Sabtu, 16 Juni 2012

KONSISTENSI KEPENTINGAN KANTOR PERTANAHAN


Gunawan Wiradi (dalam Hagul, 1992) menjelaskan tentang adanya hubungan antara pengusaan tanah, sumber pendapatan, dan distribusi pendapatan. Wiradi menjelaskan, bahwa golongan petani pengguna tanah luas, mampu menginvestasikan surplusnya pada usaha-usaha padat modal, yang memberikan pendapatan relatif besar, seperti alat pengolah hasil pertanian, atau berdagang untuk menghidupi keluarganya. Sementara itu, petani yang menguasai tanah sempit, dan tunakisma mendapatkan tambahan penghasilan di luar usaha tani yang padat karya dan memberikan pendapatan relatif rendah, seperti kerajinan tangan, membuka warung, dan sebagainya. Semuanya ini menunjukkan, bahwa petani luaslah yang lebih mempunyai jangkauan terhadap sumberdaya non pertanian, yang pada gilirannya melahirkan proses akumulasi modal dan investasi, baik di sektor pertanian maupun non pertanian.

Pandangan Gunawan Wiradi ini hendaknya menyadarkan kantor pertanahan (kabupaten), bahwa kinerja mereka dalam mensejahterakan petani miskin sangat diperlukan. Kantor pertanahan selayaknya melakukan proses internalisasi kepentingan, dalam mensejahterakan petani miskin. Dengan kata lain, kesejahteraan petani miskin bukan lagi hanya kepentingan para petani miskin itu sendiri, melainkan telah terinternalisasi menjadi kepentingan kantor pertanahan. Tepatnya, kantor pertanahan berkepentingan untuk mensejahterakan petani miskin. Upaya ini akan berhasil, apabila ada konsistensi kantor pertanahan dalam mensejahterakan petani. Oleh karena itu, konsistensi kepentingan kantor pertanahan dalam mensejahterakan petani merupakan sesuatu yang tak dapat ditawar-tawar lagi.

Agar mampu mensejahterakan petani miskin, kantor pertanahan perlu mengetahui, bahwa petani yang menguasai tanah sempit, dan tunakisma perlu mendapat dorongan agar dapat keluar dari kemiskinan, dan bergerak menuju kesejahteraan. Bagi golongan yang dapat dikelompokkan sebagai petani miskin ini, kesejahteraan seringkali hanya sebuah kata indah yang keberadaannya jauh dari diri mereka. Oleh karena itu, mereka membutuhkan bantuan dari berbagai pihak, yang berkepentingan untuk mensejahterakan petani miskin, seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, kelompok tani, dan petani miskin itu sendiri.

Petani miskin ini pada umumnya mengalami kegagalan kepemilikan, terutama tanah. Padahal tanah adalah modal produksi bagi petani, sehingga ketiadaan tanah berarti ketiadaan tempat dan media untuk memproduksi sesuatu. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Tricahyono (1983) di beberapa desa di kabupaten-kabupaten di Jawa Tengah menunjukkan, bahwa produktivitas petani bertanah sempit lebih tinggi dibandingkan dengan petani bertanah luas. Penelitian Tricahyono mendapat dukungan dari Suharno (1991), yang dalam penelitiannya di perdesaan di Pulau Jawa dan Bali membuktikan fenomena yang sama. 

Soekarno (Presiden Pertama Republik Indonesia) pernah menjelaskan tentang prinsip kesejahteraan. Menurutnya, tidak akan ada kemiskinan di dalam Negara Indonesia yang merdeka. Soekarno juga menjelaskan, bahwa badan perwakilan belum cukup untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Pendapatnya ini disampaikan dengan alasan, bahwa di Eropa yang masyarakatnya menganut parlementaire democratie ternyata kaum kapitalisnya merajalela. Oleh karena itu, Soekarno mengusulkan politik economische demokratie (demokrasi politik ekonomi) yang diharapkan mampu mendatangkan kesejahteraan sosial (lihat Rahardjo, 1995:53-55).

Demokrasi politik ekonomi yang diusulkan oleh Soekarno relevan dengan adanya fenomena konsistensi kepentingan kantor pertanahan dalam mensejahterakan petani miskin. Hal ini dapat difahami dengan menggunakan pandangan fungsionalisme Robert K. Merton, yang menyatakan bahwa tidak seluruh struktur, adat istiadat, gagasan, dan keyakinan memiliki fungsi positif. Oleh karena itu perlu terobosan tertentu (seperti: demokrasi politik ekonomi).

Namun demikian Merton mengakui, bahwa ada berbagai alternatif struktural dan fungsional yang ada didalam masyarakat yang tidak dapat dihindari; sehingga membutuhkan kepiawaian dalam mengharmonisasikannya dengan kebijakan. Selanjutnya Merton mengingatkan, bahwa analisis struktural fungsional memusatkan perhatiannya pada organisasi, kelompok, masyarakat dan kebudayaannya, sehingga memberi dasar ilmiah bagi kebijakan yang menyediakan ruang bagi partisipasi masyarakat (lihat Wikipedia, 2010).

Dengan demikian, berdasarkan pandangan fungsionalisme Robert K. Merton, maka kantor pertanahan perlu memperhatikan fungsi positif dan negatif dari struktur, adat istiadat, gagasan, dan keyakinan yang ada pada petani miskin. Selanjutnya, sebagai bagian dari upaya mensejahterakan petani miskin, perlu diperhatikan indikator kesejahteraan yang ada pada petani. Misalnya dengan memperhatikan konsepsi, bahwa terwujudnya kesejahteraan ditandai oleh meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat, serta tercukupinya kebutuhan dasar, yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja. Berdasarkan indikator ini, maka petani miskin yang menjadi sasaran kepentingan kantor pertanahan dapat disebut sejahtera, apabila mereka dapat mencukupi kebutuhan dasarnya, yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja. 

Berkaitan dengan petani miskin, juga diketahui bahwa terdapat “kemiskinan struktural”, yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan  masyarakat karena adanya struktur sosial yang mengakibatkan mereka tidak dapat ikut serta dalam menggunakan sumber-sumber pendapatan, yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Termasuk dalam golongan ini adalah petani yang tidak memiliki tanah sendiri, petani pemilik tanah sempit yang tidak dapat mencukupi kebutuhan makan sendiri dan keluarganya, kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih, dan pengusaha tanpa modal (lihat Alfian, 1980:5).

Kemiskinan struktural, yang berakibat pada tidak dapat ikut sertanya petani miskin dalam menggunakan sumber-sumber pendapatan, yang sebenarnya tersedia bagi mereka, membutuhkan kiprah kantor pertanahan dalam melakukan berbagai langkah terobosan, untuk menembus penghalang struktural yang menghalangi kesejahteraan bagi petani miskin. Caranya dengan memanfaatkan setiap kewenangan kantor pertanahan bagi pencapaian kesejahteraan petani miskin.

Referensi: (1) Alfian, Melly G. Tan, dan Selo Sumardjan. 1980. “Kemiskinan Struktural.” Jakarta, Gramedia; (2) Hagul, Peter. (ed.). 1992. ”Pembangunan Desa Dan Lembaga Swadaya Masyarakat.” Yogyakarta, Yayasan DIAN Desa; (3) Rahardjo, Bambang dan Syamsuhadi. 1995. “Garuda Emas Pancasila Sakti.” Jakarta, Yapeta; (4) Suharno. 1991. “Pengaruh Perubahan Harga terhadap Penawaran Produk dan Permintaan Input pada Produksi Padi di Jawa dan Bali.” Disertasi. Yogyakarta, UGM; (5) Tricahyono, Bambang. 1983. “Masalah Petani Gurem.” Yogyakarta, Liberty; (6) Wikipedia Indonesia. 2010. “Teori Struktural Fungsional.” http://id.wikipedia.org Tanggal 26 Desember 2010.

Selamat merenungkan, semoga Allah SWT berkenan meridhai...

...

Tidak ada komentar: