Rabu, 22 Agustus 2007

CONTRA PRODUCTIVE

Bangsa Indonesia (karena sering melupakan kearifan lokal) dikenal sebagai bangsa yang mudah panik, suka solusi tambal sulam, dan tergopoh-gopoh. Akibatnya berbagai aktivitas bangsa seringkali blunder dan contra productive. Sejarah telah memperlihatkannya: Pertama, ketika baru saja merdeka, Bangsa Indonesia sangat merindukan kebebasan berpolitik dan demokrasi. Oleh karena itu, secara tergopoh-gopoh politik dijadikan "panglima", sedangkan aspek kenegaraan lainnya diabaikan. Akibatnya, perekonomian Indonesia runtuh karena mismanagement yang akut. Kesengsaraan masyarakat miskin kota dan desa terpampang di mana-mana; Kedua, ketika melihat kemiskinan terpampang secara terbuka, para pemimpin bangsa (penguasa) merumuskan obat mujarab yang disebut "pembangunan" (development). Seperti biasa, secara tergopoh-gopoh pembangunan dijadikan "tujuan" (seharusnya pembangunan hanya merupakan alat). Akibatnya, segala sesuatu (baik dan buruk) dilakukan atas nama pembangunan. Ada kesan, saat itu pembangunan telah menjadi "agama" baru Bangsa Indonesia. Atas nama pembangunan sebagian para penguasa dan pengusaha (yang menjadi kawan penguasa) berlomba-lomba mengisi pundi-pundi kekayaan mereka dengan berbagai cara, termasuk dengan cara korupsi. Korupsi dengan berbagai format dan berbagai sekala terpampang sangat jelas pada berbagai lapisan masyarakat di mana-mana; Ketiga, ketika melihat korupsi terpampang secara terbuka, para pemimpin bangsa merumuskan obat mujarab yang disebut "gerakan anti korupsi". Akhirnya, seperti biasa, secara tergopoh-gopoh gerakan anti korupsi dijadikan "tujuan" (seharusnya gerakan anti korupsi hanya merupakan alat). Akibatnya, segala sesuatu (baik dan buruk) dilakukan atas nama gerakan anti korupsi, seperti: (1) Upaya pembubaran beberapa yayasan yang bernaung di bawah koordinasi TNI (Tentara Nasional Indonesia), padahal yayasan-yayasan ini bermanfaat dalam membantu prajurit (terutama yang mengalami cacat fisik permanen) dan keluarganya (terutama keluarga prajurit yang gugur saat melaksanakan tugas); (2) Upaya penjebakan seperti yang dialami tokoh Komisi Pemilihan Umum (Mulyana W. Kusuma). Dalam perspektif sosiologis, menangkap seseorang dengan cara menjebak tidaklah patut, sebab dalam konsepsi "menjebak" berpeluang dilakukannya tipu daya dari orang yang menjebak agar orang yang dijebak dapat masuk dalam jebakannya. Boleh jadi orang yang ditangkap melalui proses jebakan bukanlah orang yang sungguh-sungguh melakukan kesalahan, ia hanyalah korban skenario pembuktian kesalahan; (3) Pengetatan anggaran, yang dibeberapa instansi dimaknai sebagai suatu sistem anggaran di mana biaya pelaksanaan barulah dibayarkan (diganti) setelah pelaksana kegiatan membayar dengan uang pribadinya terlebih dahulu, karena penggantian diberikan setelah ada kuitansi.
Hikmah yang dapat diambil dari kisah ketergopoh-gopohan Bangsa Indonesia bagi pengelolaan pertanahan atau reforma agraria adalah, "Hindari ketergopoh-gopohan!"

Tidak ada komentar: