yang kaya (dari luar kota) dengan yang miskin (penduduk setempat) berpeluang menimbulkan konflik. Perbedaan kondisi antara yang kaya dengan yang miskin ini, selanjutnya menimbulkan perbedaan kepentingan, yang akhirnya menimbulkan konflik.

Contoh pencegahan konflik antara lain upaya yang dilakukan oleh Perum Perhutani terhadap masyarakat di sekitar hutan, yang membentuk LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) di mana masyarakat diberi keleluasaan menggarap tanah Perhutani, sepanjang tidak merusak tanaman hutan. Dalam LMDH ini Kepala Desa berperan sebagai pelindung.

Masyarakat diberi plot areal yang menjadi tanggung-jawabnya, dan berkesempatan untuk menanam tanaman semusim (misal: jagung) di sela-sela tanaman hutan. Masyarakat juga diberi kesempatan menyadap getah pinus, yang hasilnya dibagi, sebagai berikut: 50 % untuk Perhutani, 40 % untuk penggarap, dan 10 % untuk LMDH.

Dengan memperhatikan fakta lapangan yang berkaitan dengan upaya mencegah atau mengurangi sengketa dan konflik pertanahan, diketahui bahwa sebagaimana penerapan prinsip pertanahan, maka upaya mencegah atau mengurangi sengketa dan konflik pertanahan membutuhkan keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif, nilai luhur, nilai keadilan, dan profesionalisme.

Selamat merenungkan, semoga Allah SWT berkenan meridhai...

...

Minggu, 13 Mei 2012

KONFLIK PERTANAHAN


Pada umumnya kalau ada sertipikat hak atas tanah, maka tidak ada lagi sengketa batas dan waris, karena semua sudah jelas, batasnya jelas, pemiliknya jelas, dan luasnya juga jelas. Tidak ada lagi yang tidak jelas. Dengan demikian hak dan kewajiban ahli waris pemegang hak atas tanah dapat terjamin, hingga ke anak cucu dan seterusnya. Untuk itu perlu ada kerjasama yang kuat antara kepala desa, camat, dan kantor pertanahan untuk mendorong masyarakat mensertipikatkan tanahnya.

Sertipikat hak atas tanah merupakan sesuatu yang penting, supaya ada keamanan atas tanah secara terus menerus. Dengan demikian dari kakek sampai cucu bisa menggarap tanah terus menerus secara aman. Untuk memperkuat argumen ini dapat dilihat desa-desa yang pernah dilaksanakan PRONA, yang direspon oleh masyarakat karena biayanya yang murah. Biaya PRONA dapat murah karena masyarakat hanya dikenai biaya operasional oleh pemerintah desa.

Dengan memperhatikan fakta lapangan tentang pemaknaan upaya mewujudkan keberlanjutan sistem, diketahui bahwa sebagaimana penerapan prinsip pertanahan, maka upaya mewujudkan keberlanjutan sistem membutuhkan keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif, nilai luhur, nilai keadilan, dan profesionalisme. Sebagai contoh dibutuhkannya kejujuran nampak dari adanya keterbukaan yang harus terus menerus dibangun antara kantor pertanahan dengan pemerintah setempat dan masyarakat.

Dalam Prinsip Keempat dari “Empat Prinsip Pertanahan” dinyatakan, “Pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air, dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.” Kata kunci dari prinsip ini, adalah konflik.

Konflik, tentulah sulit untuk dihapuskan begitu saja. Banyak pula pihak yang beranggapan bahwa konflik membahayakan, karena bersifat destruktif. Sesungguhnya konflik bersifat fungsional. Dengan kata lain, konflik sesungguhnya bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara, sepanjang konflik itu dapat dikendalikan agar tidak destruktif.

Kondisi inilah yang menjadi dasar adanya pandangan yang menyatakan, bahwa konflik bersifat fungsional, dengan alasan: Pertama, konflik akan meningkatkan kohesi internal pada kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat konflik. Kedua, konflik akan menghadirkan koalisi baru dalam masyarakat sebagai tandingan atas koalisi yang selama ini telah ada di masyarakat. Ketiga, konflik akan membangun kesimbangan baru dalam masyarakat, sehingga dapat meredam dinamika masyarakat, tanpa harus menimbulkan ledakan sosial (social eruption). 

Sementara itu, Prinsip Keempat dari Empat Prinsip Pertanahan ini dapat dimaknai oleh kantor pertanahan sebagai keharusan untuk mendorong masyarakat agar mampu mengembangkan potensinya, termasuk dengan memberi pelayanan pertanahan yang dapat mencegah terjadinya konflik pertanahan.

Contoh, seorang kepala kantor pertanahan menyatakan, bahwa terdapat konflik pertanahan di wilayahnya (misal: di Kecamatan X), yang mendapat perhatian serius dalam penanganannya. Konflik ini terjadi dengan kronologi sebagai berikut: (1) Ada tanah HGB (Hak Guna Bangunan) yang masih dimanfaatkan oleh pemegang haknya, seluas lebih kurang 6.000 meter persegi; (2) Pada saat pemegang HGB akan memperpanjang haknya, ada permintaan pihak desa, agar pemegang HGB berkenan melepaskan seluas 400 meter persegi kepada pihak desa; (3) Pemegang HGB keberatan, dan ia tetap ingin memperpanjang haknya atas seluruh tanahnya tersebut; (4) Pihak desa bersikeras, karena menurut mereka HGB yang telah habis waktunya menjadi Tanah Negara, sehingga dapat dimohon oleh pihak desa, dasar acuannya menurut mereka adalah Keppres No.2 Tahun 1979; (5) Kantor pertanahan masih belum dapat memproses HGB tersebut, karena dipandang masih bermasalah (berkonflik); (6) Kepala kantor pertanahan berpandangan, bahwa meskipun HGB telah berakhir dan tanahnya menjadi Tanah Negara, maka tidaklah serta merta tanah tersebut dapat dimohon oleh pihak lain.

Telah difahami, bahwa konflik berkaitan dengan tiga hal utama, yaitu: ketidak-sepakatan (disagreement), perjuangan (fighting), dan perbedaan (difference). Dengan demikian tentulah dapat difahami, bahwa konflik di Kecamatan X melibatkan ketiga terminologi tersebut (ketidak-sepakatan, perjuangan, dan perbedaan). Konflik di kecamatan ini memperlihatkan adanya ketidak-sepakatan antara pemegang HGB dengan pemerintah desa setempat, di mana pemerintah desa setempat meminta pemegang HGB melepas 400 meter persegi dari 6.000 meter persegi tanah yang dikuasainya.

Konflik di Kecamatan X ini juga melibatkan perjuangan, yang ditandai oleh berbagai upaya dari pemerintah desa setempat, untuk mendapatkan 400 meter persegi tanah yang dikuasai oleh pemegang HGB. Hal ini tentulah direspon oleh pemegang HGB dengan perjuangan untuk mempertahankan 6.000 meter persegi tanah yang dikuasainya.

Kedua pihak, pemerintah desa setempat dan pemegang HGB, sama-sama melakukan perjuangan. Perbedaan mereka terletak pada alasan perjuangannya. Pemerintah desa setempat beralasan, bahwa 400 meter persegi tanah, yang dimintanya merupakan tanah yang akan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Sementara itu, pemegang HGB berpandangan, bahwa tanah seluas 6.000 meter persegi yang dikuasainya dipergunakan dan dimanfaatkannya secara optimal, sehingga berguna dan bermanfaat bagi diri, dan keluarganya, serta para pihak yang terkait, termasuk pemerintah desa, dan negara.

Selamat merenungkan, semoga Allah SWT berkenan meridhai...

 ...

Minggu, 06 Mei 2012

TREATMENT PERTANAHAN


Sudah saatnya kelompok yang kuat diberi kemampuan untuk memiliki empati terhadap kelompok yang lemah. Empati ini kemudian diimplementasikan lebih jauh dalam suatu dukungan bagi penguatan yang lemah. Sementara itu, kelompok yang lemah dberi kemampuan untuk memiliki tambahan semangat, etos, dan daya juang yang lebih tinggi. Kesemua peningkatan kemampuan kelompok yang lemah ini, akhirnya akan menjadi modal bagi transformasi evolutif dari kelompok yang lemah ke arah kelompok yang kuat.

Dengan demikian kalaupun bila suatu saat ada konflik pertanahan, maka ia akan dapat diatasi dengan baik. Penanganan konflik yang terjadi tidak perlu sampai ke pengadilan, melainkan cukup dimusyawarahkan di tingkat desa atau tingkat kecamatan. Pihak pemerintah desa atau pemerintah kecamatan dapat meminta bantuan kantor pertanahan, terutama untuk melakukan rekonstruksi batas, bila ada sengketa batas, termasuk yang berkaitan dengan sengketa waris. Penanganan konflik semacam ini dapat dilakukan atas peran camat.

Oleh karena itu perlu ada dorongan bagi camat sebagai PPAT, untuk lebih berperan dalam pembuatan akta tanah daripada PPAT Umum (Notaris). PPAT Umum lebih difokuskan pada pelayanan pembuatan akta tanah yang sudah bersertipikat, sedangkan PPAT Camat menangani pembuatan akta untuk tanah yang belum bersertipikat.

Tetapi tak dapat dipungkiri untuk saat ini masyarakat lebih memilih memanfaatkan jasa PPAT Umum dalam pembuatan akta tanah untuk tanah yang sudah bersertipikat maupun yang belum bersertipikat, bahkan hingga pengurusan sertipikatnya. Kondisi seperti ini menunjukkan PPAT Camat kalah dalam berkontestasi dengan PPAT Umum. Akibatnya, PPAT Camat sulit mewujudkan komitmennya untuk memperhatikan kepentingan desa (misal: penarikan pologoro) dalam membuat akta tanah.

Dengan memperhatikan fakta lapangan tentang penerapan keadilan dalam konteks pertanahan, diketahui bahwa sebagaimana penerapan prinsip pertanahan, maka penerapan keadilan membutuhkan keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif, nilai luhur, perilaku yang sama dan peniadaan kesewenang-wenangan, dan profesionalisme. Dengan catatan, pengertian perilaku yang sama dalam hal ini, adalah sama-sama mendapat perlakuan dari pemerintah tetapi dengan treatment yang berbeda.

Sebagai contoh, anggota masyarakat yang kurang mampu dan yang mampu secara ekonomi, sama-sama mendapat perlakuan dari kantor pertanahan, yaitu pensertipikatan tanah. Tetapi kedua golongan masyarakat ini mendapat treatment berbeda, di mana golongan yang kurang mampu membayar biaya lebih murah dari yang dibayarkan oleh golongan yang mampu.

Sementara itu, Prinsip Ketiga dari “Empat Prinsip Pertanahan” menyatakan, “Pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat, terutama tanah.” Kata kunci dari prinsip ini adalah keberlanjutan, yaitu suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan untuk terus bertahan dan berkembang dari waktu ke waktu, terutama dalam kontribusi kebajikan bagi masyarakat.

Keberlanjutan sistem yang akan dikontribusikan oleh pengelolaan pertanahan yang baik, adalah suatu kondisi, ketika pengelolaan pertanahan mampu memberikan kemampuan yang terus menerus, bahkan semakin meningkat, bagi masyarakat, bangsa, dan negara dalam merespon dinamika kehidupan dalam level lokal, regional maupun global. Pada kondisi ini selalu berhasil diatasi dan diperbaiki faktor-faktor yang akan melemahkan masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam konteks pertanahan faktor-faktor tersebut meliputi pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.

Selanjutnya, Prinsip Ketiga dari ”Empat Prinsip Pertanahan” oleh kantor pertanahan dapat dimaknai sebagai keharusan untuk melakukan kegiatan pertanahan secara terus menerus, bertahap, serta dari waktu ke waktu, untuk mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat, dan keadilan, yang akan menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dalam konteks kabupaten atau kota setempat.

Ukurannya secara kualitatif adalah pemberian akses seluas-luasnya kepada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat, terutama tanah. Tindakannya berupa penguatan asset masyarakat melalui pensertipikatan tanah, yang akan memberi jaminan kepastian hukum kepada pemegangnya, dan keturunannya di kelak kemudian hari. Agar terwujud keberlanjutan, kantor pertanahan harus mempermudah pensertipikatan tanah bagi pengusaha kecil (home industry dan jasa), agar keberlanjutan usaha dapat terjadi, dan kendala permodalan dapat diatasi.

Pensertipikatan tanah seringkali tidak mampu direspon dengan baik oleh masyarakat. Sebagai contoh adanya masyarakat yang tidak berminat ketika ditawari PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria), karena mereka tidak mampu membayar biaya yang ditetapkan oleh pemerintah desa.

Walaupun sesungguhnya masyarakat antusias mensertipikatkan tanahnya, sepanjang biayanya terjangkau oleh mereka. Mereka mengerti, bahwa kalau ada sertipikat, tidak ada lagi sengketa batas antar masyarakat, jadi bagus buat ketentraman masyarakat. Masyarakat juga mengerti, bahwa kalau ada sertipikat, pewarisannya juga jadi lebih jelas dan lebih mudah, jadi anak keturunannya lebih terjamin.

Dengan demikian bila kegiatan PRONA kurang mendapat respon dari pemerintah desa, antara lain dikarenakan pemerintah desa diijinkan memungut biaya (termasuk pologoro). Ketika pemerintah desa memungut biaya tambahan masyarakat berkeberatan, karena memberi beban tambahan pada masyarakat.

Kondisi ini dilematis, karena berkaitan dengan kelancaran pelaksanaan PRONA. Kantor pertanahan tidak dapat secara terbuka menyetujui pungutan yang dilakukan oleh pemerintah desa, sehingga langkah yang diambil pada umumnya berupa pendekatan kepada pemerintah desa agar berkenan meringankan beban warganya atau masyarakatnya. Kantor Pertanahan juga tidak dapat melarang pungutan tersebut, bila hal itu merupakan kesepakatan masyarakat desa, terutama dalam hal penarikan pologoro.

Pungutan desa yang disebut ”pologoro”, diputuskan melalui musyawarah desa, karena dana yang diperoleh akan digunakan untuk kepentingan membangun desa. Dengan demikian, pungutan desa sesungguhnya legal karena merupakan hasil kesepakatan pemerintah desa dengan masyarakatnya.

Selamat merenungkan, semoga Allah SWT meridhai...