Minggu, 06 Mei 2012

TREATMENT PERTANAHAN


Sudah saatnya kelompok yang kuat diberi kemampuan untuk memiliki empati terhadap kelompok yang lemah. Empati ini kemudian diimplementasikan lebih jauh dalam suatu dukungan bagi penguatan yang lemah. Sementara itu, kelompok yang lemah dberi kemampuan untuk memiliki tambahan semangat, etos, dan daya juang yang lebih tinggi. Kesemua peningkatan kemampuan kelompok yang lemah ini, akhirnya akan menjadi modal bagi transformasi evolutif dari kelompok yang lemah ke arah kelompok yang kuat.

Dengan demikian kalaupun bila suatu saat ada konflik pertanahan, maka ia akan dapat diatasi dengan baik. Penanganan konflik yang terjadi tidak perlu sampai ke pengadilan, melainkan cukup dimusyawarahkan di tingkat desa atau tingkat kecamatan. Pihak pemerintah desa atau pemerintah kecamatan dapat meminta bantuan kantor pertanahan, terutama untuk melakukan rekonstruksi batas, bila ada sengketa batas, termasuk yang berkaitan dengan sengketa waris. Penanganan konflik semacam ini dapat dilakukan atas peran camat.

Oleh karena itu perlu ada dorongan bagi camat sebagai PPAT, untuk lebih berperan dalam pembuatan akta tanah daripada PPAT Umum (Notaris). PPAT Umum lebih difokuskan pada pelayanan pembuatan akta tanah yang sudah bersertipikat, sedangkan PPAT Camat menangani pembuatan akta untuk tanah yang belum bersertipikat.

Tetapi tak dapat dipungkiri untuk saat ini masyarakat lebih memilih memanfaatkan jasa PPAT Umum dalam pembuatan akta tanah untuk tanah yang sudah bersertipikat maupun yang belum bersertipikat, bahkan hingga pengurusan sertipikatnya. Kondisi seperti ini menunjukkan PPAT Camat kalah dalam berkontestasi dengan PPAT Umum. Akibatnya, PPAT Camat sulit mewujudkan komitmennya untuk memperhatikan kepentingan desa (misal: penarikan pologoro) dalam membuat akta tanah.

Dengan memperhatikan fakta lapangan tentang penerapan keadilan dalam konteks pertanahan, diketahui bahwa sebagaimana penerapan prinsip pertanahan, maka penerapan keadilan membutuhkan keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif, nilai luhur, perilaku yang sama dan peniadaan kesewenang-wenangan, dan profesionalisme. Dengan catatan, pengertian perilaku yang sama dalam hal ini, adalah sama-sama mendapat perlakuan dari pemerintah tetapi dengan treatment yang berbeda.

Sebagai contoh, anggota masyarakat yang kurang mampu dan yang mampu secara ekonomi, sama-sama mendapat perlakuan dari kantor pertanahan, yaitu pensertipikatan tanah. Tetapi kedua golongan masyarakat ini mendapat treatment berbeda, di mana golongan yang kurang mampu membayar biaya lebih murah dari yang dibayarkan oleh golongan yang mampu.

Sementara itu, Prinsip Ketiga dari “Empat Prinsip Pertanahan” menyatakan, “Pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat, terutama tanah.” Kata kunci dari prinsip ini adalah keberlanjutan, yaitu suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan untuk terus bertahan dan berkembang dari waktu ke waktu, terutama dalam kontribusi kebajikan bagi masyarakat.

Keberlanjutan sistem yang akan dikontribusikan oleh pengelolaan pertanahan yang baik, adalah suatu kondisi, ketika pengelolaan pertanahan mampu memberikan kemampuan yang terus menerus, bahkan semakin meningkat, bagi masyarakat, bangsa, dan negara dalam merespon dinamika kehidupan dalam level lokal, regional maupun global. Pada kondisi ini selalu berhasil diatasi dan diperbaiki faktor-faktor yang akan melemahkan masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam konteks pertanahan faktor-faktor tersebut meliputi pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.

Selanjutnya, Prinsip Ketiga dari ”Empat Prinsip Pertanahan” oleh kantor pertanahan dapat dimaknai sebagai keharusan untuk melakukan kegiatan pertanahan secara terus menerus, bertahap, serta dari waktu ke waktu, untuk mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat, dan keadilan, yang akan menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dalam konteks kabupaten atau kota setempat.

Ukurannya secara kualitatif adalah pemberian akses seluas-luasnya kepada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat, terutama tanah. Tindakannya berupa penguatan asset masyarakat melalui pensertipikatan tanah, yang akan memberi jaminan kepastian hukum kepada pemegangnya, dan keturunannya di kelak kemudian hari. Agar terwujud keberlanjutan, kantor pertanahan harus mempermudah pensertipikatan tanah bagi pengusaha kecil (home industry dan jasa), agar keberlanjutan usaha dapat terjadi, dan kendala permodalan dapat diatasi.

Pensertipikatan tanah seringkali tidak mampu direspon dengan baik oleh masyarakat. Sebagai contoh adanya masyarakat yang tidak berminat ketika ditawari PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria), karena mereka tidak mampu membayar biaya yang ditetapkan oleh pemerintah desa.

Walaupun sesungguhnya masyarakat antusias mensertipikatkan tanahnya, sepanjang biayanya terjangkau oleh mereka. Mereka mengerti, bahwa kalau ada sertipikat, tidak ada lagi sengketa batas antar masyarakat, jadi bagus buat ketentraman masyarakat. Masyarakat juga mengerti, bahwa kalau ada sertipikat, pewarisannya juga jadi lebih jelas dan lebih mudah, jadi anak keturunannya lebih terjamin.

Dengan demikian bila kegiatan PRONA kurang mendapat respon dari pemerintah desa, antara lain dikarenakan pemerintah desa diijinkan memungut biaya (termasuk pologoro). Ketika pemerintah desa memungut biaya tambahan masyarakat berkeberatan, karena memberi beban tambahan pada masyarakat.

Kondisi ini dilematis, karena berkaitan dengan kelancaran pelaksanaan PRONA. Kantor pertanahan tidak dapat secara terbuka menyetujui pungutan yang dilakukan oleh pemerintah desa, sehingga langkah yang diambil pada umumnya berupa pendekatan kepada pemerintah desa agar berkenan meringankan beban warganya atau masyarakatnya. Kantor Pertanahan juga tidak dapat melarang pungutan tersebut, bila hal itu merupakan kesepakatan masyarakat desa, terutama dalam hal penarikan pologoro.

Pungutan desa yang disebut ”pologoro”, diputuskan melalui musyawarah desa, karena dana yang diperoleh akan digunakan untuk kepentingan membangun desa. Dengan demikian, pungutan desa sesungguhnya legal karena merupakan hasil kesepakatan pemerintah desa dengan masyarakatnya.

Selamat merenungkan, semoga Allah SWT meridhai...

Tidak ada komentar: