Selain
konflik yang terjadi karena keinginan mendapatkan tanah yang masih dikuasai
pihak lain, konlik juga berpeluang terjadi disebabkan hal-hal yang berhubungan dengan sosial-ekonomi. Sementara
itu diketahui, bahwa kemampuan masyarakat mengembangkan potensi sosial-ekonominya,
akan menghalangi terjadinya konflik.
Oleh karena
itu, kantor pertanahan perlu sungguh-sungguh melakukan penertipikatan hak atas tanah,
sebagai salah satu upaya mencegah terjadinya konflik. Telah menjadi
pengetahuian umum, bahwa pensertipikatan hak atas tanah akan memberi akses
permodalan bagi pemegang hak atas tanah.
Modal ini
dapat digunakan oleh masyarakat untuk mewujudkan atau mengembangkan potensi
wirausahanya. Secara akumulatif, hal ini akan berdampak pada pengembangan
potensi wilayah, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan, dan menekan
peluang terjadinya konflik, terutama yang disebabkan oleh faktor sosial-ekonomi.
Kesemua ini
memperteguh semangat, bahwa agar dapat dicegah terjadinya konflik, maka kantor
pertanahan harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pensertipikatan hak
atas tanah, khususnya dalam hal mendapatkan modal usaha.
Selain itu,
kantor pertanahan juga perlu memperhatikan berbagai potensi wilayah, misal potensi
pariwisata, yang di beberapa wilayah kurang optimal dimanfaatkan oleh pemerintah
kabupaten/kota. Untuk itu, wilayah yang memiliki potensi wisata membutuhkan
kemudahan keterjangkauan (aksesibilitas), yang selama ini juga kurang mendapat
perhatian memadai.
Apabila
potensi wilayah dikembangkan, kemiskinan akan berkurang, dan konflik akan dapat
dicegah dan dikurangi. Perbedaan menyolok antara yang kaya (dari luar kota)
dengan yang miskin (penduduk setempat) berpeluang menimbulkan konflik. Perbedaan
kondisi antara yang kaya dengan yang miskin ini, selanjutnya menimbulkan
perbedaan kepentingan, yang akhirnya menimbulkan konflik.
Contoh
pencegahan konflik antara lain upaya yang dilakukan oleh Perum Perhutani
terhadap masyarakat di sekitar hutan, yang membentuk LMDH (Lembaga Masyarakat
Desa Hutan) di mana masyarakat diberi keleluasaan menggarap tanah Perhutani,
sepanjang tidak merusak tanaman hutan. Dalam LMDH ini Kepala Desa berperan
sebagai pelindung.
Masyarakat
diberi plot areal yang menjadi tanggung-jawabnya, dan berkesempatan untuk
menanam tanaman semusim (misal: jagung) di sela-sela tanaman hutan. Masyarakat
juga diberi kesempatan menyadap getah pinus, yang hasilnya dibagi, sebagai
berikut: 50 % untuk Perhutani, 40 % untuk penggarap, dan 10 % untuk LMDH.
Dengan
memperhatikan fakta lapangan yang berkaitan dengan upaya mencegah atau
mengurangi sengketa dan konflik pertanahan, diketahui bahwa sebagaimana
penerapan prinsip pertanahan, maka upaya mencegah atau mengurangi sengketa dan
konflik pertanahan membutuhkan keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif,
nilai luhur, nilai keadilan, dan profesionalisme.
Selamat
merenungkan, semoga Allah SWT berkenan meridhai...
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar