Sabtu, 30 Juni 2012

BEBAN PETANI (MASYARAKAT) MISKIN


Sesuai dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi), Kantor Pertanahan berupaya mensejahterakan masyarakat, termasuk petani miskin. Dengan demikian selain menjadi tugas petani yang bersangkutan, kesejahteraan petani juga menjadi tugas Kantor Pertanahan. Hal ini menunjukkan adanya internalisasi kepentingan pada Kantor Pertanahan, di mana tupoksi dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan dengan menggerakkan semua seksi yang ada di Kantor Pertanahan.

Kesejahteraan petani miskin, sebenarnya bukan hanya tugas Kantor Pertanahan, melainkan juga merupakan tugas instansi-instansi lain, baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten. Selain itu ada pengusaha, yang juga berkepentingan untuk mensejahterakan petani miskin, sebagai tanggungjawab sosialnya, atau biasa dikenal dengan istilah CSR (Corporate Social Responsibility). Perlu diketahui pula, bahwa tugas mensejahterakan petani miskin merupakan tugas masyarakat, bahkan merupakan tugas petaninya itu sendiri.

Kantor Pertanahan berupaya melayani masyarakat, baik yang miskin maupun yang sejahtera. Sementara itu, khusus bagi yang miskin (ekonomi lemah) disediakan pelayanan sertipikasi hak atas tanah yang spesial, seperti PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria) dan PRODA (Proyek Operasi Daerah Agraria).

Sebagaimana diketahui petani miskin membutuhkan modal untuk usahanya, maka sertipikasi hak atas tanah merupakan salah satu jawaban atas kebutuhan tersebut. Dengan adanya sertipikat hak atas tanah, maka petani miskin dapat memperoleh tambahan modal bagi usahanya. Petani miskin dapat menjadikan tanahnya sebagai agunan, di mana sertipikat merupakan salah satu syarat dari pihak bank, agar yang bersangkutan dapat memperoleh kredit.

Persoalan menjadi sulit untuk diatasi, ketika ternyata petani miskin ada yang tidak mempunyai tanah. Bagi mereka ini solusinya tidak dapat dengan sertipikasi hak atas tanah, melainkan dengan program redistribusi tanah.

Sementara itu, bantuan bagi petani miskin perlu memperhatikan adanya struktur sosial yang memiliki lapisan, sebagai berikut: Pertama, lapisan atas yang terdiri dari petani kaya, dan para pengusaha. Lapisan inilah yang paling banyak menguasai sumberdaya alam, termasuk tanah; Kedua, lapisan menengah yang terdiri dari pamong desa, dan karyawan. Lapisan ini seringkali berperan sebagai pendukung lapisan atas. Ketiga, lapisan bawah yang terdiri dari buruh dan buruh tani. Lapisan ini yang paling mengalami banyak kendala dalam mengakses semberdaya alam (tanah).

Struktur sosial ini tidak menguntungkan bagi petani miskin, karena penguasaan sumberdaya alam terbanyak dipegang oleh lapisan atas. Ironinya, lapisan bawah tidak mendapat perhatian yang cukup dari negara/pemerintah, padahal mereka (lapisan bawah) tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk ”merebut” sumberdaya alam.

Kondisi inilah yang menjadikan lapisan bawah, yang terdiri dari buruh dan buruh tani, akan tetap miskin dan sulit sejahtera. Lapisan bawah berada pada posisi sulit, karena tidak ada pihak yang membantu lapisan ini untuk meningkatkan kemampuan, dan tidak ada pihak yang membantu mereka mendapat kuasa atas sumberdaya alam (tanah).

Oleh karena itu, bagi lapis terbawah yang memiliki tanah (walaupun relatif sempit), Kantor Pertanahan menyediakan pelayanan sertipikasi hak atas tanah secara khusus, seperti PRONA dan PRODA. Meskipun demikian, kegiatan yang digelar oleh Kantor Pertanahan ini seringkali dianggap membebani masyarakat, karena adanya pungutan yang dilakukan pemerintah desa berdasarkan keputusan dan peraturan daerah setempat, misalnya pologoro.

Dalam kondisi masyarakat yang serba sulit ini, beban masyarakat ditambah lagi dengan penerapan pajak oleh Pemerintah Kabupaten, yang memberatkan masyarakat. Penerapan pajak yang memberatkan ini dilakukan dengan cara, sebagai berikut:

Pertama, ketika ada jual beli, Pemerintah Kabupaten mengakui, bahwa harga adalah kesepakatan antara penjual dengan pembeli, sebagaimana yang tertuang di akta jual beli.

Kedua, tetapi Pemerintah Kabupaten berketetapan, bahwa angka yang tertera di akta akan diabaikan.

Ketiga, untuk itu, akan ada Tim yang memeriksa ke lapangan, untuk mendapat angka yang sebenarnya, sehingga pajak yang ditarik dari masyarakat dapat bertambah.

Kebijakan Pemerintah Kabupaten ini sesungguhnya merupakan kebijakan yang tidak mengakui harga yang tertuang dalam akta, padahal akta merupakan bukti tertulis, di mana penetapan pajak seharusnya berdasarkan bukti tertulis yang menyebut harga tertentu.

Selamat merenungkan, dan semoga Allah SWT meridhai ikhtiar mewujudkan tanah untuk rakyat...

...

Sabtu, 16 Juni 2012

KONSISTENSI KEPENTINGAN KANTOR PERTANAHAN


Gunawan Wiradi (dalam Hagul, 1992) menjelaskan tentang adanya hubungan antara pengusaan tanah, sumber pendapatan, dan distribusi pendapatan. Wiradi menjelaskan, bahwa golongan petani pengguna tanah luas, mampu menginvestasikan surplusnya pada usaha-usaha padat modal, yang memberikan pendapatan relatif besar, seperti alat pengolah hasil pertanian, atau berdagang untuk menghidupi keluarganya. Sementara itu, petani yang menguasai tanah sempit, dan tunakisma mendapatkan tambahan penghasilan di luar usaha tani yang padat karya dan memberikan pendapatan relatif rendah, seperti kerajinan tangan, membuka warung, dan sebagainya. Semuanya ini menunjukkan, bahwa petani luaslah yang lebih mempunyai jangkauan terhadap sumberdaya non pertanian, yang pada gilirannya melahirkan proses akumulasi modal dan investasi, baik di sektor pertanian maupun non pertanian.

Pandangan Gunawan Wiradi ini hendaknya menyadarkan kantor pertanahan (kabupaten), bahwa kinerja mereka dalam mensejahterakan petani miskin sangat diperlukan. Kantor pertanahan selayaknya melakukan proses internalisasi kepentingan, dalam mensejahterakan petani miskin. Dengan kata lain, kesejahteraan petani miskin bukan lagi hanya kepentingan para petani miskin itu sendiri, melainkan telah terinternalisasi menjadi kepentingan kantor pertanahan. Tepatnya, kantor pertanahan berkepentingan untuk mensejahterakan petani miskin. Upaya ini akan berhasil, apabila ada konsistensi kantor pertanahan dalam mensejahterakan petani. Oleh karena itu, konsistensi kepentingan kantor pertanahan dalam mensejahterakan petani merupakan sesuatu yang tak dapat ditawar-tawar lagi.

Agar mampu mensejahterakan petani miskin, kantor pertanahan perlu mengetahui, bahwa petani yang menguasai tanah sempit, dan tunakisma perlu mendapat dorongan agar dapat keluar dari kemiskinan, dan bergerak menuju kesejahteraan. Bagi golongan yang dapat dikelompokkan sebagai petani miskin ini, kesejahteraan seringkali hanya sebuah kata indah yang keberadaannya jauh dari diri mereka. Oleh karena itu, mereka membutuhkan bantuan dari berbagai pihak, yang berkepentingan untuk mensejahterakan petani miskin, seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, kelompok tani, dan petani miskin itu sendiri.

Petani miskin ini pada umumnya mengalami kegagalan kepemilikan, terutama tanah. Padahal tanah adalah modal produksi bagi petani, sehingga ketiadaan tanah berarti ketiadaan tempat dan media untuk memproduksi sesuatu. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Tricahyono (1983) di beberapa desa di kabupaten-kabupaten di Jawa Tengah menunjukkan, bahwa produktivitas petani bertanah sempit lebih tinggi dibandingkan dengan petani bertanah luas. Penelitian Tricahyono mendapat dukungan dari Suharno (1991), yang dalam penelitiannya di perdesaan di Pulau Jawa dan Bali membuktikan fenomena yang sama. 

Soekarno (Presiden Pertama Republik Indonesia) pernah menjelaskan tentang prinsip kesejahteraan. Menurutnya, tidak akan ada kemiskinan di dalam Negara Indonesia yang merdeka. Soekarno juga menjelaskan, bahwa badan perwakilan belum cukup untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Pendapatnya ini disampaikan dengan alasan, bahwa di Eropa yang masyarakatnya menganut parlementaire democratie ternyata kaum kapitalisnya merajalela. Oleh karena itu, Soekarno mengusulkan politik economische demokratie (demokrasi politik ekonomi) yang diharapkan mampu mendatangkan kesejahteraan sosial (lihat Rahardjo, 1995:53-55).

Demokrasi politik ekonomi yang diusulkan oleh Soekarno relevan dengan adanya fenomena konsistensi kepentingan kantor pertanahan dalam mensejahterakan petani miskin. Hal ini dapat difahami dengan menggunakan pandangan fungsionalisme Robert K. Merton, yang menyatakan bahwa tidak seluruh struktur, adat istiadat, gagasan, dan keyakinan memiliki fungsi positif. Oleh karena itu perlu terobosan tertentu (seperti: demokrasi politik ekonomi).

Namun demikian Merton mengakui, bahwa ada berbagai alternatif struktural dan fungsional yang ada didalam masyarakat yang tidak dapat dihindari; sehingga membutuhkan kepiawaian dalam mengharmonisasikannya dengan kebijakan. Selanjutnya Merton mengingatkan, bahwa analisis struktural fungsional memusatkan perhatiannya pada organisasi, kelompok, masyarakat dan kebudayaannya, sehingga memberi dasar ilmiah bagi kebijakan yang menyediakan ruang bagi partisipasi masyarakat (lihat Wikipedia, 2010).

Dengan demikian, berdasarkan pandangan fungsionalisme Robert K. Merton, maka kantor pertanahan perlu memperhatikan fungsi positif dan negatif dari struktur, adat istiadat, gagasan, dan keyakinan yang ada pada petani miskin. Selanjutnya, sebagai bagian dari upaya mensejahterakan petani miskin, perlu diperhatikan indikator kesejahteraan yang ada pada petani. Misalnya dengan memperhatikan konsepsi, bahwa terwujudnya kesejahteraan ditandai oleh meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat, serta tercukupinya kebutuhan dasar, yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja. Berdasarkan indikator ini, maka petani miskin yang menjadi sasaran kepentingan kantor pertanahan dapat disebut sejahtera, apabila mereka dapat mencukupi kebutuhan dasarnya, yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja. 

Berkaitan dengan petani miskin, juga diketahui bahwa terdapat “kemiskinan struktural”, yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan  masyarakat karena adanya struktur sosial yang mengakibatkan mereka tidak dapat ikut serta dalam menggunakan sumber-sumber pendapatan, yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Termasuk dalam golongan ini adalah petani yang tidak memiliki tanah sendiri, petani pemilik tanah sempit yang tidak dapat mencukupi kebutuhan makan sendiri dan keluarganya, kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih, dan pengusaha tanpa modal (lihat Alfian, 1980:5).

Kemiskinan struktural, yang berakibat pada tidak dapat ikut sertanya petani miskin dalam menggunakan sumber-sumber pendapatan, yang sebenarnya tersedia bagi mereka, membutuhkan kiprah kantor pertanahan dalam melakukan berbagai langkah terobosan, untuk menembus penghalang struktural yang menghalangi kesejahteraan bagi petani miskin. Caranya dengan memanfaatkan setiap kewenangan kantor pertanahan bagi pencapaian kesejahteraan petani miskin.

Referensi: (1) Alfian, Melly G. Tan, dan Selo Sumardjan. 1980. “Kemiskinan Struktural.” Jakarta, Gramedia; (2) Hagul, Peter. (ed.). 1992. ”Pembangunan Desa Dan Lembaga Swadaya Masyarakat.” Yogyakarta, Yayasan DIAN Desa; (3) Rahardjo, Bambang dan Syamsuhadi. 1995. “Garuda Emas Pancasila Sakti.” Jakarta, Yapeta; (4) Suharno. 1991. “Pengaruh Perubahan Harga terhadap Penawaran Produk dan Permintaan Input pada Produksi Padi di Jawa dan Bali.” Disertasi. Yogyakarta, UGM; (5) Tricahyono, Bambang. 1983. “Masalah Petani Gurem.” Yogyakarta, Liberty; (6) Wikipedia Indonesia. 2010. “Teori Struktural Fungsional.” http://id.wikipedia.org Tanggal 26 Desember 2010.

Selamat merenungkan, semoga Allah SWT berkenan meridhai...

...

Minggu, 10 Juni 2012

TANTANGAN DI KABUPATEN BANYUMAS


World Food Summit (WFS) di Roma tahun 1996 membawa masyarakat dunia pada kesepakatan untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi setiap orang, dan menghapuskan kelaparan di seluruh negara. Sasarannya adalah mengurangi jumlah penduduk rawan pangan menjadi setengahnya paling lambat tahun 2015. Pada tahun 1996 jumlah penduduk yang rawan pangan di dunia diperkirakan sekitar 800 juta orang, maka sasaran pengurangannya sebesar 400 juta jiwa selama 20 tahun, atau rata-rata 20 juta jiwa per tahun. Pada tahun 2002, melalui pertemuan WFS di Roma, masyarakat dunia kembali sepakat untuk mempertegas dan memperbarui komitmen global yang dibuat dalam Deklarasi Roma 1996. Karena kinerja pencapaian sasaran dalam lima tahun pertama tidak memuaskan, maka pertemuan WFS 2002 memutuskan untuk meningkatkan sasaran pengurangan penduduk rawan pangan sejak tahun 2002 menjadi rata-rata sekitar 22 juta jiwa per tahun (lihat Departemen Pertanian, 2006:15-16).

Salah satu komitmen penting dalam Deklarasi Roma 2002 adalah penegasan pentingnya pembangunan pertanian dan perdesaan dalam mengikis kemiskinan. Dunia menyadari bahwa pembangunan pertanian dan perdesaan mempunyai peran kunci, karena 70 persen penduduk miskin dunia hidup di perdesaan dan mengandalkan sumber penghidupannya dari sektor pertanian.

Sebagai contoh dapat dilihat jumlah orang miskin di Kabupaten Banyumas dari tahun ke tahun yang mengalami perubahan, sebagai berikut: (1) Pada tahun 2003 mencapai 440.320 orang atau 27,06 % dari total penduduk; (2) Pada tahun 2004 mencapai 325.200 orang atau 21,47 % dari total penduduk; (3) Pada tahun 2005 mencapai 442.480 orang atau 26,58 % dari total penduduk. (4) Pada tahun 2006 mencapai 640.584 orang atau 42,00 % dari total penduduk; (5) Pada tahun 2007 mencapai 579.462 orang atau 38,00 % dari total penduduk yang mencapai 1.524.901 orang (Sumber: Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, 10 Januari 2008).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengeluarkan masyarakat Kabupaten Banyumas, termasuk petaninya, keluar dari kemiskinan. Dana dari Pemerintah Pusat mengalir ke desa-desa di Kabupaten Banyumas melalui PNPM Mandiri dan program bantuan lain, sehingga berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 33,6 % pada tahun 2008 dengan jumlah penduduk 1,5 juta orang, menjadi 27,4 % pada tahun 2010 dengan jumlah penduduk 1,8 juta orang, di mana jumlah rumah tangga miskin di Kabupaten Banyumas pada tahun 2010 sebesar 141.233 rumah tangga. Dana bantuan PNPM Mandiri yang telah digulirkan sejak tahun 2008 hingga 2010 mencapai Rp. 147,5 miliar, sedangkan pada tahun 2010 telah digulirkan dana sebesar Rp. 45 miliar bersumber dari APBN dan Rp. 6 miliar bersumber dari APBD. Dana tersebut digulirkan untuk 19 kecamatan yang terdistribusi dalam 234 desa, di mana dana PNPM tersebut diperuntukkan bagi pelayanan dasar (Sumber: Sigap Bencana & Bansos, 14 Januari 2011).

Namun demikian berbagai upaya tersebut seringkali tidak memuaskan bagi banyak pihak. Sebagai contoh, aktivis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah pada Hari Senin tanggal 18 Oktober 2010 menggelar unjuk rasa untuk menuntut penghapusan kemiskinan. Unjuk rasa digelar di halaman Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia Purwokerto. Koordinator aksi, Agus Ade Budi mengatakan, bahwa unjuk rasa ini digelar dalam rangka memperingati Hari Internasional Penghapusan Kemiskinan. Menurutnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan 14 kriteria miskin yang tidak sesuai dengan realita, karena kriteria tersebut hanya cocok untuk masyarakat yang hidup di hutan (Sumber: SoloposCom, 18 Oktober 2010).

Sementara itu pada tahun 2011, yang merupakan tahun ketiga periode pemerintahan Bupati Mardjoko dan Wakil Bupati Achmad Husein, Pemerintah Kabupaten Banyumas mencanangkan visi ”Menyejajarkan Kabupaten Banyumas dengan Kabupaten Lainnya yang Telah Maju, bahkan Melebihi,” dengan misi ”Menyejahterakan Rakyat Banyumas.” Untuk itu Pemerintah Kabupaten Banyumas melakukannya dalam tahapan-tahapan. Tahap konsolidasi dilakukan pada tahun 2008 – 2009. Tahap pemantapan pengembangan investasi daerah dilakukan pada tahun 2010 – 2011. Tahap pemberdayaan masyarakat menuju terwujudnya kemandirian masyarakat dilakukan pada tahun 2012 – 2013 (Sumber: Kabupaten Banyumas, 2011). 

Ikhtiar Pemerintah Kabupaten Banyumas membuahkan hasil berupa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyumas tahun 2008 yang mencapai 5,38%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan capaian 3 kabupaten lain di wilayah eks Karesidenan Banyumas yaitu Kabupaten Banjarnegara (4,98%), Kabupaten Cilacap (4,92%) dan Kabupaten Purbalingga (5,30%), bahkan lebih tinggi dari rata-rata Provinsi Jawa Tengah yang mencapai 4,60%. Namun demikian kemiskinan masih ada di kabupaten ini. Angka kemiskinan di Kabupaten Banyumas tahun 2008 adalah 21,04%, meskipun tahun berikutnya (2009) turun menjadi 19,71%. Sejalan dengan itu, angka pengangguran di Kabupaten Banyumas juga terus menurun. Tahun 2008 jumlah pengangguran tercatat sebesar 152.283 orang. Angka ini berkurang cukup signifikan di tahun 2009 menjadi 134.793, atau mengalami penurunan sebesar 11,49% (Sumber: Kabupaten Banyumas, 2011).

Fakta kemiskinan ini tersebar di beberapa desa di Kabupaten Banyumas, yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Dengan demikian adanya petani miskin di Kabupaten Banyumas merupakan fakta yang tak terbantahkan.

Ketika di Kabupaten Banyumas masih terdapat petani miskin, maka inilah tantangan bagi Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas, yang salah satu fungsinya adalah melakukan pemberdayaan masyarakat, dan wujudnya berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat.



----------

Referensi: (1) Departemen Pertanian. 2006. “Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005 – 2009.” Jakarta; (2) Kabupaten Banyumas. 2011. ”2011 Banyumas Targetkan Peningkatan Pembangunan”. http://www.banyumaskab.co.id 13 Januari 2011; (3) Kementerian Dalam Negeri, 2008. ”44.000 Rumah Di Cilacap Tak Layak Huni.” http://www.depdagri.go.id, 10 Januari 2008; (4) Sigap Bencana & Bansos, 2011. “PNPM Turunkan Kemiskinan.” http://sigapbencana-bansos, info, 14 Januari 2011; (5) SoloposCom. 2010. “Aktivis SRMI Banyumas Tuntut Penghapusan Kemiskinan.” http://www.solopos.com, 18 Oktober 2010.

Selamat merenungkan, semoga Allah SWT berkenan meridhai...

...

Minggu, 03 Juni 2012

KONSTRUKSI KEPERCAYAAN MASYARAKAT


Kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan sesungguhnya merupakan hasil dari relasi timbal balik antara keduanya. Masyarakat percaya kepada kantor pertanahan, sepanjang kantor pertanahan dapat melaksanakan ”Empat Prinsip Pertanahan” dengan baik. Sebaliknya, kantor pertanahan juga percaya kepada masyarakat, bahwa mereka akan merespon dengan baik, sepanjang kantor pertanahan dapat melaksanakan ”Empat Prinsip Pertanahan” dengan baik. Inilah fenomena saling percaya yang dibangun oleh masyarakat dan kantor pertanahan.

”Empat Prinsip Pertanahan” yang oleh kantor pertanahan diwujudkan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan, mewujudkan keadilan, menjamin keberlanjutan, dan pencegahan konflik, sesungguhnya tidaklah berada di ”ruang hampa”, melainkan berada di lokasi tertentu dan pada waktu tertentu. Oleh karena itu, situasi dan kondisi juga mempengaruhi pelaksanaan ”Empat Prinsip Pertanahan” oleh kantor pertanahan. Sebagai contoh, ketika situasi dan kondisi yang ada di suatu kabupaten/kota memperlihatkan adanya perhatian yang tinggi dari Pemerintah Provinsi terhadap masyarakat di kabupaten/kota ini, maka terwujudlah pelakanaan PRONA atas bantuan (subsidi) Pemerintah Provinsi.

Berdasarkan situasi dan kondisi yang ada, pelaksanaan ”Empat Prinsip Pertanahan” oleh kantor pertanahan, memperlihatkan adanya prioritas dalam pelaksanaan. Masing-masing prinsip dari ”Empat Prinsip Pertanahan” berpeluang untuk menjadi prioritas dalam pelaksanaan, namun pada akhirnya berdasarkan situasi dan kondisi akan muncul urutan prioritas. Contoh, pada pelaksanaan ”Empat Prinsip Pertanahan” di suatu kabupaten/kota, dapat saja urutan prioritas yang muncul sesuai atau tidak sesuai dengan urutan pada ”Empat Prinsip Pertanahan”, di mana pada prioritas pertama adalah Prinsip Pertama, prioritas kedua adalah Prinip Kedua, prioritas ketiga adalah Prinsip Ketiga, dan prioritas keempat adalah Prinsip Keempat.

Masih dalam konteks kepercayaan, diketahui ada kaitan antara kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan dengan kepercayaan masyarakat terhadap pensertipikatan tanah. Kaitan ini memperlihatkan adanya konstruksi kepercayaan sebagai berikut: Pertama, kepercayaan masyarakat terhadap pensertipikatan tanah muncul, karena: (1) proses penerbitan sertipikat tanah dilaksanakan dengan memenuhi semangat keteraturan yang bijaksana, (2) biaya pensertipikatan tanah ditetapkan secara jujur dan adil, dan (3) waktu yang dibutuhkan dalam pensertipikatan tanah ditetapkan dengan tepat dengan mengacu pada semangat kooperatif dan profesional pelaksana tugas (aparat kantor pertanahan);

Kedua, pensertipikatan tanah yang dilaksanakan oleh kantor pertanahan, pada akhirnya menimbulkan kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan, karena: (1) pensertipikatan tanah merupakan cara untuk membuka akses permodalan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (2) pensertipikatan tanah merupakan cara untuk memberi perlakuan diskriminatif kepada masyarakat yang tidak mampu, sebagai upaya mewujudkan keadilan; (3) pensertipikatan tanah merupakan cara untuk memberi kesempatan pada masyarakat dalam mengakses pengelolaan, yang akan menjamin adanya keberlanjutan pengelolaan tanah; dan (4) pensertipikatan tanah merupakan cara untuk penguatan asset masyarakat yang berupa tanah, yang sekaligus akan mendukung upaya pencegahan konflik.

Dengan demikian kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan dikonstruksi bila telah diterapkan prinsip pertanahan, yang antara lain keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif, nilai luhur, nilai keadilan, dan profesionalisme.

Selamat merenungkan, semoga Allah SWT meridhai...

...