Sudah saatnya kelompok yang kuat diberi kemampuan untuk memiliki empati
terhadap kelompok yang lemah. Empati ini kemudian diimplementasikan lebih jauh
dalam suatu dukungan bagi penguatan yang lemah. Sementara itu, kelompok yang
lemah dberi kemampuan untuk memiliki tambahan semangat, etos, dan daya juang
yang lebih tinggi. Kesemua peningkatan kemampuan kelompok yang lemah ini,
akhirnya akan menjadi modal bagi transformasi evolutif dari kelompok yang lemah
ke arah kelompok yang kuat.
Dengan demikian kalaupun bila suatu saat ada konflik pertanahan, maka ia
akan dapat diatasi dengan baik. Penanganan konflik yang terjadi tidak perlu sampai
ke pengadilan, melainkan cukup dimusyawarahkan di tingkat desa atau tingkat kecamatan.
Pihak pemerintah desa atau pemerintah kecamatan dapat meminta bantuan kantor
pertanahan, terutama untuk melakukan rekonstruksi batas, bila ada sengketa
batas, termasuk yang berkaitan dengan sengketa waris. Penanganan konflik semacam
ini dapat dilakukan atas peran camat.
Oleh karena itu perlu ada dorongan bagi camat sebagai PPAT, untuk lebih
berperan dalam pembuatan akta tanah daripada PPAT Umum (Notaris). PPAT Umum
lebih difokuskan pada pelayanan pembuatan akta tanah yang sudah bersertipikat,
sedangkan PPAT Camat menangani pembuatan akta untuk tanah yang belum
bersertipikat.
Tetapi tak dapat dipungkiri untuk saat ini masyarakat lebih memilih
memanfaatkan jasa PPAT Umum dalam pembuatan akta tanah untuk tanah yang sudah
bersertipikat maupun yang belum bersertipikat, bahkan hingga pengurusan
sertipikatnya. Kondisi seperti ini menunjukkan PPAT Camat kalah dalam
berkontestasi dengan PPAT Umum. Akibatnya, PPAT Camat sulit mewujudkan
komitmennya untuk memperhatikan kepentingan desa (misal: penarikan pologoro)
dalam membuat akta tanah.
Dengan memperhatikan fakta lapangan tentang penerapan keadilan dalam
konteks pertanahan, diketahui bahwa sebagaimana penerapan prinsip pertanahan,
maka penerapan keadilan membutuhkan keteraturan, kejujuran, perilaku
kooperatif, nilai luhur, perilaku yang sama dan peniadaan kesewenang-wenangan,
dan profesionalisme. Dengan catatan, pengertian perilaku yang sama dalam hal
ini, adalah sama-sama mendapat perlakuan dari pemerintah tetapi dengan treatment yang berbeda.
Sebagai contoh, anggota masyarakat yang kurang mampu dan yang mampu secara
ekonomi, sama-sama mendapat perlakuan dari kantor pertanahan, yaitu
pensertipikatan tanah. Tetapi kedua golongan masyarakat ini mendapat treatment berbeda, di mana golongan yang
kurang mampu membayar biaya lebih murah dari yang dibayarkan oleh golongan yang
mampu.
Sementara itu, Prinsip Ketiga dari “Empat Prinsip Pertanahan” menyatakan,
“Pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menjamin keberlanjutan
sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan
akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi
masyarakat, terutama tanah.” Kata kunci dari prinsip ini adalah keberlanjutan,
yaitu suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan untuk terus bertahan dan
berkembang dari waktu ke waktu, terutama dalam kontribusi kebajikan bagi
masyarakat.
Keberlanjutan sistem yang akan dikontribusikan oleh pengelolaan pertanahan
yang baik, adalah suatu kondisi, ketika pengelolaan pertanahan mampu memberikan
kemampuan yang terus menerus, bahkan semakin meningkat, bagi masyarakat,
bangsa, dan negara dalam merespon dinamika kehidupan dalam level lokal,
regional maupun global. Pada kondisi ini selalu berhasil diatasi dan diperbaiki
faktor-faktor yang akan melemahkan masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam
konteks pertanahan faktor-faktor tersebut meliputi pemilikan, penguasaan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah.
Selanjutnya, Prinsip Ketiga dari ”Empat Prinsip Pertanahan” oleh kantor pertanahan
dapat dimaknai sebagai keharusan untuk melakukan kegiatan pertanahan secara
terus menerus, bertahap, serta dari waktu ke waktu, untuk mendorong terwujudnya
kesejahteraan masyarakat, dan keadilan, yang akan menjamin keberlanjutan sistem
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dalam konteks kabupaten
atau kota setempat.
Ukurannya secara kualitatif adalah pemberian akses seluas-luasnya kepada
generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat, terutama tanah.
Tindakannya berupa penguatan asset masyarakat melalui pensertipikatan tanah,
yang akan memberi jaminan kepastian hukum kepada pemegangnya, dan keturunannya
di kelak kemudian hari. Agar terwujud keberlanjutan, kantor pertanahan harus
mempermudah pensertipikatan tanah bagi pengusaha kecil (home industry dan jasa), agar keberlanjutan usaha dapat terjadi,
dan kendala permodalan dapat diatasi.
Pensertipikatan tanah seringkali tidak mampu direspon dengan baik oleh
masyarakat. Sebagai contoh adanya masyarakat yang tidak berminat ketika
ditawari PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria), karena mereka tidak mampu
membayar biaya yang ditetapkan oleh pemerintah desa.
Walaupun sesungguhnya masyarakat antusias mensertipikatkan tanahnya,
sepanjang biayanya terjangkau oleh mereka. Mereka mengerti, bahwa kalau ada
sertipikat, tidak ada lagi sengketa batas antar masyarakat, jadi bagus buat
ketentraman masyarakat. Masyarakat juga mengerti, bahwa kalau ada sertipikat,
pewarisannya juga jadi lebih jelas dan lebih mudah, jadi anak keturunannya
lebih terjamin.
Dengan demikian bila kegiatan PRONA kurang mendapat respon dari pemerintah
desa, antara lain dikarenakan pemerintah desa diijinkan memungut biaya
(termasuk pologoro). Ketika pemerintah desa memungut biaya tambahan masyarakat
berkeberatan, karena memberi beban tambahan pada masyarakat.
Kondisi ini dilematis, karena berkaitan dengan kelancaran pelaksanaan
PRONA. Kantor pertanahan tidak dapat secara terbuka menyetujui pungutan yang
dilakukan oleh pemerintah desa, sehingga langkah yang diambil pada umumnya
berupa pendekatan kepada pemerintah desa agar berkenan meringankan beban
warganya atau masyarakatnya. Kantor Pertanahan juga tidak dapat melarang
pungutan tersebut, bila hal itu merupakan kesepakatan masyarakat desa, terutama
dalam hal penarikan pologoro.
Pungutan desa yang disebut ”pologoro”, diputuskan melalui musyawarah desa,
karena dana yang diperoleh akan digunakan untuk kepentingan membangun desa.
Dengan demikian, pungutan desa sesungguhnya legal karena merupakan hasil
kesepakatan pemerintah desa dengan masyarakatnya.
Selamat merenungkan, semoga Allah SWT
meridhai...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar