Selasa, 29 Maret 2011

TEORI AKSI

Teori Aksi (Action Theory) dibangun berdasarkan pemikiran Max Weber (1864-1920), Emile Durkheim (1858-1917) dan Vilfredo Pareto (1848-1923). Pada awalnya teori ini memusatkan perhatian pada persoalan makroskopik evolusi sosial, meskipun tetap terbuka untuk mengamati tindakan aktif dan pandangan kreatif manusia. Dengan kata lain, pada awalnya teori ini cenderung melihat kehidupan masyarakat sebagai wujud pemberian tekanan kekuasaan terhadap perilaku individu.


Dengan memanfaatkan teori ini, maka semakin mudah memahami manajemen pertanahan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), yang menganut dualisme, yaitu tanah-tanah yang berada di kawasan hutan dimanaje oleh Kementerian Kehutanan, dan tanah-tanah yang berada di luar kawasan hutan dimanaje oleh BPN-RI (Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia).


Berdasarkan Teori Aksi tahap awal diketahui, bahwa pembagian wilayah manajemen pertanahan, antara di luar dan dalam kawasan hutan, sesungguhnya merupakan wujud tekanan kekuasaan, yang dalam hal ini kekuasaan Kementerian Kehutanan. Dengan “wibawa” Kementerian Kehutanan, maka BPN-RI tidak berwenang memanaje tanah-tanah di kawasan hutan.


Teori Aksi berkembang ketika Charles Horton Cooley (1864-1924) membuktikan, bahwa sesuatu yang mempunyai arti penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah “kesadaran subyektif”. Cooley juga membuktikan bahwa perasaan-perasaan individual, sentimen, dan ide-ide merupakan faktor yang mendorong manusia untuk berinisiatif atau mengakhiri tindakannya terhadap orang lain.


Berdasarkan pandangan Cooley, maka pembagian wilayah manajemen pertanahan antara BPN-RI dengan Kementerian Kehutanan, merupakan format kesadaran subyektif yang dibangun sejak masa penjajahan atau masa Hindia Belanda. Pada masa itu hutan Indonesia diklaim sebagai milik Raja Belanda, yang diamanatkan kepada dinas kehutanan masa itu. Pembuktian dilakukan dengan membuat peta kehutanan, yang sesungguhnya tidak sah, karena dibuat oleh penjajah yang menghinakan hak rakyat Indonesia, yang seharusnya saat ini tidak lagi berkuasa.


Ide pewarisan harta Hindia Belanda merupakan faktor pendorong, yang menghasilkan inisiatif pembagian wilayah manajemen pertanahan antara BPN-RI dengan Kementerian Kehutanan. Pada kawasan hutan tidak berlaku Hukum Tanah Nasional yang berbasis pada Undang-Undang Pokok Agraria. Pada kawasan ini diberlakukan Undang-Undang Pokok Kehutanan, yang seharusnya hanya mengatur hutan saja, namun kemudian diperluas mengatur tanah-tanah di kawasan hutan.


Teori Aksi semakin berkembang di Amerika Serikat berkat jasa beberapa sosiolog Eropa yang mendukung teori ini melalui penerbitan karya-karya mereka, seperti: (1) Florian Znaniecki (1882-1958) melalui karyanya “The Method of Sociology” (1934) dan “Social Actions” (1936); (2) Robert M. Mac Iver melalui karyanya “Sociology: Its Structure and Changes” (1931); dan (3) Talcot Parsons (1902-1979) melalui karyanya “The Structure of Social Action” (1937).


Talcott Parsons menyatakan bahwa penggunaan istilah “action” (aksi atau tindakan) pada Teori Aksi dimaksudkan untuk membedakan teori ini dengan Teori Perilaku, yang menggunakan istilah “behavior” (perilaku atau tindakan yang dilakukan berulang-ulang). “Aksi” menunjukkan adanya suatu aktivitas, kreativitas dan proses penghayatan diri individu. Sedangkan “perilaku” menunjukkan adanya penyesuaian mekanistik perilaku, sebagai respon terhadap stimulus (rangsangan) dari luar.


Teori Perilaku mengabaikan sifat kemanusiaan manusia dan subyektivitas tindakan manusia. Sebaliknya, Teori Aksi sangat memperhatikan sifat kemanusiaan manusia dan subyektivitas tindakan manusia.


Akhirnya Roscoe Hinkle (1963), menyatakan, bahwa tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek, dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. Sebagai subyek, manusia bertindak atau berperilaku tertentu dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode, serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan.


Kelangsungan tindakan manusia dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi tindakan yang telah, sedang, dan akan dilakukannya. Ukuran-ukuran, aturan-aturan, atau prinsip-prinsip moral akan timbul pada saat pengambilan keputusan.


Oleh karena sampai saat ini tidak ada pihak otoritatif yang mengkritik pembagian wilayah manajemen pertanahan antara BPN-RI dengan Kementerian Kehutanan, yang bernuansa kolonial, maka kebijakan ini berlanjut terus. Terlebih lagi saat ini dunia memasuki era kolonial baru, yang dibungkus dalam konsepsi “perdagangan karbon”, maka kawasan hutan diberi status quo atau moratorium.


Akhirnya, kebijakan pembagian wilayah manajemen pertanahan antara BPN-RI dengan Kementerian Kehutanan berlangsung terus…

Tidak ada komentar: