Kamis, 11 Desember 2008

KABUPATEN KEDIRI DALAM KONTEKS PROVINSI JAWA TIMUR

Letak Kabupaten Kediri secara relatif berada di bagian tengah Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Kediri berbatasan di sebelah utara dengan Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Jombang, di sebelah timur dengan Kabupaten Jombang dan Kabupaten Malang, di sebelah selatan dengan Kabupaten Blitar dan Kabupaten Tulungagung, di sebelah barat dengan Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Ponorogo, dan Kabupaten Nganjuk, serta di bagian tengah dengan Kota Kediri.
Pada tahun 2006 angka kemiskinan di Provinsi Jawa Timur mencapai 2,2 juta keluarga. Ada delapan kabupaten yang angka kemiskinannya relatif tinggi di Provinsi Jawa Timur, yaitu: (1) Kabupaten Bondowoso, (2) Kabupaten Sampang, (3) Kabupaten Situbondo, (4) Kabupaten Ponorogo, (5) Kabupaten Pacitan, (6) Kabupaten Probolinggo, (7) Kabupaten Bojonegoro, dan (8) Kabupaten Nganjuk.
Dengan demikian, dalam konteks Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Kediri tidaklah termasuk sebagai kabupaten yang memiliki angka kemiskinan relatif tinggi. Namun demikian, hal ini bukan berarti Kabupaten Kediri tidak memiliki keluarga miskin. Sebaliknya, pada tahun 2006 Kabupaten Kediri memiliki 87.247 keluarga miskin, dari 426.552 keluarga yang ada di kabupaten ini. Kata lainnya, sebesar 20,45 % keluarga di Kabupaten Kediri merupakan keluarga miskin.
Bila diketahui pada tahun 2006 angka kemiskinan di Provinsi Jawa Timur sebesar 2,2 juta keluarga, sedangkan angka kemiskinan di Kabupaten Kediri mencapai 87.247 keluarga, maka kontribusi Kabupaten Kediri bagi angka kemiskinan Provinsi Jawa Timur adalah sebesar 3,97 %.
Kemiskinan merupakan puncak masalah pertanahan, karena pengelolaan pertanahan bertujuan untuk mencapai sebesar-sebesar kemakmuran rakyat (masyarakat). Oleh karena itu kemiskinan merupakan bagian dari indikasi adanya kesalahan dalam pengelolaan pertanahan. Kesalahan tersebut meliputi kesalahan dalam hal penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.

Senin, 24 November 2008

KEMISKINAN LAGI

BPS (Badan Pusat Statistik) pernah menyatakan (1997), bahwa penduduk miskin adalah mereka yang nilai pengeluaran konsumsinya berada di bawah garis kemiskinan, di mana nilai rupiahnya setara dengan nilai 2.100 kalori per kapita per hari, ditambah dengan nilai rupiah yang cukup untuk mengkonsumsi kebutuhan non pangan yang esensial.
Sementara itu, Departemen Keuangan (2004) menjelaskan, bahwa penduduk miskin adalah mereka yang standar hidupnya di bawah satu dolar Amerika Serikat per hari.
Bagi Wikipedia Indonesia (2008), kemiskinan dapat difahami dalam berbagai cara, yaitu: Pertama, kemiskinan adalah gambaran kekurangan materi, yang meliputi kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan layanan kesehatan.
Kedua, kemiskinan adalah gambaran tentang kebutuhan sosial, yang meliputi keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidak-mampuan untuk berpartisipasi, termasuk dalam pendidikan dan informasi.
Ketiga, kemiskinan adalah gambaran tentang kurangnya penghasilan, dan kekayaan yang tidak memadai.

Kamis, 16 Oktober 2008

KEMISKINAN SEBAGAI MASALAH AGRARIA

Pengelolaan agraria bertujuan untuk menciptakan kemakmuran atau kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, ketika kemiskinan terjadi di suatu wilayah, maka hal ini merupakan bukti, bahwa "ada masalah dalam pengelolaan agraria". Untuk mengatasinya diperlukan kajian yang cermat tentang kemiskinan.
Kemiskinan dapat dipandang sebagai akibat dari suatu kondisi tertentu, dan dapat pula dipandang sebagai suatu karakter yang inherent dari seseorang atau suatu masyarakat. Bila yang difahami adalah kemiskinan sebagai karakter inherent, maka solusinya menggugah seseorang atau masyarakat yang bersangkutan, untuk segera bertindak mengatasi kemiskinannya. Tetapi bila yang difahami, adalah pandangan bahwa kemiskinan adalah akibat dari suatu kondisi tertentu, maka solusinya adalah menghentikan faktor-faktor yang dapat memiskinkan masyarakat.
Ketidak-adilan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah merupakan salah satu faktor yang dapat memiskinkan masyarakat. Oleh karena itu sudah selayaknya Pemerintah (Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) menata kembali atau mereformasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Reformasi dapat dimulai dengan menjadikan sebagian tanah-tanah yang dikuasai Perkebunan Besar dan Kehutanan sebagai obyek redistribusi. Para petani yang membutuhkan tanah selanjutnya secara selektif (kualitatif) diberikan tanah-tanah ex Perkebunan Besar dan Kehutanan, sebagai tanah garapan mereka, dengan tetap memperhatikan aspek konservasi tanah.
Bila program ini dapat terlaksana, insyaAllah tanah dapat memberi kemakmuran bagi masyarakat. Semoga..........

Jumat, 15 Agustus 2008

NEO LIBERAL AGRARIA

Saat ini banyak negara-negara di belahan dunia bagian selatan (termasuk Indonesia) menerapkan paradigma neo liberal dalam pengelolaan sumberdaya agrarianya. Paradigma ini telah menimbulkan banyak masalah di pedesaan, ketika terjadi proses deagrarianisasi, yaitu tercerabutnya petani dari aktivitas pertanian. Kalaupun tetap bertahan di pertanian, maka mereka yang marginal mengambil posisi hanya sebagai buruh tani. Sementara itu, tenaga kerja yang berharap dapat ditampung di sektor industri harus kecewa, karena adanya pembatasan dan keterbatasan sektor industri.
Sedikit banyak hal ini dipengaruhi oleh globalisasi neo liberal yang menghasilkan perubahan, berupa: Pertama, adanya tatanan yang berlaku umum di desa-desa (beberapa pakar menyebutnya mc-donaldisasi, atau penyeragaman "rasa"). Kedua, pembentukan kembali format produksi di desa-desa dalam berbagai tingkatan. Ketiga, munculnya bentuk-bentuk ikutan dari sektor ekonomi di desa-desa.
Pada gilirannya, neo liberal agraria telah memperkuat ketidak-setaraan akses terhadap tanah. Hanya mereka yang berada pada posisi kuat secara ekonomi, yang dapat dengan mudah mengakses tanah, dan mengambil manfaat dari tanah yang berhasil diaksesnya. Hal inilah yang mengakibatkan desa-desa masa kini menjadi lebih miskin dari sebelumnya, terutama pada desa-desa agraris.

Kamis, 10 Juli 2008

TERTIB SOSIAL PERTANAHAN

Dalam konteks pertanahan, diketahui adanya interaksi antara masyarakat dengan pemerintah, atau tepatnya antara pemegang hak atas tanah dengan pemerintah. Interaksi ini dikemas dalam format hak dan kewajiban, atau tepatnya hak dan kewajiban masyarakat, serta hak dan kewajiban pemerintah. Masyarakat berkewajiban memenuhi segenap persyaratan untuk mendapatkan hak atas tanah, sedangkan pemerintah berkewajiban melayani masyarakat yang telah memenuhi persyaratan, dan berhak atas biaya yang dikeluarkan masyarakat.
Ekualitas hak serta kewajiban antara masyarakat dan pemerintah merupakan basis bagi terciptanya tertib sosial pertanahan. Kondisi ini akan mendorong terbangunnya sistem sosial dalam konteks pertanahan, yang bersifat fungsional struktural. Hak atas tanah memberi peluang bagi terciptanya sistem sosial ini, ketika penerapan dan penghormatannya memberi pengakuan tentang adanya sistem sosial pertanahan yang dimiliki oleh masyarakat. Sistem sosial yang dimaksud di sini tidaklah selalu yang bersifat tradisional (adat), melainkan juga meliputi sistem sosial yang bersifat modern (tekstual dan impersonal).
Vilfredo Pareto (1848-1923) dalam "The Structure of Social Action" (1937) pernah mengingatkan, bahwa dalam suatu sistem sosial, bila terjadi suatu perubahan pada satu bagian dapat menyebabkan perubahan pada bagian lainnya. Pesan Vilfredo Pareto ini layak dipertimbangkan oleh jajaran BPN-RI, ketika sedang merubah paradigmanya menjadi lebih berpihak kerakyatan dan mensejahterakan. Paradigma baru ini tercermin ini dari gerakan reforma agraria yang dilakukan oleh jajaran BPN-RI (termasuk STPN), melalui berbagai kegiatan dalam kompetensi dan ranahnya masing-masing.
Tujuan gerakan ini adalah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memperoleh jaminan kepastian hukum atas asset masyarakat yang berupa tanah. Kesempatan ini akan membuka kesempatan berikutnya, yaitu berupa peningkatan kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan assetnya. Kondisi ini biasa disebut dengan "memberi akses pada masyarakat".

Minggu, 13 April 2008

MEMAHAMI PENGADAAN TANAH

Ketika Bangsa Indonesia meningkat aktivitasnya, maka meningkat pulalah kebutuhannya terhadap persediaan tanah. Akibatnya diperlukan penyediaan tanah atau pengadaan tanah, untuk memenuhi kebutuhan pihak swasta dan pemerintah. Pada saat pengadaan tanah diperuntukkan untuk melayani kebutuhan pemerintah, maka ia digunakan untuk memenuhi pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Saat itulah digunakan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005.
Kedua peraturan presiden ini urgen, terutama untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dalam membangun infrastruktur di negeri ini. Upaya membangun infrastruktur antara lain dilaksanakan dengan melibatkan pihak swasta/investor dalam dan luar negeri, melalui Indonesia Infrastructure Summit 2005 pada tanggal 17 - 18 Januari 2005. Pertemuan kemudian dilanjutkan dengan penandatangan Declaration of Action oleh wakil Pemerintah Indonesia, World Bank, Asian Development Bank, dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia.
Ada itikad baik dibalik terbitnya Peratuan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, yaitu: (1) sebagai antisipasi kebutuhan persediaan tanah yang cepat dan transparan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum; dan (2) karena peraturan sebelumnya (Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993) dipandang tidak memadai lagi untuk mengakomodir dinamika kekinian kebutuhan terhadap persediaan tanah.
Oleh karena itu, langkah penting yang harus dilakukan adalah dengan memasukkan substansi tertentu secara kuat (mengakar) dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005. Substansi tersebut meliputi keadilan dan kepastian hukum yang berbasis pada penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Dengan demikian Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 layak disebut sebagai terobosan hukum.
Peraturan presiden ini telah melakukan terobosan, dalam hal upaya mengatasi berbagai kendala pengadaan tanah. Berkaitan dengan prosedur, peraturan presiden ini telah memperkenalkan perusahaan penilai (appraisal) yang secara independen akan menetapkan harga tanah, yang selanjutnya akan digunakan sebagai acuan oleh Panitia Pengadaan Tanah. Sementara itu berkaitan dengan waktu, peraturan presiden ini telah memperkenalkan pembatasan waktu (90 hari) dan konsepsi konsinyasi (penitipan uang di Pengadilan Negeri setempat); sehingga perpaduan antara kinerja perusahaan penilai, batasan waktu, dan konsepsi konsinyasi akan dapat menghindarkan berlarut-larutnya pengadaan tanah, yang sekaligus untuk menghindari pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961.
Inilah itikad baik yang harus diperhatikan oleh banyak pihak, ketika memahami pengadaan tanah. Sudah saatnya dibangun sinergi antar komponen bangsa, dalam rangka pembangunan infrastruktur. Saatnya pula menumbuhkan saling percaya semua pihak, dengan mengikis habis pandangan sinis, curiga dan menghakimi berlebihan, pada upaya yang sedang dilakukan. InsyaAllah semua ini diridhai Allah SWT.

Rabu, 19 Maret 2008

PARTISIPASI MASYARAKAT

Pengelolaan pertanahan oleh BPN-RI (Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) tidaklah akan mencapai sukses, bila tidak didukung oleh masyarakat. Kinerja terbaik BPN-RI hanya akan menjadi idealisme semata, bila masyarakat enggan berpartisipasi.
Oleh karena itu, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 5 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan. Gerakan ini bertujuan untuk memberi ruang partisipasi kepada masyarakat dalam pengelolaan pertanahan, seperti dalam hal: Pertama, pemasangan tanda batas, yang dilakukan bersama-sama secara terkoordinir oleh pemilik tanah dan tetangga batasnya; Kedua, mendorong pembentukan Pokmasdartibnah (Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan) oleh masyarakat, yang akan berpartisipasi dalam pengelolaan pertanahan.
Keakraban antara Pokmasdartibnah dengan Kantah (Kantor Pertanahan) akan membuktikan kebenaran dan perwujudan Agenda Pertama dari Sebelas Agenda BPN-RI, yaitu "Membangun kepercayaan masyarakat. Keakraban ditandai oleh adanya peran Pokmasdartibnah dalam pengelolaan pertanahan, yang berbasis pada status Pokmasdartibnah yang swadaya, swakelola, dan swadana.
Peran Pokmasdartibnah juga diawali oleh adanya stimulus dari BPN-RI dan Kantah, yang memberi ruang partisipasi kepada masyarakat. Stimulus inilah yang direspon oleh Pokmasdartibnah, dengan memberi kinerja yang dapat mendukung pencapaian tujuan pengelolaan pertanahan oleh BPN-RI.
Peran (role) memberi makna adanya aspek dinamis dari status Pokmasdartibnah, yang memberinya perangkat hak dan kewajiban. Peran juga merupakan perilaku aktual dari Pokmasdartibnah, dan merupakan bagian dari aktivitas yang sedang dimainkan Pokmasdartibnah.
Perspektif Neo-Fungsionalis menjelaskan, bahwa: Pertama, masyarakat tersusun dari unsur-unsur yang saling berinteraksi menurut pola tertentu, yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh Pokmasdartibnah untuk memberi kontribusi optimal dalam pengelolaan pertanahan oleh BPN-RI. Kedua, tindakan masyarakat ada yang bersifat rasional, teratur, dan ekspresif, yang mendesak Pokmasdartibnah untuk mem-blow-up keteraturan secara rasional dan mudah diekspresikan. Ketiga, integrasi masyarakat merupakan kemungkinan sosial, yang berpeluang besar untuk terus dikembangkan oleh Pokmasdartibnah. Keempat, meskipun selalu terbuka peluang bagi munculnya ketegangan sosial, namun hal ini merupakan instrumen bagi aparat BPN-RI atah Kantah untuk mendeteksi sengketa, dan prospek ke depan.

Selasa, 18 Maret 2008

PERTANAHAN DAN DINAMIKA MASYARAKAT

Masyarakat bersifat dinamis, demikian pula halnya dengan pertanahan. Sebab masyarakat dan tanah merupakan dua unsur di bumi yang saling mempengaruhi. Masyarakat mempengaruhi tanah melalui penggunaan dan pemanfaatan tanah, sedangkan tanah mempengaruhi manusia melalui output dan space-nya.
Oleh karena itu dinamika masyarakat akan menyebabkan terjadinya dinamika pertanahan. Ketika terjadi revolusi politik di suatu wilayah, maka akan terjadi perubahan dahsyat di masyarakat, termasuk terjadinya chaos dalam konteks pertanahan. Masa-masa ini seringkali ditandai dengan perebutan pengusaan tanah anggota orde sebelumnya oleh anggota orde penggantinya.
Kondisi chaos akan mendorong lahirnya seorang "pahlawan", yang akan menegakkan kembali ketertiban. Untuk itu diperlukan perubahan sosial yang akan mengembalikan tatanan masyarakat pada kondisi semula. Sang Pahlawan mulai merumuskan dan membangun infra struktur, yang akan melayani secara cermat reclaiming oleh anggota masyarakat yang sebelumnya tertindas.
Pada saat dinamika (revolusi) politik dapat diatasi, persoalan berikutnya adalah dinamika industri. Masyarakat menghadapi kenyataan adanya tawaran industri yang semakin canggih, padat modal dan padat kreativitas. Dinamika industri akan direspon oleh masyarakat dengan mendistribusikan bebannya ke atas tanah. Akibatnya memiliki dua peluang, yaitu semakin memberatkan tanah (polusi dan kerusakan), atau semakin meringankan tanah (terjaganya kesuburan dan teraktualisasimya potensi).
Birokrasi sekala besar mulai muncul untuk mengakomodir dinamika industri, termasuk birokrasi yang mengelola pertanahan. Birokrasi ini didirikan untuk memberi pelayanan pertanahan yang terbaik kepada masyarakat, namun didesakkan oleh berbagai pihak untuk menjalankan pengelolaan pertanahan berbasis pasar. Mulailah masuk sistem kapitalis ke dalam masyarakat tersebut, termasuk di bidang pertanahan.
Sistem kapitalis mulai mempengaruhi masyarakat dengan memberi keuntungan yang besar kepada segelintir orang (pemilik modal atau komprador-nya), sedangkan sebagian besar masyarakat telah menahun dalam kemiskinannya. Ketika itulah muncul sosialisme, yang merupakan seperangkat upaya perubahan yang bertujuan menanggulangi ekses dinamika industri .

Selasa, 22 Januari 2008

NORMA PENDAFTARAN TANAH

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah telah mengkonstruksi norma pendaftaran tanah di masyarakat, antara lain: Pertama, tahapan pemeriksaan berkas permohonan, mengkonstruksi norma keaktifan anggota masyarakat dalam membuktikan dirinya sebagai pemilik yang sah atas suatu bidang tanah. Termasuk dalam hal ini kesediaan anggota masyarakat memanfaatkan jasa PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), yang aktanya bermanfaat dalam memperkuat pembuktian kepemilikan atas tanah.
Kedua, tahapan pembayaran biaya pengukuran dan pendaftaran hak atas tanah, mengkonstruksi norma kesediaan anggota masyarakat membayar biaya pengukuran dan pendaftaran hak atas tanah.
Ketiga, tahapan penelitian data yuridis, mengkonstruksi norma ketelitian anggota masyarakat dalam menyiapkan alas hak atau bukti awal pemilikan tanah.
Keempat, tahapan pemeriksaan lapangan tentang kebenaran data yuridis, mengkonstruksi norma: (a) kejujuran anggota masyarakat dalam membuktikan kebenaran kepemilikan tanahnya; (b) kepedulian anggota masyarakat yang berbatasan dan berdekatan dengan pemilik tanah untuk bersedia memberikan informasi tentang tanah dimaksud.
Kelima, tahapan pengukuran bidang tanah untuk mengumpulkan data fisik, mengkonstruksi norma: (a) kesediaan pemilik tanah (anggota masyarakat) memasang tanda batas untuk menandai bidang tanah yang dimilikinya; (b) kesediaan pemilik tanah untuk berinteraksi dengan tetangga batas dalam penetapan batas bidang tanah, sebagai konsekuensi asas contradictoir delimitatie; (c) kepedulian tetangga batas (anggota masyarakat) untuk menghadiri penetapan batas bidang tanah ; (d) pengakuan pemilik tanah terhadap hasil pengukuran oleh petugas kantor pertanahan.
Keenam, tahapan pengumuman data yuridis dan data fisik, mengkonstruksi norma apresiasi (penghormatan) anggota masyarakat terhadap informasi pertanahan.
Ketujuh, tahapan pembukuan hak, mengkonstruksi norma apresiasi anggota masyarakat terhadap budaya tulis atau budaya catat di bidang pertanahan, terutama yang berkaitan dengan pemilik tanah.
Kedelapan, tahapan penerbitan sertipikat hak atas tanah, mengkonstruksi norma apresiasi anggota masyarakat terhadap hak dan kewajiban masyarakat sehubungan dengan telah dibuktikannya pemilikan atas suatu bidang tanah.
Kesembilan, tahapan penyerahan sertipikat hak atas tanah pada pemohon, mengkonstruksi norma kehati-hatian anggota masyarakat dalam menyimpan alat bukti yang kuat bagi pemilikan atas suatu bidang tanah.
Kesepuluh, tahapan paska penyerahan sertipikat hak atas tanah pada pemohon, mengkonstruksi norma kemampuan anggota masyarakat memanfaatkan sertipikat hak atas tanah yang ada padanya.