Kamis, 24 Desember 2009

Minggu, 08 November 2009

Jumat, 09 Oktober 2009

ULAMA DALAM HISTORIOGRAFI AGRARIA

Tanah bukan sekedar benda obyektif, ia merupakan obyek yang menjadi perhatian subyek. Ia bukan sekedar obyek geografis, geodetis, geologis, politis, ekonomis, sosiologis, dan lain-lain, melainkan obyek yang meliputi semua itu. Tanah juga menjadi perhatian kaum religius (muslim), karena ia merupakan amanah Allah SWT bagi manusia. Alasan inilah yang menyemangati Muslim Indonesia ketika mengusir Portugis, Belanda, Jepang, dan Inggris yang menjajah Indonesia.
Historiografi agraria memperlihatkan peran tokoh muslim (ulama) dalam memperjuangkan emansipatori agraria. Banyak contoh tentang peran ulama dalam mengamankan sektor pertanian, agar tidak tergilas "monster" globalisasi yang dipraktekkan oleh para "penyembahnya". Ulama berpartisipasi menggerakkan masyarakat untuk mempertahankan dan mengembangkan produktivitas dan diversifikasi pertanian, melalui kearifan lokal yang disistimatisir dalam format Qur'ani.
Para ulama mendorong rekonstruksi pereknomian nasional yang berbasis pada keunggulan desa dan masyarakatnya yang Islami. Menurut mereka, sudah saatnya kebijakan nasional berbasis pedesaan, dan tidak sebaliknya, di mana kebijakan nasional digadaikan pada kepentingan asing. Oleh sebab itu, hampir disetiap pemerintahan ulama selalu dicurigai dan dianggap bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Padahal yang disuarakan ulama adalah kebenaran, yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam ridha Allah SWT.
Sejak Orde lama, para penguasa memusuhi ulama, lihatlah pengalaman Buya Hamka yang dipenjarakan oleh Rezim Orde Lama. Lihat pula pengalaman Habib Husain Al Habsyi yang dalam keadaan buta (tidak dapat melihat) dipenjarakan oleh Rezim Orde Baru. Sementara itu, pada masa reformasi Abu Bakar Ba'asyr tidak luput dari penjara rezim penguasa. Saat berikutnya lebih parah lagi, ketika fitnah "teroris" ditimpakan kepada Umat Islam.
Namun demikian para ulama tetap menganjurkan agar Umat Islam tetap tenang, dan tetap memberi kontribusi optimal bagi bangsa dan negara, termasuk dalam bidang agraria. Alasannya sangat rasional, yaitu sebagai konsekuensi logis atas pemikiran, sikap, dan perilaku seorang manusia yang beribadah kepada Allah SWT. Lihatlah peran KH. Imam Churmen, KH. Aziz Asyhuri, dan KH. Abdullah Hasan yang berjuang agar petani mampu menghadapi pemodal besar (asing).
Ulama adalah figur informal, atau pemimpin lokal yang berada di tengah-tengah komunitas masyarakat, yang menjadi bagian dari komunitas sekitar, di mana ulama memiliki sensitivitas atas problem masyarakat, termasuk problem agraria masyarakat. Selayaknya ulama dan masyarakat bergandeng-tangan mensukseskan reforma agraria di Indonesia, yang sebenarnya sudah sejak dahulu diperjuangkan oleh para ulama.

Senin, 31 Agustus 2009

MEMPERHATIKAN RASA KEADILAN

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang dicintai rakyatnya. Oleh karena itu, rakyat berjuang memerdekakan negeri ini ketika dijajah oleh Negara Dzalim, Belanda. Begitupun di masa-masa selanjutnya, rakyat terus berjuang ketika Negara-Negara Dzalim lainnya, seperti Jepang dan Inggris berusaha menguasai negara ini.
Uniknya, ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia telah relatif aman, maka rakyat justru tidak aman, mereka terancam oleh bahaya kesengsaraan, ketidak-sejahteraan, dan kemiskinan. Orde Lama tidak membuat rakyat lebih sejahtera, tepatnya, rakyat tetap miskin. Orde Baru tetap membuat rakyat miskin, karena yang sejahtera hanyalah kroni-kroni penguasa Orde Baru. Pada Orde Reformasi seperti saat ini, 40 juta keluarga rakyat tetap miskin.
Lebih uniknya lagi, di saat rakyat bergelut dengan kemiskinan, dana yang ada pada negara disalurkan hanya pada segelintir orang dengan jumlah yang relatif besar. Lihatlah kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang melibatkan dana triliunan rupiah, yang disalurkan ke perbankan termasuk perbankan swasta. Kasus lebih baru, pada Agustus 2009, wakil rakyat di DPR-RI terperangah mengetahui, bahwa ada dana sebesar Rp. 6,7 triliun disuntikkan oleh pemerintah ke Bank Century (lihat berbagai media-massa).
Keunikan-keunikan itu, ketika dikritik, dipertahankan dengan alasan telah berdasarkan hukum yang berlaku. Akibatnya rakyat menjadi terperangah, seperti inikah hukum Indonesia? Bagaimana mungkin, hukum yang bertujuan untuk menciptakan keadilan ternyata justru membangun ketidak-adilan. Hanya saja, jika diperhatikan penjelasan UUD. 1945 diketahui, bahwa ada pesan dari dari the founding fathers tentang pentingnya kesungguhan hati para penyelenggara negara untuk menegakkan rasa keadilan.
Sudah saatnya para pemimpin negeri, termasuk institusi tidak hanya berlindung pada keabsahan hukum dan formalitas administrasi, melainkan juga memperhatikan rasa keadilan. Jika tanah banyak dikuasai oleh perusahaan besar perkebunan, maupun kehutanan, maka rakyat tak lagi mendapat bagian tanah yang memadai. Jika investasi asing lebih diagung-agungkan daripada investasi dalam negeri, maka bangsa akan bergantung pada asing. Jika outsourcing lebih dimuliakan dari sumberdaya lokal, maka ketidak-adilan menjadi logo utama.
Oleh karena itu, dalam agama apapun selalu diingatkan agar pemimpin memperhatikan rasa keadilan, dan tidak hanya terpatri pada teks hukum dan formalitas administrasi. Seorang pemimpin juga selayaknya tidak under-estimates terhadap bangsa dan yang dipimpinnya, agar equalitas terjaga, seiring rasa hormat dan saling dukung yang terus berkembang semakin baik.
Pada gilirannya, rakyat akan menghormati pemimpinnya. Doa mereka akan selalu dipanjatkan untuk pemimpinnya, agar sang pemimpin dapat terus memimpin dengan penuh rasa keadilan. Rakyat akan mendukung segala sesuatu yang visioner yang berpeluang mensejahterakan mereka, meskipun harus menempuh perjuangan yang berat dan melelahkan.
Suatu saat, semoga Bangsa Indonesia dapat menikmati rasa keadilan, dalam frame Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam taburan darma bakti para pemimpinnya yang adil. Semoga, dan salam untuk semua pemimpin bangsa...

Rabu, 19 Agustus 2009

KEPERCAYAAN MASYARAKAT DI BIDANG PERTANAHAN

Kepercayaan masyarakat merupakan sesuatu yang penting bagi pemerintah dan masyarakat dalam konteks berbangsa dan bernegara di masa kini. Hal yang berkaitan dengan kepercayaan dikonstruksi oleh masyarakat dan pemerintah, dengan mendapat pengaruh yang ketat dari suatu sistem abstrak tertentu yang diberlakukan.
Berdasarkan sistem abstrak ini, maka suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah berpeluang untuk dipercaya, atau sebaliknya, tidak dipercaya oleh masyarakat. Sistem abstrak ini berupa konsepsi filosofis yang selanjutnya diturunkan dalam grand theory terpilih, lalu menjalar hingga middle theory dan aplicative theory, dan akhirnya bermuara pada konsepsi-konsepsi teknis.
Sesungguhnya masyarakat tidak perlu mempercayai suatu institusi yang kegiatannya terus menerus dapat dimonitor secara langsung. Bagi institusi semacam ini yang dibutuhkan adalah pengamatan terus menerus oleh masyarakat, agar kinerjanya dapat optimal.
Sebaliknya, masyarakat sangat perlu untuk mempercayai institusi yang sebagian kegiatannya tidak dapat dimonitor secara langsung oleh mereka. Salah satu institusi ini adalah kantor pertanahan, yang sebagian kegiatannya, misal proses yang dilakukan di back office mulai dari pemberkasan hingga pengambilan keputusan, tidaklah dapat dimonitor secara langsung oleh masyarakat. Kegiatan yang dapat dimonitor oleh masyarakat adalah kegiatan di front office dan hasil dari kegiatan back office.
Kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan sangat diperlukan, bila masyarakat tidak lagi dapat memonitor kegiatan di back office kantor pertanahan. Hal ini dikarenakan, seringkali ada informasi tentang suatu fenomena pertanahan yang belum mampu diterima secara utuh oleh masyarakat.
Kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan dibangun berdasarkan keandalan (reliability) sistem kerja bidang pertanahan yang dijalankan oleh kantor pertanahan. Kepercayaan masyarakat antara lain berupa keyakinan terhadap kejujuran dan kepedulian serta kebenaran prinsip-prinsip yang menjiwai atau dianut oleh sistem kerja bidang pertanahan.
Kepercayaan masyarakat semakin besar perannya dalam konteks interaksi pemerintah dengan masyarakat, ketika pemerintah berhasil mengelola tanda-tanda simbolik dan sistem keahlian yang tepat, yang "digemari" dan sekaligus dibutuhkan masyarakat, dengan tetap memberi output dan outcome yang menguntungkan masyarakat.
Dalam konteks pertanahan, maka pemerintah harus mampu: Pertama, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melahirkan sumber-sumber baru bagi kemakmuran masyarakat.
Kedua, meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
Ketiga, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberi akses secara proporsional kepada masyarakat dalam menguasai, memiliki, menggunakan, dan memanfaatkan tanah.
Keempat, menciptakan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi sengketa dan konflik pertanahan.

Jumat, 03 Juli 2009

KEWAJIBAN BANGSA INDONESIA

Saat ini 40 juta orang dari 250 juta orang Bangsa Indonesia berada dalam kondisi miskin, padahal bangsa ini memiliki wilayah yang luas, dan berpotensi ekonomis. Seolah-olah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mendapat kutukan sumberdaya alam, yaitu suatu kondisi ironi, di mana semakin melimpah sumberdaya alam yang dimiliki, maka semakin miskinlah bangsa tersebut.
Oleh karena itu, Bangsa Indonesia harus mengagendakan kembali landreform dalam pembangunan nasionalnya. Bahkan, karena kerusakan yang parah akibat kebijakan sebelumnya, maka landreform harus diperluas menjadi agraria reform.
Jika ada pihak yang apatis, dengan mengatakan, "Ah... konsepnya sih bagus... Tapi khan tidak ada pelaksanaannya...!" Maka pihak yang apatis ini, sesungguhnya adalah pihak yang tidak sadar dengan tanggungjawabnya. Karena sesungguhnya perubahan dan pelaksanaan sesuatu merupakan tanggungjawab setiap pihak, sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.
Bangsa Indonesia membutuhkan lebih banyak ideolog, yaitu orang yang berani mewujudkan teori, konsep, atau cita-cita menjadi sebuah kenyataan atau realitas. Bangsa Indonesia sudah jenuh dengan banyaknya oportunis, yang hanya mencari kesempatan untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dari setiap keberhasilan perjuangan bangsa.
Saat ini, terbuka peluang bagi Bangsa Indonesia untuk menekan jumlah orang miskin yang menjadi anggotanya. Bukan dengan mengusir atau mengenyahkan orang miskin, melainkan dengan mentransform kemiskinan menjadi kesejahteraan, melalui reforma agraria.
Semoga Bangsa Indonesia berkenan memilih salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden menjadi presiden dan wakil presiden pada pemilihan umum (pemilu) tanggal 8 Juni 2009. Pilihlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bersedia melaksanakan reforma agraria dengan cara yang benar, bukan reforma agraria yang dipandu oleh dan untuk kepentingan Barat (termasuk International Monetary Fund dan World Bank).

Jumat, 19 Juni 2009

INKUBASI KERUNTUHAN EKONOMI

Pafa era 1980-an land reform mengalami keruntuhan yang parah di tingkat dunia, ketika ia dihapuskan dari agenda kebijakan pembangunan institusi internasional. Pada titik ini World Bank (Bank Dunia) menjadi agen dalam mendesakkan kebijakan pertanahan yang pro market (pasar tanah) kepada negara-negara berkembang dan negara-negara miskin.
Peran World Bank ini sesungguhnya telah diskenario oleh negara-negara Barat, seperti negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, untuk kepentingan negara-negara Barat dalam menguasai tanah-tanah di negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Inilah salah satu cara negara-negara Barat dalam menguasai negara-negara berkembang dan negara-negara miskin, selain dengan cara peperangan, hutang luar negeri, fitnah terorisme, dan tekanan diplomatik.
Pada era 1980-an timbullah ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah di banyak negara-negara berkembang dan negara-negara miskin, yang ditandai dengan tingginya angka Koefisien Gini, atau Indeks Gini (Indeks Ketimpangan). Sebagai contoh dapat dilihat Koefisien Gini dari negara-negara sebagai berikut: (1) Brazil sebesar 0,85 ; (2) Kenya sebesar 0,77 ; Meksiko sebesar 0,75 ; Indonesia sebesar 0,56 ; dan Nigeria sebesar 0,47.
Pada negara-negara yang memiliki Koefisien Gini relatif besar (di atas 0,5) maka ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanahnya sangat mengkhawatirkan. Tanah-tanah yang ada di negara-negara tersebut sebagian besar dikuasai, dimiliki, digunakan, dan dimanfaatkan hanya oleh sebagian kecil warganya, yaitu kelompok elit (penguasa, pengusaha, dan bauran keduanya).
Khusus mengenai Indonesia di era 1980-an diketahui hal-hal sebagai berikut: Pertama, pada masa itu kebijakan pertanahan Indonesia mulai masuk pro market. Kedua, konsentrasi tanah berada pada kelompok elit yang ditandai dengan Koefisien Gini sebesar 0,56. Ketiga, landreform dihapuskan dari agenda kebijakan pembangunan nasional, karena dipandang kekiri-kirian (sosialis). Keempat, era 1980-an merupakan masa inkubasi (pembiakan) keruntuhan ekonomi nasional dan kemiskinan akut. Masa panen (memetik hasil inkubasi) dinikmati oleh Bangsa Indonesia pada tahun 1997, berupa krisis serta keruntuhan finansial dan ekonomi, yang dilanjutkan dengan krisis dan keruntuhan multi dimensi pada tahun 1998.

Jumat, 08 Mei 2009

PARADIGMA PENELITIAN

Paradigma penelitian selalu berkembang dari masa ke masa. Pada abad ke-18 paradigma penelitian yang digandrungi para peneliti adalah paradigma positivistik. Paradigma ini menggiring peneliti untuk mengikuti kaidah penelitian ilmu alam pada ranah sosial. Peneliti bertindak sebagai subyek, sedangkan tineliti (pihak yang diteliti) diperlakukan sebagai obyek. Berdasarkan paradigma ini, penelitian bersifat "research on people", dan peneliti sangat mengandalkan data kuantitatif. Oleh karena itu, paradigma ini merupakan sumber bagi eksistensi metode penelitian kuantitatif.
Selanjutnya paradigma positivistik mendapat pendamping, yaitu paradigma post positivistik, yang hampir sama dengan paradigma positivistik, namun sudah menyertakan data kualitatif (sebagai pelengkap). Tidak puas dengan kecanggihan paradigma post positivistik dalam mengungkap "kebenaran", para peneliti mengembangkan paradigma konstruktivisme yang merupakan menifestasi dari "research about people".
Paradigma konstruktivisme berasumsi, bahwa setiap manusia mempunyai construct (bangunan "kebenaran") dan construe (cara memahami "kebenaran") yang berbeda-beda. Dengan demikian akan menjadi menjadi daya tarik yang besar bagi suatu penelitian, apabila dapat mengenali construct dan construe tineliti. Berdasarkan paradigma ini relasi antara peneliti dengan tineliti bersifat subyek - subyek, dengan data andalan berupa data kualitatif.
Paradigma konstruktivisme yang menerapkan relasi subyek - subyek antara peneliti dengan tineliti, ternyata masih disempurnakan kecanggihannya dengan paradigma kritis, yang mulai mengenali adanya ketimpangan dalam relasi kekuasaan, sehingga mewajibkan peneliti untuk membangun kesadaran anti eksploitasi pada diri tineliti. Akhirnya penyempurnaan yang terus menerus pada paradigma kritis, secara evolutif telah menciptakan paradigma baru, yaitu paradigma partisipatoris.
Paradigma partisipatoris memposisikan peneliti dan tineliti pada kondisi setara sepenuhnya dalam pengumpulan data dan pengambilan keputusan, setelah melalui tahapan aksi - reaksi - refleksi, yang disertai dengan "sentuhan" emansipasi. Penerapan paradigma ini merupakan wujud dari "research with people", yang sekaligus menjadi dasar bagi penerapan metode penelitian kualitatif.
Dengan kata lain, metode penelitian kualitatif hadir di semesta ini untuk mendampingi metode penelitian kuantitatif yang tidak sempat membahas keunikan fenomena, karena disibukkan oleh pergumulan dalam membahas hal-hal yang umum atau general.

Sabtu, 21 Maret 2009

ZAMAN KEGELAPAN REFORMA AGRARIA

Reforma agraria di Indonesia telah berlangsung sejak sebelum tahun 1960, namun secara formal barulah nampak bersemangat sejak tahun 1960. Gerakan ini (reforma agraria) tidak terlepas dari peran Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, yang pada tahun 1960 diketuai oleh KH. Zainul Arifin dari Partai NU (Nahdlatul Ulama).
Pada awalnya gerakan reforma agraria didukung oleh segenap komponen bangsa. Hal ini terlihat dari adanya dukungan dari segenap komponen bangsa dalam pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian. Undang-undang ini terbit sebagai upaya memberikan akses bagi petani penggarap, agar dapat menggarap tanah pertanian milik orang lain, dengan melakukan perjanjian bagi hasil yang adil, antara petani penggarap dengan pemilik tanah.
Kebulatan segenap komponen bangsa juga terlihat, ketika dilakukan pengesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang kemudian dikenal dengan sebutan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). UUPA hadir untuk melengkapi keberadaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 yang mengupayakan akses reform. Dalam hal ini, UUPA berupaya melakukan asset reform melalui program landreform, dengan melakukan redistribusi tanah, setelah Negara terlebih dahulu mengambil-alih tanah yang luas pemilikannya melampaui batas, dengan memberi ganti rugi yang layak.
Namun kemudian situasi dan kondisi berubah, ketika PKI (Partai Komunis Indonesia) melakukan aksi sepihak, tanpa menghormati komponen-komponen bangsa lainnya. PKI tidak bersedia melaksanakan program landreform berdasarkan prosedur yang diatur dalam UUPA. Oleh karena itu, sangat menggelikan, jika ada pihak yang menyatakan bahwa UUPA adalah produk PKI, karena faktanya PKI tidak bersedia melakukan program landreform sesuai dengan prosedur yang diatur dalam UUPA.
Akibatnya landreform berubah format dari pembagian tanah (redistribusi tanah), menjadi perebutan tanah. Hal ini, pada gilirannya menimbulkan konflik di mana-mana, bahkan hingga mengakibatkan korban jiwa. Puncaknya berupa konflik horizontal, yang mengkambing-hitamkan program landreform. Sebagai seteru PKI yang memiliki BTI (Barisan Tani Indonesia) antara lain adalah PERTANU (Persatuan Tani Nahdlatul Utama) yang berada di bawah Partai NU. Dalam hal ini PERTANU mendukung pelaksanaan program landreform di Indonesia, tetapi menolak cara-cara yang dilakukan oleh BTI.
Langkah PKI (dengan BTI-nya) yang membabi-buta, dan tanpa aturan dalam melaksanakan program landreform, sehingga menimbulkan konflik horizontal di mana-mana, akhirnya memberangus idealisme landreform di Indonesia. Bahkan citra buruk segera dilekatkan pada ide pelaksanaan landreform, termasuk adanya kesan bahwa landreform merupakan program PKI. Oleh karena itu, ketika Orde Baru melarang keberadaan PKI di Indonesia, maka program landreform dibekukan.
Nasib naas yang menimpa landreform, juga terjadi pada pelaksanaan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian, yang tidak dapat dilaksanakan, karena para birokrat yang seharus menjadi pamong praja lebih berperan sebagai pangreh praja. Akibatnya para birokrat gagal beroeran sebagai katalis pelaksanaan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian. Inilah zaman kegelapan reforma agraria di Indonesia, ketika upaya akses reform (Perjanjian Bagi Hasil Pertanian) dan asset reform (landreform) mengalami mati suri dan pembekuan.

Sabtu, 07 Maret 2009

FENOMENA STEWART DALAM REFORMA AGRARIA

Fenomena Stewart adalah fenomena yang terjadi dalam reforma agraria, ketika beberapa negara yang sebelumnya menganut paradigma Adam Smith dan paradigma Karl Marx, mulai menggeser paradigmanya, hingga akhirnya menganut paradigma John Stewart Mill.
Pardigma Adam Smith memiliki ciri berupa negara yang hanya berperan selayaknya "penjaga malam", dan tak boleh intervensi. Segala sesuatunya diserahkan pada mekanisme pasar.
Paradigma Karl Marx memiliki ciri berupa negara yang sangat dominan. Hak milik ditiadakan, dan segala sesuatu adalah milik negara. Termasuk dalam hal ini pasar, juga dikuasai oleh negara.
Paradigma John Stewart Mill memiliki ciri berupa negara moderat, yaitu negara yang dapat melakukan intervensi terhadap pasar, dalam rangka mengendalikan pasar.
Dalam konteks reforma agraria, fenomena Stewart nampak ketika: Pertama, negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan yang berparadigma Adam Smith, ternyata ketika melakukan reforma agraria mempraktekkan adanya intervensi negara. Kedua, negara-negara seperti Republik Rakyat Cina, dan Vietnam yang berparadigma Karl Marx, ternyata ketika melakukan reforma agraria mempraktekkan adanya kepemilikan individual.
Dengan demikian fenomena Stewart menunjukkan, bahwa intervensi negara dan kepemilikan individual merupakan prasyarat paling mendasar bagi terlaksananya reforma agraria.

Senin, 23 Februari 2009

TANTANGAN REFORMA AGRARIA

Reforma agraria merupakan upaya untuk memberi penguatan asset masyarakat yang berupa tanah, dan sekaligus upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap tanah. Dalam perspektif manajemen, reforma agraria merupakan format pelayanan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia kepada masyarakat. Meskipun reforma agraria merupakan kebutuhan masyarakat, namun ia merupakan kewajiban negara, dalam penyelenggaraannya. Walaupun, tetap saja dalam prakteknya, reforma agraria sangat membutuhkan partisipasi masyarakat.
Sebagai format pelayanan, maka reforma agraria memiliki tantangan sebagai berikut:
Pertama, reforma agraria haruslah mudah (esier). Pelaksanaan reforma agraria hendaklah dapat mudah difahami oleh banyak pihak, termasuk masyarakat. Untuk itu diperlukan formula yang memenuhi logika dan rasionalitas masyarakat.
Kedua, reforma agraria haruslah cepat (faster). Pelaksanaan reforma agraria hendaklah tidak terlalu lama. atau jangan ditunda-tunda lagi, sebab akan kehilangan momentum. Penundaan reforma agraria akan membangkitkan konflik sosial yang akan mengganggu harmoni kebangsaan.
Ketiga, reforma agraria haruslah murah (cheaper). Pelaksanaan reforma agraria hendaklah dapat dijangkau oleh anggaran negara, baik melalui anggaran pemerintah pusat, maupun anggaran pemerintah daerah.
Keempat, reforma agraria haruslah lebih baik (better). Pelaksanaan reforma agraria hendaklah dapat memberikan upaya optimal bagi pencapaian keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Dengan demikian akan tercipta struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih adil.
Kelima, reforma agraria haruslah memenuhi prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Pelaksanaan reforma agraria yang memenuhi prinsip-prinsip ini akan lebih dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat.

Sabtu, 21 Februari 2009

Rabu, 18 Februari 2009

KEMISKINAN DI KABUPATEN PURWOREJO

Ada 7 (tujuh) kecamatan di Kabupaten Purworejo, yang patut mendapat perhatian dalam konteks kemiskinan, dari 16 kecamatan di Kabupaten Purworejo. Ketujuh kecamatan tersebut, meliputi: (1) Kecamatan Bruno, (2) Kecamatan Kaligesing, (3) Kecamatan Purworejo, (4) Kecamatan Butuh, (5) Kecamatan Kutoarjo, (6) Kecamatan Bener, dan (7) Kecamatan Banyu-urip.
Pertama, Kecamatan Bruno. Berdasarkan kondisi desa miskin, maka 78 % desa yang ada di kecamatan ini adalah desa miskin. Berdasarkan kondisi keluarga miskin, maka 49 % keluarga di kecamatan ini adalah keluarga miskin.
Kedua, Kecamatan Kaligesing. Berdasarkan kondisi desa miskin, maka jumlah desa miskin di kecamatan ini tidak terlalu menonjol (tidak tinggi dan tidak rendah) dalam konteks Kabupaten Purworejo. Berdasarkan kondisi keluarga miskin, maka 45 % keluarga di kecamatan ini adalah keluarga miskin.
Ketiga, Kecamatan Purworejo. Berdasarkan kondisi desa miskin, maka 20 % desa yang ada di kecamatan ini adalah desa miskin. Berdasarkan kondisi keluarga miskin, maka 29 % keluarga di kecamatan ini adalah keluarga miskin.
Keempat, Kecamatan Butuh. Berdasarkan kondisi desa miskin, maka jumlah desa miskin di kecamatan ini tidak terlalu menonjol (tidak tinggi dan tidak rendah) dalam konteks Kabupaten Purworejo. Berdasarkan kondisi keluarga miskin, maka 29 % keluarga di kecamatan ini adalah keluarga miskin.
Kelima, Kecamatan Kutoarjo. Berdasarkan kondisi desa miskin, maka jumlah desa miskin di kecamatan ini tidak terlalu menonjol (tidak tinggi dan tidak rendah) dalam konteks Kabupaten Purworejo. Berdasarkan kondisi keluarga miskin, maka 28 % keluarga di kecamatan ini adalah keluarga miskin.
Keenam, Kecamatan Bener. Berdasarkan kondisi desa miskin, maka 79 % desa di kecamatan ini adalah desa miskin. Berdasarkan kondisi keluarga miskin, maka jumlah keluarga miskin di kecamatan ini tidak terlalu menonjol (tidak tinggi dan tidak rendah) dalam konteks Kabupaten Purworejo.
Ketujuh, Kecamatan Banyu-urip. Berdasarkan kondisi desa miskin, maka 15 % desa di kecamatan ini adalah desa miskin. Berdasarkan kondisi keluarga miskin, maka jumlah keluarga miskin di kecamatan ini tidak terlalu menonjol (tidak tinggi dan tidak rendah) dalam konteks Kabupaten Purworejo.
Dengan demikian, diketahui bahwa Kecamatan Bruno merupakan kecamatan termiskin di Kabupaten Purworejo, baik berdasarkan kondisi desa miskin (78 %), maupun berdasarkan kondisi keluarga miskin (49 %).

Sabtu, 14 Februari 2009

REFORMA AGRARIA DI ASIA

Reforma agraria dilaksanakan oleh banyak negara, dalam rangka memberi penguatan asset masyarakat yang berupa tanah, termasuk memfasilitasi penguatan akses masyarakat terhadap asset yang berupa tanah. Untuk konteks Asia, ada dua model reforma agraria yang dapat dicontoh, yaitu model sosialis dan model kapitalis. Reforma agraria model sosialis dipraktekkan oleh China dan Vietnam, sedangkan model kapitalis diperagakan oleh Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang.
Reforma agraria model sosialis menekankan pada peran negara yang relatif besar. Pada model ini tanah-tanah para tuan tanah disita oleh negara, untuk diredistribusikan kepada petani tak bertanah. Para tuan tanah tetap diperkenankan memiliki dan menguasai tanah, namun dengan luas tertentu yang ditetapkan oleh negara. Reforma model sosialis dilaksanakan dengan tanpa beban biaya finansial untuk transfer tanahnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya tanah-tanah yang disita oleh negara.
Reforma agraria model kapitalis menekankan pada sinergitas antara peran negara, petani tak bertanah, dan tuan tanah. Pada model ini tanah-tanah para tuan tanah dibeli oleh negara dengan harga yang layak, untuk diredistribusikan kepada petani tak bertanah. Negara memberikan tanah ini kepada petani tak bertanah tidak secara gratis, melainkan memberikan dengan harga yang memadai, yang akan dibayar oleh petani penerima tanah tersebut dengan cara mengangsur. Reforma agraria model kapitalis dilaksanakan dengan beban finansial yang yang rendah untuk transfer tanahnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya tanah-tanah yang diperoleh negara dengan harga yang layak (bagi tuan tanah), memadai (bagi petani tak bertanah), dan terjangkau (bagi negara).
Untuk Indonesia, hendaklah tidak terjebak pada kutub sosialis atau kapitalis, melainkan hendaklah dapat dilacak sebuah model yang khas Indonesia, agar sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, dan hukum Indonesia. Tujuannya adalah untuk mengantarkan kesejahteraan bagi rakyat, melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang berupa tanah, secara adil, lestari, dan optimal.

Sabtu, 07 Februari 2009

PILIHAN PARADIGMA DALAM REFORMA AGRARIA

Ada banyak pilihan paradigma yang dapat digunakan dalam pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, yang tentunya, apapun pilihannya tetap harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia. Paradigma tersebut, antara lain meliputi: (1) Paradigma Pro-Pasar, (2) Paradigma Anti-Pasar, dan (3) Paradigma Intervensi-Pasar.
Paradigma pro-pasar (pro-market), diadopsi dari pandangan Adam Smith tahun 1776. Paradigma ini beranggapan, bahwa reforma agraria akan berjalan dengan sendirinya, bila masyarakat mempraktekkan dengan konsekuen pasar tanah. Dengan kata lain, penawaran dan permintaan terhadap tanah diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Tiap-tiap anggota masyarakat dipersilahkan berkompetisi satu sama lain, dalam upayanya mendapatkan tanah.
Dalam pandangan paradigma pro-pasar, ada kekuatan harmoni dalam mekanisme pasar tanah. Oleh karena itu, tidak dibutuhkan intervensi pemerintah dalam pasar tanah, meskipun ada "riak" kecil dalam dinamika pasar tanah, seperti: (1) adanya tanah-tanah absentee yang dimiliki pihak tertentu, (2) adanya monopoli pihak tertentu terhadap asset yang berupa tanah dan akses terhadap tanah, dan (3) adanya peningkatan sewa tanah yang memberatkan petani, yang dikonstruksi oleh pihak tertentu.
Bagi Karl Marx, segala kerusakan yang ditimbulkan oleh pasar bukanlah "riak" kecil. Hal ini ia sampaikan setelah melakukan kunjungan dan penelitian di Irlandia, Inggris, dan Perancis antara tahun 1851-1871. Baginya, ini adalah kerusakan sosial terparah, yang menjerat manusia dan kemanusiaannya, dan sengaja dijeratkan oleh para pemilik modal dan tuan tanah. Pandangan Karl Marx yang kritis inilah, yang selanjutnya diadopsi sebagai "paradigma anti-pasar".
Paradigma anti-pasar berpandangan, bahwa hak milik atas tanah yang ada ditangan anggota masyarakat, terutama para pemilik modal dan tuan tanah, sangat membahayakan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penghapusan hak milik atas tanah, dan menggantinya dengan kepemilikan bersama (kolektif). Dengan demikian tidak terjadi jual beli tanah di masyarakat, yang selanjutnya akan menjamin keberlangsungan produktivitas tanah.
Namun demikian, paradigma pro-pasar dan paradigma anti-pasar mendapat penentangan keras dari paradigma intervensi-pasar. Paradigma ini (intervensi pasar) diadopsi dari pandangan John Stewart Mill. Sebagai scholar (sarjana), John Stewart Mill telah melakukan penelitian terhadap: (1) fenomena kelaparan petani Irlandia pada tahun 1845-1851, dan (2) fenomena perebutan tanah yang "keras" di Irlandia pada tahun 1879-1892. Berdasarkan hasil penelitiannya inilah, John Stewart Mill menyatakan, bahwa pasar tetap diperlukan oleh masyarakat, namun karena adanya ekses negatif yang berpeluang ditimbulkan oleh mekanisme pasar yang terlalu bebas (liar), maka dibutuhkan intervensi pemerintah. Dengan demikian, dalam konteks reforma agraria, paradigma intervensi pasar menyarankan agar pasar tidak diberangus (dihapus), melainkan dieliminir, direduksi, atau dikurangi ekses negatifnya melalui intervensi pemerintah.
Setelah memperhatikan pandangan paradigma pro-pasar, paradigma anti-pasar, dan paradigma intervensi pasar, maka dalam konteks Indonesia, selayaknya reforma agraria yang dilaksanakan berbasis pada pandangan, atau pemikiran paradigma intervensi pasar.

Minggu, 01 Februari 2009

REFORMASI PEMILIKAN TANAH

Reforma agraria terdiri dari: Pertama, penguatan asset, melelui reformasi pemilikan dan penguasaan tanah. Kedua, pemberian akses pada masyarakat, melalui reformasi penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Dengan demikian, sebagai bagian dari reforma agraria, maka reformasi pemilikan tanah memiliki arti strategis bagi pemberdayaan dan pensejahteraan masyarakat, melalui pengelolaan sumberdaya agraria (tanah). Ada empat alasan, yang menunjukkan arti strategis reformasi pemilikan tanah, yaitu:
Pertama, reformasi pemilikan tanah akan mengubah kondisi ekonomi, karena tanah tidak lagi dimonopoli oleh kelompok atau orang tertentu. Kondisi ekonomi berubah, karena akses terhadap tanah diperoleh oleh lebih banyak orang, sehingga keuntungan ekonomi dapat dirasakan oleh lebih banyak orang.
Kedua, reformasi pemilikan tanah menolak konsepsi "asal berubah". Perubahan tidaklah sebatas penghapusan tuan tanah, dan menggantikannya dengan sistem sewa atau kontrak. Reformasi pemilikan tanah meliputi redistribusi tanah kepada petani tak bertanah.
Ketiga, redistribusi tanah kepada petani tak bertanah, akan memberi manfaat, berupa: (1) Peningkatan martabat petani, yang akan membangkitkan jatidiri dan motivasinya, dalam memacu prestasi dan kinerja di bidang pertanian; (2) Peningkatan distribusi pendapatan pada kalangan yang lebih luas, sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya akan memicu peningkatan "putaran" ekonomi di sektor riil.
Keempat, redistribusi tanah kepada petani tak bertanah memerlukan tindakan, yang berupa penyisihan secara proporsional sebagian kawasan hutan dan perkebunan besar. Untuk itu, elemen substansi pengambil-alihan tanah merupakan bagian yang memerlukan pencermatan mendalam, agar tidak terjadi konflik antara petani tak bertanah dengan pengelola kawasan hutan dan perkebunan besar.

Rabu, 21 Januari 2009

TANAH VERSUS HUTAN

Selayaknya masyarakat dapat bersifat kritis terhadap Hukum Tanah Nasional, yang tersebar pada berbagai Undang-Undang, seperti Undang-Undang Pokok Kehutanan, dan lain-lain yang terkadang tidak memihak rakyat. Bukankah banyak contoh, masyarakat yang secara tradisional tinggal di hutan, tiba-tiba harus keluar dari tempat tinggalnya, karena berdasarkan hukum (Kehutanan), hutan tempat tinggalnya telah beralih menjadi taman nasional. Inilah praktek mengatur tanah dengan Hukum Hutan (Rimba), yang akhirnya merugikan masyarakat.
Oleh karena itu, legal drafting bukanlah satu-satunya faktor yang dapat menentukan kualitas Hukum Hutan (Undang-Undang Pokok Kehutanan). Membuat Hukum Hutan memerlukan seni (art) dalam memahami masyarakat, dan teknik yang memadai dalam menuangkan realitas sosial dalam sebuah teks hukum. Dengan demikian pembuat Hukum Hutan, hendaknya memiliki kemampuan identifikasi yang tinggi, agar ia dapat membedakan antara tanah dengan hutan, atau antara kewenangan Hukum Tanah dengan Hukum Hutan.
Hal ini diharapkan dapat mengurangi ekses negatif, ketika banyak pihak mengklaim diri sebagai pengelola hutan, padahal hutannya rusak. Parahnya lagi, ketika hutannya rusak, tanahnya ikut rusak. Akhirnya semua ini bermuara pada penderitaan rakyat yang semakin miskin dan rawan bencana.