Ada sebuah
proses pembentukan persepsi oleh masyarakat yang mengantarkan mereka pada
kepercayaan terhadap kantor pertanahan. Proses diawali oleh input, yang berupa
adanya realitas pensertipikatan tanah. Input ini selanjutnya masuk dalam alam
pikir masyarakat, dan ketika difahami sebagai sesuatu yang menguntungkan, maka
dihasilkan output berupa kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan.
Dengan kata
lain, kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan, merupakan respon
terhadap kegiatan pensertipikatan tanah yang dilakukan oleh kantor pertanahan. Pensertipikatan
tanah oleh kantor pertanahan pada awalnya melibatkan delapan substansi yang
terkait satu sama lain.
Kedelapan
substansi ini merupakan persepsi yang dibentuk oleh masyarakat, yang memberi
kesempatan bagi munculnya kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan.
Substansi tersebut terdiri dari: (1) akses permodalan, (2) perlakuan
diskriminatif, (3) akses pengelolaan, (4) penguatan asset, (5) kesejahteraan,
(6) keadilan, (7) keberlanjutan, dan (8) pencegahan konflik.
Kedelapan
substansi tersebut bersesuaian dengan ”Empat Prinsip Pertanahan”, mulai dari
Prinsip Pertama hingga Prinsip Keempat. Ketika kedelapan substansi tersebut
diletakkan pada trayek (jalur atau lintasan) masing-masing prinsip dari ”Empat
Prinsip Pertanahan”, maka diketahui adanya empat trayek, sebagai berikut: Pertama, pensertipikatan tanah
merupakan cara untuk membuka akses permodalan, yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sesuai dengan semangat Prinsip
Pertama dari “Empat Prinsip Pertanahan;
Kedua, pensertipikatan tanah merupakan cara untuk
memberi perlakuan diskriminatif kepada masyarakat yang tidak mampu, dengan
memberi pelayanan khusus berupa biaya yang ditekan serendah mungkin. Perlakuan
diskriminatif ini akan mewujudkan keadilan, karena ada kondisi yang sama (sama-sama
dapat mensertipikatkan tanah) antara masyarakat yang tidak mampu dengan yang
mampu secara finansial (keuangan) dalam membiaya pensertipikatan tanahnya.
Kondisi ini akan memberi jaminan kepastian hukum yang sama pada keduanya atas
bidang tanahnya masing-masing, meskipun antara kedua kelompok ini (masyarakat
yang tidak mampu dengan yang mampu) mendapat perlakuan yang berbeda
(diskriminatif). Hal ini sesuai dengan semangat Prinsip Kedua dari “Empat
Prinsip Pertanahan;
Ketiga, pensertipikatan tanah merupakan cara untuk
memberi kesempatan kepada masyarakat, agar mereka dapat mengelola tanahnya
dengan baik. Dengan kata lain ada akses pengelolaan yang memadai bagi
masyarakat atas sumberdaya tanah. Akses pengelolaan ini, selanjutnya akan
menciptakan peluang bagi keberlanjutan pengelolaan tanah secara turun temurun
oleh suatu keluarga. Pada level yang lebih luas, pengelolaan turun temurun ini,
dapat dimaknai sebagai pengelolaan tanah dari generasi ke generasi, yang
berarti mewujudkan konsepsi keberlanjutan pada tataran implementasi. Hal ini
sesuai dengan semangat Prinsip Ketiga dari “Empat Prinsip Pertanahan;
Keempat, pensertipikatan tanah merupakan cara untuk
penguatan asset masyarakat, ketika ada jaminan kepastian hukum tentang subyek
(pemilik) dan obyek (yang dimiliki) atas sebidang tanah. Penguatan asset ini pada gilirannya antara lain
akan berperan sebagai upaya pencegahan konflik, dikarenakan tidak ada lagi
pihak lain yang mengklaim kembali suatu bidang tanah, sepanjang pihak lain
tersebut tidak memiliki bukti yang kuat. Dengan kata lain, ada efek gentar bagi
pihak lain, yang dibangun oleh penguatan asset ini, sebagai upaya pencegahan
konflik. Hal ini sesuai dengan semangat Prinsip Keempat dari “Empat Prinsip
Pertanahan.
Selamat
merenungkan, dan semoga Allah SWT berkenan meridhai...
...