Sabtu, 11 Februari 2012

KEPERCAYAAN MASYARAKAT DAN EMPAT PRINSIP PERTANAHAN

Anthony Giddens (1991) menyatakan, “Kita tak perlu mempercayai seseorang yang terus menerus kelihatan, dan yang aktivitasnya dapat dimonitor secara langsung.”


Pernyataan ini menunjukkan, bahwa seseorang yang terus menerus kelihatan, dan yang aktivitasnya dapat dimonitor secara langsung, tidaklah memerlukan kepercayaan. Orang yang terus menerus kelihatan ini tidak membutuhkan kepercayaan, melainkan membutuhkan pengamatan terus menerus agar kinerjanya sesuai dengan tugas dan fungsinya.


Dengan kata lain, pengamatan merupakan instrumen pengganti kepercayaan, yang dimaksudkan untuk mengawal kefasihan orang yang diamati dalam menjalankan tugas dan fungsinya.


Ian Craib (1992) menyatakan, “Kepercayaan menjadi perlu, bila kita tidak lagi mempunyai informasi lengkap tentang fenomena sosial” (lihat Ritzer, 2005:556).


Pernyataan ini menunjukkan, bahwa kalaupun ada informasi tentang suatu fenomena sosial (misal: keberadaan kantor pertanahan), terkadang informasi tersebut tidak diterima secara lengkap oleh masyarakat. Saat itulah dibutuhkan kepercayaan masyarakat, misal: masyarakat percaya bahwa kantor pertanahan akan mensejahterakan mereka.


Kepercayaan yang dimaksud dalam konteks ini, adalah kepercayaan terhadap keandalan (reliability) seseorang atau sistem, yang berkenaan dengan sekumpulan kejadian atau hasil tertentu, di mana kepercayaan itu merupakan keyakinan terhadap kejujuran atas kepedulian orang lain, atau terhadap kebenaran prinsip-prinsip yang abstrak.


George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2005:556) menyatakan, bahwa kepercayaan sangat besar perannya, tak hanya dalam masyarakat modern pada umumnya, tetapi juga terhadap tanda simbolik, dan sistem keahlian yang membantu memisahkan kehidupan dalam dunia modern. Sebagai contoh, agar ekonomi uang dan sistem hukum dapat berfungsi, maka orang harus mempunyai kepercayaan terhadapnya.


Soerjono Soekanto (1998:37) menjelaskan, bahwa sejak dahulu kala jarang sekali kejadian adanya ahli pikir yang menguraikan (mendeskripsikan) masyarakat terlepas dengan konteks pertanahannya, sebagai suatu lingkungan di mana masyarakat tersebut berada.


Penjelasan ini menjadi penghubung konseptual antara penjelasan tentang fenomena kepercayaan yang ada di masyarakat, dengan konteks pertanahannya. Dengan kata lain terdapat fenomena kepercayaan masyarakat dalam konteks pertanahan, yang secara institusional berarti kepercayaan masyarakat terhadap kantor pertanahan.



Dalam konteks pertanahan, maka kepercayaan berkaitan dengan kebijakan pertanahan yang dicanangkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, yang dikenal dengan sebutan “Empat Prinsip Pertanahan”, yaitu:


Pertama, pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat;


Kedua, pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah;


Ketiga
, pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat, terutama tanah;


Keempat
, pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air, dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.

Selamat merenungkan, semoga Allah SWT meridhai…

1 komentar:

NaNo BizN mengatakan...

pertanahan yang ada saat ini dan rasanya juga dari dulu : lebih sebagai upaya kepanjangan dari niat untuk mencatat (register)dan memberi kekuatan hukum lewat sertifikat. Selebihnya masih teori, diantaranya :
- tanah untuk sebesar besar kesejahteraan rakyat, belum dapat dimanifestasikan dalam berbagai kebijakan pertanahan

guritno