Gunawan Wiradi (dalam
Hagul, 1992) menjelaskan tentang adanya hubungan antara pengusaan tanah, sumber
pendapatan, dan distribusi pendapatan. Wiradi menjelaskan, bahwa golongan
petani pengguna tanah luas, mampu menginvestasikan surplusnya pada usaha-usaha
padat modal, yang memberikan pendapatan relatif besar, seperti alat pengolah
hasil pertanian, atau berdagang untuk menghidupi keluarganya. Sementara itu,
petani yang menguasai tanah sempit, dan tunakisma mendapatkan tambahan
penghasilan di luar usaha tani yang padat karya dan memberikan pendapatan
relatif rendah, seperti kerajinan tangan, membuka warung, dan sebagainya.
Semuanya ini menunjukkan, bahwa petani luaslah yang lebih mempunyai jangkauan
terhadap sumberdaya non pertanian, yang pada gilirannya melahirkan proses
akumulasi modal dan investasi, baik di sektor pertanian maupun non pertanian.
Pandangan Gunawan Wiradi
ini hendaknya menyadarkan kantor pertanahan (kabupaten), bahwa kinerja mereka
dalam mensejahterakan petani miskin sangat diperlukan. Kantor pertanahan selayaknya
melakukan proses internalisasi kepentingan, dalam mensejahterakan petani
miskin. Dengan kata lain, kesejahteraan petani miskin bukan lagi hanya
kepentingan para petani miskin itu sendiri, melainkan telah terinternalisasi
menjadi kepentingan kantor pertanahan. Tepatnya, kantor pertanahan
berkepentingan untuk mensejahterakan petani miskin. Upaya ini akan berhasil,
apabila ada konsistensi kantor pertanahan dalam mensejahterakan petani. Oleh karena
itu, konsistensi kepentingan kantor pertanahan dalam mensejahterakan petani
merupakan sesuatu yang tak dapat ditawar-tawar lagi.
Agar mampu mensejahterakan
petani miskin, kantor pertanahan perlu mengetahui, bahwa petani yang menguasai
tanah sempit, dan tunakisma perlu mendapat dorongan agar dapat keluar dari
kemiskinan, dan bergerak menuju kesejahteraan. Bagi golongan yang dapat
dikelompokkan sebagai petani miskin ini, kesejahteraan seringkali hanya sebuah
kata indah yang keberadaannya jauh dari diri mereka. Oleh karena itu, mereka
membutuhkan bantuan dari berbagai pihak, yang berkepentingan untuk
mensejahterakan petani miskin, seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat,
kelompok tani, dan petani miskin itu sendiri.
Petani miskin ini pada
umumnya mengalami kegagalan kepemilikan, terutama tanah. Padahal tanah adalah
modal produksi bagi petani, sehingga ketiadaan tanah berarti ketiadaan tempat
dan media untuk memproduksi sesuatu. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Tricahyono (1983) di beberapa desa di kabupaten-kabupaten
di Jawa Tengah menunjukkan, bahwa produktivitas petani bertanah sempit lebih
tinggi dibandingkan dengan petani bertanah luas. Penelitian Tricahyono mendapat
dukungan dari Suharno (1991), yang dalam penelitiannya di perdesaan di Pulau
Jawa dan Bali membuktikan fenomena yang sama.
Soekarno (Presiden
Pertama Republik Indonesia) pernah menjelaskan tentang prinsip kesejahteraan. Menurutnya,
tidak akan ada kemiskinan di dalam Negara
Indonesia yang merdeka. Soekarno juga menjelaskan, bahwa badan perwakilan
belum cukup untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Pendapatnya ini disampaikan
dengan alasan, bahwa di Eropa yang masyarakatnya menganut parlementaire
democratie ternyata kaum kapitalisnya merajalela. Oleh karena itu, Soekarno
mengusulkan politik economische demokratie (demokrasi politik ekonomi) yang
diharapkan mampu mendatangkan kesejahteraan sosial (lihat Rahardjo, 1995:53-55).
Demokrasi politik ekonomi
yang diusulkan oleh Soekarno relevan dengan adanya fenomena konsistensi kepentingan
kantor pertanahan dalam mensejahterakan petani miskin. Hal ini dapat difahami
dengan menggunakan pandangan fungsionalisme Robert K. Merton, yang menyatakan
bahwa tidak seluruh struktur, adat istiadat, gagasan, dan keyakinan memiliki
fungsi positif. Oleh karena itu perlu terobosan tertentu (seperti: demokrasi
politik ekonomi).
Namun demikian Merton
mengakui, bahwa ada berbagai alternatif struktural dan fungsional yang ada
didalam masyarakat yang tidak dapat dihindari; sehingga membutuhkan kepiawaian
dalam mengharmonisasikannya dengan kebijakan. Selanjutnya Merton mengingatkan,
bahwa analisis struktural fungsional memusatkan perhatiannya pada organisasi,
kelompok, masyarakat dan kebudayaannya, sehingga memberi dasar ilmiah bagi
kebijakan yang menyediakan ruang bagi partisipasi masyarakat (lihat Wikipedia,
2010).
Dengan demikian, berdasarkan
pandangan fungsionalisme Robert K. Merton, maka kantor pertanahan perlu
memperhatikan fungsi positif dan negatif dari struktur, adat istiadat, gagasan,
dan keyakinan yang ada pada petani miskin. Selanjutnya, sebagai bagian dari
upaya mensejahterakan petani miskin, perlu diperhatikan indikator kesejahteraan yang ada pada petani. Misalnya dengan
memperhatikan konsepsi, bahwa terwujudnya kesejahteraan ditandai oleh meningkatnya
kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat, serta tercukupinya kebutuhan
dasar, yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja.
Berdasarkan indikator ini, maka petani miskin yang menjadi sasaran kepentingan
kantor pertanahan dapat disebut sejahtera, apabila mereka dapat mencukupi
kebutuhan dasarnya, yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan
lapangan kerja.
Berkaitan dengan petani
miskin, juga diketahui bahwa terdapat “kemiskinan struktural”, yaitu kemiskinan
yang diderita oleh suatu golongan
masyarakat karena adanya struktur sosial yang mengakibatkan mereka tidak
dapat ikut serta dalam menggunakan sumber-sumber pendapatan, yang sebenarnya
tersedia bagi mereka. Termasuk dalam golongan ini adalah petani yang tidak
memiliki tanah sendiri, petani pemilik tanah sempit yang tidak dapat mencukupi
kebutuhan makan sendiri dan keluarganya, kaum buruh yang tidak terpelajar dan
tidak terlatih, dan pengusaha tanpa modal (lihat Alfian, 1980:5).
Kemiskinan struktural, yang
berakibat pada tidak dapat ikut sertanya petani miskin dalam menggunakan
sumber-sumber pendapatan, yang sebenarnya tersedia bagi mereka, membutuhkan
kiprah kantor pertanahan dalam melakukan berbagai langkah terobosan, untuk
menembus penghalang struktural yang menghalangi kesejahteraan bagi petani
miskin. Caranya dengan memanfaatkan setiap kewenangan kantor pertanahan bagi
pencapaian kesejahteraan petani miskin.
Referensi: (1) Alfian, Melly G. Tan, dan Selo
Sumardjan. 1980. “Kemiskinan Struktural.” Jakarta, Gramedia; (2) Hagul, Peter. (ed.). 1992.
”Pembangunan Desa Dan Lembaga Swadaya Masyarakat.” Yogyakarta, Yayasan DIAN
Desa; (3) Rahardjo, Bambang dan
Syamsuhadi. 1995. “Garuda Emas Pancasila Sakti.” Jakarta, Yapeta; (4) Suharno. 1991. “Pengaruh Perubahan
Harga terhadap Penawaran Produk dan Permintaan Input pada Produksi Padi di Jawa
dan Bali.” Disertasi. Yogyakarta, UGM; (5)
Tricahyono, Bambang. 1983. “Masalah Petani Gurem.” Yogyakarta, Liberty; (6) Wikipedia Indonesia. 2010. “Teori
Struktural Fungsional.” http://id.wikipedia.org Tanggal 26 Desember 2010.
Selamat merenungkan,
semoga Allah SWT berkenan meridhai...
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar