Minggu, 10 April 2011

TEORI FENOMENOLOGI

Salah satu kegiatan BPN-RI (Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) yang sangat bermanfaat bagi warga desa di pedalaman adalah Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah). Kantor Pertanahan memaknai Larasita sebagai mobile office yang siap melayani masyarakat di lokasi yang relatif jauh dari Kantor Pertanahan.


Untuk lebih mudah memahami konsepsi mobile office pada Larasita, perlu diperhatikan pandangan Max Weber yang menyatakan, bahwa tindakan manusia dapat menjadi hubungan sosial, bila manusia yang satu memberikan arti atau makna tertentu pada tindakannya, sedangkan manusia yang lain dapat memahami arti atau makna tersebut.


Dengan demikian Larasita bermakna mobile office, karena ia merupakan tindakan Kantor Pertanahan yang bernuansa sosial. Ketika Kantor Pertanahan memberikan arti atau makna Larasita sebagai mobile office, dan masyarakat dapat memahami arti atau makna tersebut melalui kinerja larasita, maka terbentuklah makna yang kuat bahwa Larasita merupakan mobile office.


Sementara itu, Alfred Schutz menunjukkan adanya bentuk inter-subyektivitas, yang memungkinkan terjadinya pergaulan sosial. Berdasarkan pandangan Alfred Schutz, maka diakui adanya interaksi antara pandangan Kantor Pertanahan dengan masyarakat yang keduanya sama-sama subyektif, atau sesuai kepentingan masing-masing.


Pergaulan sosial antara Kantor Pertanahan dengan masyarakat dalam konteks Larasita, tetap bergantung pada pengetahuan masing-masing, terutama dalam hal peranan masing-masing. Pengetahuan dan peranan ini akan mengalami suatu proses internalisasi yang juga dikenal sebagai proses memperibadi atau menjadi bersifat pibadi.


Konsep inter-subyektivitas dalam Larasita mengacu kepada suatu kenyataan, bahwa antara Kantor Pertanahan dengan masyarakat saling berinteraksi, saling memahami, dan saling bertindak. Sikap ini diperlukan untuk membangun kerjasama antara Kantor Pertanahan dengan masyarakat. Hanya saja sikap saling berinteraksi, saling memahami, dan saling bertindak memerlukan kesadaran para pihak.


Berdasarkan konsep inter-subyektivitas inilah Alfred Schutz membangun Teori Fenomenologi, yang dalam konteks Larasita diketahui bahwa tindakan Kantor Pertanahan yang menjadikan Larasita sebagai mobile office dapat menjadi suatu hubungan sosial, bila masyarakat memberikan arti, nilai, atau makna yang sama pada pelaksanaan Larasita.


George Ritzer menyatakan, bahwa bila diamati dengan seksama maka diketahui adanya empat unsur pokok dalam Teori Fenomenologi, yaitu: aktor (actor), sikap alamiah (natural attitude), masalah mikro (micro problem), dan proses tindakan (action process).


Dalam konteks Larasita, maka: Pertama, yang bertindak sebagai aktor, adalah Kantor Pertanahan dan masyarakat. Kedua, yang menjadi sikap alamiah, adalah sikap yang diisyaratkan atau ditunjukkan oleh Kantor Pertanahan dalam pelaksanaan Larasita dan sikap masyarakat dalam merespon Larasita. Ketiga, masalah mikro pada Larasita, adalah proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial yang berisi saling percaya antara Kantor Pertanahan dengan masyarakat. Keempat, proses tindakan yang berlangsung dalam Larasita, adalah proses yang mengantarkan masyarakat pada kondisi tertib, teratur, dan nyaman dalam memenuhi kebutuhan pelayanan pertanahannya, yang dibangun oleh Kantor Pertanahan dalam interaksinya.


Selamat mengamati…

Minggu, 03 April 2011

TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK

K.J. Veeger menyatakan, bahwa masyarakat terdiri dari individu-individu yang masing-masing berpikir sendiri, berkemauan sendiri, berperasaan sendiri, berbadan sendiri, dan beralamat sendiri. Dalam konteks pertanahan, fenomena sertipikasi tanah dapat didekati dengan menggunakan pandangan K.J. Veeger, di mana ada orang yang gemar mengurus sertipikasi tanahnya sendiri, tetapi ada pula orang yang lebih senang bila sertipikasi tanahnya diurus oleh orang lain.


Orang jenis kedua inilah yang membutuhkan peran biro jasa. Dengan kata lain institusi pertanahan dituntut untuk memberi “ruang” usaha bagi biro jasa pertanahan untuk menjalankan peran, tugas, dan fungsinya. Pengakuan terhadap biro jasa pertanahan merupakan pengakuan terhadap filsafat yang menolak pemisahan antara teori (hasil pengamatan terhadap praktek) dengan praktek. Filsafat ini juga menolak anggapan adanya value free science (ilmu atau sains bebas nilai).


Penolakan ini didasari pada kekhawatiran, bahwa sains semacam ini akan melucuti pengetahuan manusia dari ciri kemanusiaanya yaitu nilai-nilai kemanusiaan, meskipun diketahui bahwa value free science sendiri menolak anggapan bahwa pikiran manusia merupakan cerminan dari luar.


Dalam konteks pertanahan, tidak lagi masanya menutup diri dari fenomena biro jasa pertanahan, yang dikelola dan diaktivasi oleh orang-orang swasta yang profesional. K.J. Veeger menyatakan, bahwa manusia tidak secara pasif menerima saja pengetahuannya dari luar, tetapi secara aktif dan dinamis membentuk sendiri pengetahuan (pemikiran) dan perilakunya. Lingkungan hidup dan situasinya tidak mendeterminir (membatasi) dia, tetapi merupakan kondisi yang menjadi dasar bagi penentuan sikapnya.


Dalam konteks pertanahan, pandangan K.J. Veeger dapat dimaknai sebagai suatu keadaan di mana ada orang-orang yang memiliki kesibukan padat sehingga tidak memiliki waktu untuk mengurus sendiri sertipikasi tanahnya. Ketika K.J. Veeger menyatakan, bahwa manusia secara aktif dan dinamis membentuk sendiri pengetahuan dan perilakunya, maka dalam konteks pertanahan hal ini berarti, timbulnya peluang untuk mendirikan biro jasa pertanahan oleh swasta profesional.


Tepatlah kiranya, ketika John Dewey (1859-1952) menggaris bawahi kesatuan antara berpikir dengan bertindak, yang selanjutnya pandangan John Dewey ini mempengaruhi George Herbert Mead (1863-1931), sehingga George Herbert dapat “melihat” bahwa pikiran (mind) dan kedirian (self) merupakan dasar dari perilaku manusia, khususnya ketika berinteraksi dengan orang lain.


Urgensi biro jasa pertanahan merupakan pikiran yang ada pada diri pekerja pertanahan (swasta profesional), yang menjadi bagian dari diri pekerja pertanahan, yaitu memberi pelayanan terbaik pada masyarakat. Pikiran dan kedirian inilah yang kemudian menjadi dasar perilaku pekerja pertanahan, khususnya ketika berinteraksi dengan masyarakat.


David Jary dan Julia Jary menjelaskan, bahwa pandangan George Herbert Mead dipengaruhi oleh John Dewey dan Charles Horton Cooley. Sementara itu, K.J. Veeger menyatakan bahwa George Herbert Mead menaruh perhatian pada upaya manusia mengenakan arti pada dunianya.


Pada sisi lain, Abercrombie dan kawan-kawan menyatakan, bahwa George Herbert Mead menaruh perhatian pada kehidupan sosial, yang menurut Mead ditentukan oleh kemampuan manusia membayangkan dirinya pada peran sosial orang lain, dan kemampuan manusia yang bersangkutan berdiskusi secara internal dengan dirinya sendiri.


Dalam pandangan George Herbert Mead, urgensi biro jasa pertanahan akan mudah difahami oleh siapapun, apabila orang tersebut berkenan membayangkan dirinya sebagai orang yang tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk mengurus sertipikasi tanahnya sendiri.


Akhirnya issue biro jasa pertanahan, layak didekati dengan pandangan Herbert Blumer yang menyatakan, bahwa: Pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. Kedua, makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Ketiga, makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.


Berdasarkan pandangan Herbert Blumer, maka biro jasa pertanahan, perlu mendapat perhatian memadai dari institusi pertanahan. Apabila institusi pertanahan berkenan memiliki makna positif pada biro jasa pertanahan, maka makna yang dimiliki oleh institusi pertanahan berasal dari interaksi sosial antara intitusi tersebut dengan masyarakat. Selanjutnya, makna biro jasa pertanahan akan terus menerus diperbaiki selama interaksi berlangsung.


Terimakasih...