Pada umumnya
kalau ada sertipikat hak atas tanah, maka tidak ada lagi sengketa batas dan
waris, karena semua sudah jelas, batasnya jelas, pemiliknya jelas, dan luasnya
juga jelas. Tidak ada lagi yang tidak jelas. Dengan demikian hak dan kewajiban
ahli waris pemegang hak atas tanah dapat terjamin, hingga ke anak cucu dan
seterusnya. Untuk itu perlu ada kerjasama yang kuat antara kepala desa, camat, dan
kantor pertanahan untuk mendorong masyarakat mensertipikatkan tanahnya.
Sertipikat hak
atas tanah merupakan sesuatu yang penting, supaya ada keamanan atas tanah
secara terus menerus. Dengan demikian dari kakek sampai cucu bisa menggarap
tanah terus menerus secara aman. Untuk memperkuat argumen ini dapat dilihat
desa-desa yang pernah dilaksanakan PRONA, yang direspon oleh masyarakat karena biayanya
yang murah. Biaya PRONA dapat murah karena masyarakat hanya dikenai biaya
operasional oleh pemerintah desa.
Dengan
memperhatikan fakta lapangan tentang pemaknaan upaya mewujudkan keberlanjutan sistem,
diketahui bahwa sebagaimana penerapan prinsip pertanahan, maka upaya mewujudkan
keberlanjutan sistem membutuhkan keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif,
nilai luhur, nilai keadilan, dan profesionalisme. Sebagai contoh dibutuhkannya
kejujuran nampak dari adanya keterbukaan yang harus terus menerus dibangun
antara kantor pertanahan dengan pemerintah setempat dan masyarakat.
Dalam Prinsip
Keempat dari “Empat Prinsip Pertanahan” dinyatakan, “Pertanahan harus
berkontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara
harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh
tanah air, dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa
dan konflik di kemudian hari.” Kata kunci dari prinsip ini, adalah konflik.
Konflik, tentulah
sulit untuk dihapuskan begitu saja. Banyak pula pihak yang beranggapan bahwa
konflik membahayakan, karena bersifat destruktif. Sesungguhnya konflik bersifat
fungsional. Dengan kata lain, konflik sesungguhnya bermanfaat bagi masyarakat,
bangsa, dan negara, sepanjang konflik itu dapat dikendalikan agar tidak
destruktif.
Kondisi inilah
yang menjadi dasar adanya pandangan yang menyatakan, bahwa konflik bersifat
fungsional, dengan alasan: Pertama,
konflik akan meningkatkan kohesi internal pada kelompok-kelompok masyarakat
yang terlibat konflik. Kedua,
konflik akan menghadirkan koalisi baru dalam masyarakat sebagai tandingan atas
koalisi yang selama ini telah ada di masyarakat. Ketiga, konflik akan membangun kesimbangan baru dalam masyarakat,
sehingga dapat meredam dinamika masyarakat, tanpa harus menimbulkan ledakan
sosial (social eruption).
Sementara itu,
Prinsip Keempat dari Empat Prinsip Pertanahan ini dapat dimaknai oleh kantor pertanahan
sebagai keharusan untuk mendorong masyarakat agar mampu mengembangkan
potensinya, termasuk dengan memberi pelayanan pertanahan yang dapat mencegah
terjadinya konflik pertanahan.
Contoh, seorang
kepala kantor pertanahan menyatakan, bahwa terdapat konflik pertanahan di wilayahnya
(misal: di Kecamatan X), yang mendapat perhatian serius dalam penanganannya.
Konflik ini terjadi dengan kronologi sebagai berikut: (1) Ada tanah HGB (Hak Guna Bangunan) yang masih dimanfaatkan oleh
pemegang haknya, seluas lebih kurang 6.000 meter persegi; (2) Pada saat pemegang HGB akan memperpanjang haknya, ada
permintaan pihak desa, agar pemegang HGB berkenan melepaskan seluas 400 meter
persegi kepada pihak desa; (3)
Pemegang HGB keberatan, dan ia tetap ingin memperpanjang haknya atas seluruh
tanahnya tersebut; (4) Pihak desa
bersikeras, karena menurut mereka HGB yang telah habis waktunya menjadi Tanah
Negara, sehingga dapat dimohon oleh pihak desa, dasar acuannya menurut mereka
adalah Keppres No.2 Tahun 1979; (5)
Kantor pertanahan masih belum dapat memproses HGB tersebut, karena dipandang
masih bermasalah (berkonflik); (6)
Kepala kantor pertanahan berpandangan, bahwa meskipun HGB telah berakhir dan
tanahnya menjadi Tanah Negara, maka tidaklah serta merta tanah tersebut dapat
dimohon oleh pihak lain.
Telah difahami,
bahwa konflik berkaitan dengan tiga hal utama, yaitu: ketidak-sepakatan (disagreement), perjuangan (fighting), dan perbedaan (difference). Dengan demikian tentulah
dapat difahami, bahwa konflik di Kecamatan X melibatkan ketiga terminologi
tersebut (ketidak-sepakatan, perjuangan, dan perbedaan). Konflik di kecamatan ini
memperlihatkan adanya ketidak-sepakatan antara pemegang HGB dengan pemerintah
desa setempat, di mana pemerintah desa setempat meminta pemegang HGB melepas
400 meter persegi dari 6.000 meter persegi tanah yang dikuasainya.
Konflik di
Kecamatan X ini juga melibatkan perjuangan, yang ditandai oleh berbagai upaya
dari pemerintah desa setempat, untuk mendapatkan 400 meter persegi tanah yang
dikuasai oleh pemegang HGB. Hal ini tentulah direspon oleh pemegang HGB dengan
perjuangan untuk mempertahankan 6.000 meter persegi tanah yang dikuasainya.
Kedua pihak,
pemerintah desa setempat dan pemegang HGB, sama-sama melakukan perjuangan.
Perbedaan mereka terletak pada alasan perjuangannya. Pemerintah desa setempat
beralasan, bahwa 400 meter persegi tanah, yang dimintanya merupakan tanah yang
akan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Sementara itu, pemegang HGB
berpandangan, bahwa tanah seluas 6.000 meter persegi yang dikuasainya
dipergunakan dan dimanfaatkannya secara optimal, sehingga berguna dan
bermanfaat bagi diri, dan keluarganya, serta para pihak yang terkait, termasuk
pemerintah desa, dan negara.
Selamat
merenungkan, semoga Allah SWT berkenan meridhai...
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar