Minggu, 20 Maret 2011

TEORI KONFLIK

Pemilikan tanah adalah kewenangan yang ada pada seseorang atau badan hukum atas suatu bidang tanah. Berdasarkan kepemilikannya ini, ia dapat menyewakan atau melakukan bagi-hasil dengan seseorang atau badan hukum untuk menggunakan dan memanfaatkan sebidang tanah. Berdasarkan transaksi ini, maka timbul penguasaan tanah pada seseorang atau badan hukum yang bukan pemilik tanah. Penguasaan tanah berkaitan dengan kewenangan yang diberikan oleh pemilik tanah pada seseorang atau badan hukum untuk menggunakan dan memanfaatkan sebidang tanah.


Berdasarkan kewenangan menguasai yang ada pada seseorang atau badan hukum, orang atau badan hukum ini dapat menggunakan dan memanfaatkan bidang tanah tersebut. Penggunaan tanah adalah bentuk interaksi antara seseorang atau badan hukum dengan tanah yang dikuasainya. Wujud penggunaan tanah dapat berupa sawah, perkebunan, hutan tanaman industri, tegalan, dan lain-lain. Sementara itu, pemanfaatan tanah adalah bentuk konkrit manfaat yang dapat diambil atas sebidang tanah, misalnya dengan menanami padi (di sawah), karet (di perkebunan), pinus (di hutan tanaman industri), dan ketela pohon (di tegalan).


Ketika penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah diobservasi dengan menggunakan Teori Konflik, maka diketahui, bahwa: Pertama, berbagai perubahan yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan berpotensi menimbulkan pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Kebijakan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang tepat secara agroekologikal, tetap saja berpeluang menimbulkan pertentangan yang terus menerus di masyarakat. Apa lagi kebijakan yang tidak tepat, tentu akan menimbulkan pertentangan yang kuat, keras, dan terus menerus di masyarakat.


Kedua, setiap unsur dalam masyarakat memberi sumbangan bagi terjadinya disintegrasi sosial. Pihak yang mendapat keuntungan dan pihak yang mendapat kerugian atas dikeluarkannya suatu kebijakan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, sama-sama akan memberi sumbangan bagi terjadinya disintegrasi sosial. Pihak yang diuntungkan akan berupaya dengan sungguh-sungguh agar keuntungan yang diperolehnya semakin meningkat dan berkelanjutan; sehingga pihak ini siap menghadapi pihak manapun yang akan menggagalkan keuntungannya. Sementara itu, pihak yang dirugikan akan berupaya dengan sungguh-sungguh agar kerugian yang dialaminya dapat segera berhenti, dan diganti dengan keuntungan; sehingga pihak ini siap menghadapi pihak manapun yang telah merugikan dan menghalangi keuntungannya.


Ketiga, keteraturan yang terdapat di masyarakat hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan oleh golongan yang berkuasa. Bila hubungan antara pihak yang diuntungkan dengan pihak yang dirugikan nampak harmonis, maka hal ini merupakan fakta palsu, karena adanya peran dominan dari penguasa. Pihak yang menolak keteraturan akan mendapat hukuman yang berat dari pihak penguasa.


Keempat, distribusi wewenang dan kekuasaan yang tidak merata menjadi salah satu faktor yang secara sistematis menimbulkan konflik. Distribusi wewenang dan kekuasaan yang tidak merata menghasilkan adanya pihak yang diuntungkan, dan pihak yang dirugikan. Oleh karena itu, akan terus menerus terjadi konflik antara pihak yang diuntungkan, dengan pihak yang dirugikan. Menurut Lewis A Coser, konflik yang terjadi di masyarakat bersifat fungsional.

Fungsi konflik bagi masyarakat adalah mendorong terjadinya perubahan. Ralp Dahrendorf juga mengatakan, bahwa dalam situasi konflik, kelompok yang terlibat melakukan berbagai tindakan untuk mengadakan perubahan di masyarakat. Pada saat konflik semakin hebat, maka perubahan yang timbul juga semakin radikal. Demikian pula ketika konflik disertai tindak kekerasan, maka perubahan akan mencapai kehancuran struktur masyarakat.

Tidak ada komentar: