Minggu, 13 Mei 2012

KONFLIK PERTANAHAN


Pada umumnya kalau ada sertipikat hak atas tanah, maka tidak ada lagi sengketa batas dan waris, karena semua sudah jelas, batasnya jelas, pemiliknya jelas, dan luasnya juga jelas. Tidak ada lagi yang tidak jelas. Dengan demikian hak dan kewajiban ahli waris pemegang hak atas tanah dapat terjamin, hingga ke anak cucu dan seterusnya. Untuk itu perlu ada kerjasama yang kuat antara kepala desa, camat, dan kantor pertanahan untuk mendorong masyarakat mensertipikatkan tanahnya.

Sertipikat hak atas tanah merupakan sesuatu yang penting, supaya ada keamanan atas tanah secara terus menerus. Dengan demikian dari kakek sampai cucu bisa menggarap tanah terus menerus secara aman. Untuk memperkuat argumen ini dapat dilihat desa-desa yang pernah dilaksanakan PRONA, yang direspon oleh masyarakat karena biayanya yang murah. Biaya PRONA dapat murah karena masyarakat hanya dikenai biaya operasional oleh pemerintah desa.

Dengan memperhatikan fakta lapangan tentang pemaknaan upaya mewujudkan keberlanjutan sistem, diketahui bahwa sebagaimana penerapan prinsip pertanahan, maka upaya mewujudkan keberlanjutan sistem membutuhkan keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif, nilai luhur, nilai keadilan, dan profesionalisme. Sebagai contoh dibutuhkannya kejujuran nampak dari adanya keterbukaan yang harus terus menerus dibangun antara kantor pertanahan dengan pemerintah setempat dan masyarakat.

Dalam Prinsip Keempat dari “Empat Prinsip Pertanahan” dinyatakan, “Pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air, dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.” Kata kunci dari prinsip ini, adalah konflik.

Konflik, tentulah sulit untuk dihapuskan begitu saja. Banyak pula pihak yang beranggapan bahwa konflik membahayakan, karena bersifat destruktif. Sesungguhnya konflik bersifat fungsional. Dengan kata lain, konflik sesungguhnya bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara, sepanjang konflik itu dapat dikendalikan agar tidak destruktif.

Kondisi inilah yang menjadi dasar adanya pandangan yang menyatakan, bahwa konflik bersifat fungsional, dengan alasan: Pertama, konflik akan meningkatkan kohesi internal pada kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat konflik. Kedua, konflik akan menghadirkan koalisi baru dalam masyarakat sebagai tandingan atas koalisi yang selama ini telah ada di masyarakat. Ketiga, konflik akan membangun kesimbangan baru dalam masyarakat, sehingga dapat meredam dinamika masyarakat, tanpa harus menimbulkan ledakan sosial (social eruption). 

Sementara itu, Prinsip Keempat dari Empat Prinsip Pertanahan ini dapat dimaknai oleh kantor pertanahan sebagai keharusan untuk mendorong masyarakat agar mampu mengembangkan potensinya, termasuk dengan memberi pelayanan pertanahan yang dapat mencegah terjadinya konflik pertanahan.

Contoh, seorang kepala kantor pertanahan menyatakan, bahwa terdapat konflik pertanahan di wilayahnya (misal: di Kecamatan X), yang mendapat perhatian serius dalam penanganannya. Konflik ini terjadi dengan kronologi sebagai berikut: (1) Ada tanah HGB (Hak Guna Bangunan) yang masih dimanfaatkan oleh pemegang haknya, seluas lebih kurang 6.000 meter persegi; (2) Pada saat pemegang HGB akan memperpanjang haknya, ada permintaan pihak desa, agar pemegang HGB berkenan melepaskan seluas 400 meter persegi kepada pihak desa; (3) Pemegang HGB keberatan, dan ia tetap ingin memperpanjang haknya atas seluruh tanahnya tersebut; (4) Pihak desa bersikeras, karena menurut mereka HGB yang telah habis waktunya menjadi Tanah Negara, sehingga dapat dimohon oleh pihak desa, dasar acuannya menurut mereka adalah Keppres No.2 Tahun 1979; (5) Kantor pertanahan masih belum dapat memproses HGB tersebut, karena dipandang masih bermasalah (berkonflik); (6) Kepala kantor pertanahan berpandangan, bahwa meskipun HGB telah berakhir dan tanahnya menjadi Tanah Negara, maka tidaklah serta merta tanah tersebut dapat dimohon oleh pihak lain.

Telah difahami, bahwa konflik berkaitan dengan tiga hal utama, yaitu: ketidak-sepakatan (disagreement), perjuangan (fighting), dan perbedaan (difference). Dengan demikian tentulah dapat difahami, bahwa konflik di Kecamatan X melibatkan ketiga terminologi tersebut (ketidak-sepakatan, perjuangan, dan perbedaan). Konflik di kecamatan ini memperlihatkan adanya ketidak-sepakatan antara pemegang HGB dengan pemerintah desa setempat, di mana pemerintah desa setempat meminta pemegang HGB melepas 400 meter persegi dari 6.000 meter persegi tanah yang dikuasainya.

Konflik di Kecamatan X ini juga melibatkan perjuangan, yang ditandai oleh berbagai upaya dari pemerintah desa setempat, untuk mendapatkan 400 meter persegi tanah yang dikuasai oleh pemegang HGB. Hal ini tentulah direspon oleh pemegang HGB dengan perjuangan untuk mempertahankan 6.000 meter persegi tanah yang dikuasainya.

Kedua pihak, pemerintah desa setempat dan pemegang HGB, sama-sama melakukan perjuangan. Perbedaan mereka terletak pada alasan perjuangannya. Pemerintah desa setempat beralasan, bahwa 400 meter persegi tanah, yang dimintanya merupakan tanah yang akan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Sementara itu, pemegang HGB berpandangan, bahwa tanah seluas 6.000 meter persegi yang dikuasainya dipergunakan dan dimanfaatkannya secara optimal, sehingga berguna dan bermanfaat bagi diri, dan keluarganya, serta para pihak yang terkait, termasuk pemerintah desa, dan negara.

Selamat merenungkan, semoga Allah SWT berkenan meridhai...

 ...

Tidak ada komentar: