Sabtu, 17 Desember 2011

CATATAN DARI NOER FAUZI RACHMAN

Pada acara ”Launching dan Diskusi Buku Terbitan STPN Press” dengan tema ”Membedah Persoalan Agraria” di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang 15 Desember 2011; Noer Fauzi Rachman menyampaikan makalah dengan judul “Agraria Adalah Akibat, Kapitalisme Adalah Sebab: Menyegarkan Pemahaman Mengenai Cara Bagaimana Kapitalisme Berkembang.” Dalam makalah tersebut ia menyatakan:


Pertama, Fernand Braudel, seorang sejarawan Perancis, dalam bukunya ”Civilization and Capitalism 15th – 18th Century. Volume II: The Wheels of Commerce,” menyatakan bahwa manakala kapitalisme diusir ke luar dari pintu, maka ia akan masuk kembali lewat jendela.


Kedua, sistem produksi kapitalis adalah yang paling mampu dalam mengakumulasi keuntungan melalui: (1) kemajuan dan sophistikasi teknologi, (2) peningkatan produktivitas tenaga kerja per unit kerja, (3) efisiensi hubungan sosial dan pembagian kerja produksi, serta (4) sirkulasi barang dagangan.


Ketiga, Joseph A. Schumpeter dalam “Capitalism, Socialism, and Democracy” (1944) pada Bab: “Can Capitalism Survive” menyatakan, bahwa pada hakekatnya kapitalisme adalah suatu bentuk atau metoda perubahan ekonomi, yang bukan hanya tidak pernah statis, melainkan tidak pernah bisa statis.


Keempat, sebagai sistem produksi, kapitalisme memberi tempat hidup dan insentif bagi semua yang efisien, dan menghukum mati atau membiarkan mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya.


Kelima, pemberlakukan hukum agraria, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang mengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, merupakan suatu cara agar perusahaan-perusahaan kapitalis dari negara-negara penjajah di Eropa dapat memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam, yang kemudian mereka definisikan sebagai modal perusahaan-perusahaan itu.


Keenam, dalam upaya memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam, maka badan-badan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan lalu memagari suatu wilayah, dan mengeluarkan penduduk bumiputera (baca: asli) dari wilayah tersebut. Hubungan dan cara-cara penduduk bumiputera menikmati hasil dari tanah dan alam terlah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pemagaran wilayah secara fisik, hingga penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan yang tidak lagi dipangku oleh bumiputera.


Ketujuh, bila saja sekelompok rakyat melakukan protes dan perlawanan, untuk menguasai dan menikmati kembali tanah dan wilayah yang telah diambil alih pemerintah dan perusahaan-perusahaan itu. Akibatnya sangat nyata, yakni mereka dapat dikriminalisasi, dikenai sanksi oleh birokrasi hukum, atau tindakan kekerasan lainnya yang dapat saja dibenarkan secara hukum.


Kedelapan, David Harvey membedakan antara “accumulation by dispossession” dengan “accumulation by exploitation”. Accumulation by dispossession adalah akumulasi kekayaan atau keuntungan yang dilakukan melalui cara-cara perampasan, misal: korporasi raksasa yang terus menerus mengambil alih barang atau sumberdaya milik rakyat atas dukungan lembaga-lembaga negara. Sementara itu, accumulation by exploitation adalah akumulasi kekayaan atau keuntungan yang dilakukan melalui cara-cara pemerasan atau eksploitasi tenaga kerja dalam proses produksi dan sirkulasi barang.


Sementara itu, saat memberi penjelasan secara lisan, Noer Fauzi Rachman menjelaskan, bahwa kapitalisme tidak pernah hilang dari bumi Indonesia sejak adanya kolonialisme di Indonesia. Kapitalisme datang ke Indonesia bersama-sama dengan kolonialisme yang merupakan bentuk lain dari kapitalisme.


Kapitalisme dan kolonialisme hanya pernah jeda (istirahat) di bumi Indonesia, yaitu sejak tahun 1945 (Kemerdekaan Indonesia) sampai dengan tahun 1965. Sesudah itu (setelah 1965) kapitalisme dan kolonialisme kembali berkuasa di Indonesia dalam bentuk neo-kapitalisme dan neo-kolonialisme, hingga saat ini (2011).


Lebih jauh Noer Fauzi Rachman mengingatkan untuk kembali melihat sejarah terbentuknya Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. Pada awal berkuasanya Orde Baru, kehutanan hanyalah sektor yang dikelola oleh Ditjen Kehutanan di Departemen Pertanian. Namun dengan lahirnya UU. No.5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan” lembaga ini menjadi sangat berpengaruh. Pada tahun 1980-an dibuatlah di seluruh Indonesia Tata Guna Hutan Kesepakatan yang menetapkan sebagian besar wilayah Indonesia adalah wilayah hutan. Akibatnya dibutuhkan lembaga yang lebih besar, maka Ditjen. Kehutanan diubah menjadi Departemen Kehutanan, dan pada masa SBY menjadi Kementrian Kehutanan. Wilayah Kehutanan adalah wilayah yang steril dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) atau UU. No.5 Tahun 1960. UUPA tidak berlaku di kawasan (wilayah) hutan.

Sumber:

Noer Fauzi Rachman. 2011. “Agraria Adalah Akibat, Kapitalisme Adalah Sebab: Menyegarkan Pemahaman Mengenai Cara Bagaimana Kapitalisme Berkembang.” Makalah disampaikan pada acara ”Launching dan Diskusi Buku Terbitan STPN Press” dengan tema ”Membedah Persoalan Agraria” di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang 15 Desember 2011.

Tidak ada komentar: