Jumat, 09 Oktober 2009

ULAMA DALAM HISTORIOGRAFI AGRARIA

Tanah bukan sekedar benda obyektif, ia merupakan obyek yang menjadi perhatian subyek. Ia bukan sekedar obyek geografis, geodetis, geologis, politis, ekonomis, sosiologis, dan lain-lain, melainkan obyek yang meliputi semua itu. Tanah juga menjadi perhatian kaum religius (muslim), karena ia merupakan amanah Allah SWT bagi manusia. Alasan inilah yang menyemangati Muslim Indonesia ketika mengusir Portugis, Belanda, Jepang, dan Inggris yang menjajah Indonesia.
Historiografi agraria memperlihatkan peran tokoh muslim (ulama) dalam memperjuangkan emansipatori agraria. Banyak contoh tentang peran ulama dalam mengamankan sektor pertanian, agar tidak tergilas "monster" globalisasi yang dipraktekkan oleh para "penyembahnya". Ulama berpartisipasi menggerakkan masyarakat untuk mempertahankan dan mengembangkan produktivitas dan diversifikasi pertanian, melalui kearifan lokal yang disistimatisir dalam format Qur'ani.
Para ulama mendorong rekonstruksi pereknomian nasional yang berbasis pada keunggulan desa dan masyarakatnya yang Islami. Menurut mereka, sudah saatnya kebijakan nasional berbasis pedesaan, dan tidak sebaliknya, di mana kebijakan nasional digadaikan pada kepentingan asing. Oleh sebab itu, hampir disetiap pemerintahan ulama selalu dicurigai dan dianggap bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Padahal yang disuarakan ulama adalah kebenaran, yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam ridha Allah SWT.
Sejak Orde lama, para penguasa memusuhi ulama, lihatlah pengalaman Buya Hamka yang dipenjarakan oleh Rezim Orde Lama. Lihat pula pengalaman Habib Husain Al Habsyi yang dalam keadaan buta (tidak dapat melihat) dipenjarakan oleh Rezim Orde Baru. Sementara itu, pada masa reformasi Abu Bakar Ba'asyr tidak luput dari penjara rezim penguasa. Saat berikutnya lebih parah lagi, ketika fitnah "teroris" ditimpakan kepada Umat Islam.
Namun demikian para ulama tetap menganjurkan agar Umat Islam tetap tenang, dan tetap memberi kontribusi optimal bagi bangsa dan negara, termasuk dalam bidang agraria. Alasannya sangat rasional, yaitu sebagai konsekuensi logis atas pemikiran, sikap, dan perilaku seorang manusia yang beribadah kepada Allah SWT. Lihatlah peran KH. Imam Churmen, KH. Aziz Asyhuri, dan KH. Abdullah Hasan yang berjuang agar petani mampu menghadapi pemodal besar (asing).
Ulama adalah figur informal, atau pemimpin lokal yang berada di tengah-tengah komunitas masyarakat, yang menjadi bagian dari komunitas sekitar, di mana ulama memiliki sensitivitas atas problem masyarakat, termasuk problem agraria masyarakat. Selayaknya ulama dan masyarakat bergandeng-tangan mensukseskan reforma agraria di Indonesia, yang sebenarnya sudah sejak dahulu diperjuangkan oleh para ulama.