Dalam
Prinsip Kedua dari “Empat Prinsip Pertanahan” dinyatakan, “Pertanahan harus
berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang
lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan,
dan pemilikan tanah.” Kata
kunci dari prinsip ini adalah keadilan, yang berkaitan dengan tiga hal penting,
yaitu: perilaku, hukum, dan penegak hukum.
Agar pengelolaan
pertanahan dapat mewujudkan keadilan, maka diperlukan: Pertama, adanya perilaku para pihak (masyarakat dan pemegang
otoritas) yang fair dan bermoral
baik.
Kedua, adanya hukum yang diberlakukan secara prosedural (memenuhi asas legal
drafting) sehingga mempunyai kekuatan berlaku, mengikat, dan memaksa, dengan
substansi yang tepat secara sosial (social
accuracy).
Ketiga, adanya penegak hukum yang ber-track record baik, sehingga berpeluang
untuk menerapkan nilai-nilai keadilan secara adil.
Prinsip Kedua
dari Empat Prinsip Pertanahan ini dapat dimaknai oleh kantor pertanahan sebagai
keharusan untuk menerapkan kebijakan yang “diskriminatif”, terutama kepada
masyarakat yang tergolong lemah kemampuan ekonominya. Ukurannya secara
kualitatif adalah keseimbangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah, yang juga akan mendorong peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Upaya yang dapat dilakukan
oleh kantor pertanahan, antara lain memberikan pelayanan pensertipikatan tanah
dengan treatment khusus kepada
golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Dengan demikian tercipta
keadilan dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah, di mana anggota masyarakat
yang kaya dan miskin sama-sama dapat memperkuat asset-nya melalui pensertipikatan tanah, terutama untuk mengamankan
asset-asset tersebut dari gangguan
pihak ketiga.
Pensertipikatan
tanah juga dapat membuka akses permodalan bagi pemilik tanah, sehingga ia dapat
menggunakan tanah dalam format yang paling menguntungkan baginya. Masyarakat dapat
saja berpandangan, bahwa untuk mewujudkan keadilan, kantor pertanahan
seharusnya memberi perlakuan khusus dalam pensertipikatan tanah bagi masyarakat
yang tidak mampu.
Sesuatu
dinyatakan adil, bila masing-masing pihak mendapat ”instrumen” mendasar dalam
memperjuangkan kontribusi terbaiknya. Masyarakat yang tidak mampu, akan optimal
dalam memberikan kontribusinya, bila diberi instrumen berupa sertipikat tanah,
yang akan dapat membuka akses permodalan baginya. Untuk itu diperlukan
perlakuan diskriminatif dalam hal pensertipikatan tanah, di mana masyarakat
yang kurang mampu mendapat kemudahan berupa biaya yang relatif rendah.
Keadilan
pertanahan bukan berarti sama rasa sama rata, melainkan adanya upaya penguatan
bagi yang tak berkemampuan, agar lebih banyak pihak yang memiliki kemampuan.
Untuk itu perlu ada bantuan bagi yang tidak mampu. Dengan kata lain, harus ada
perlakuan khusus bagi yang tidak mampu. Apabila hal ini dapat dilakukan (ada
bantuan bagi yang tidak mampu), maka tidak akan ada konflik pertanahan antara
yang memiliki kemampuan dengan yang tidak memiliki kemampuan. Usaha ini dimaksudkan
sebagai penguatan atau peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat, baik yang
mampu maupun yang tidak mampu.
Perbedaan di
masyarakat, antara kelompok yang mampu (kelas atas) dengan kelompok yang tidak
mampu (kelas bawah) haruslah dijembatani dengan berbagai program atau aktivitas
pertanahan. Tujuannya adalah memperkuat yang lemah, dan menyadarkan yang kuat
agar berkenan memperkuat yang lemah. Titik temu antara kelompok yang kuat
dengan yang lemah adalah ”kemampuan”.
Selamat merenungkan, semoga Allah SWT berkenan
meridhai...
...
1 komentar:
Assalamu 'alaikum warohmatullahi wabarakatuh...........
apa pandangan bapak jika masyarakat termasuk kelompok yang mampu, namun masih mendapat perlakuan diskrimminatif dalam pelayanan pertanahan dikarenakan adanya perbedaan RAS (misal:WNI Tionghoa)?
Posting Komentar