Sabtu, 07 Februari 2009

PILIHAN PARADIGMA DALAM REFORMA AGRARIA

Ada banyak pilihan paradigma yang dapat digunakan dalam pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, yang tentunya, apapun pilihannya tetap harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia. Paradigma tersebut, antara lain meliputi: (1) Paradigma Pro-Pasar, (2) Paradigma Anti-Pasar, dan (3) Paradigma Intervensi-Pasar.
Paradigma pro-pasar (pro-market), diadopsi dari pandangan Adam Smith tahun 1776. Paradigma ini beranggapan, bahwa reforma agraria akan berjalan dengan sendirinya, bila masyarakat mempraktekkan dengan konsekuen pasar tanah. Dengan kata lain, penawaran dan permintaan terhadap tanah diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Tiap-tiap anggota masyarakat dipersilahkan berkompetisi satu sama lain, dalam upayanya mendapatkan tanah.
Dalam pandangan paradigma pro-pasar, ada kekuatan harmoni dalam mekanisme pasar tanah. Oleh karena itu, tidak dibutuhkan intervensi pemerintah dalam pasar tanah, meskipun ada "riak" kecil dalam dinamika pasar tanah, seperti: (1) adanya tanah-tanah absentee yang dimiliki pihak tertentu, (2) adanya monopoli pihak tertentu terhadap asset yang berupa tanah dan akses terhadap tanah, dan (3) adanya peningkatan sewa tanah yang memberatkan petani, yang dikonstruksi oleh pihak tertentu.
Bagi Karl Marx, segala kerusakan yang ditimbulkan oleh pasar bukanlah "riak" kecil. Hal ini ia sampaikan setelah melakukan kunjungan dan penelitian di Irlandia, Inggris, dan Perancis antara tahun 1851-1871. Baginya, ini adalah kerusakan sosial terparah, yang menjerat manusia dan kemanusiaannya, dan sengaja dijeratkan oleh para pemilik modal dan tuan tanah. Pandangan Karl Marx yang kritis inilah, yang selanjutnya diadopsi sebagai "paradigma anti-pasar".
Paradigma anti-pasar berpandangan, bahwa hak milik atas tanah yang ada ditangan anggota masyarakat, terutama para pemilik modal dan tuan tanah, sangat membahayakan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penghapusan hak milik atas tanah, dan menggantinya dengan kepemilikan bersama (kolektif). Dengan demikian tidak terjadi jual beli tanah di masyarakat, yang selanjutnya akan menjamin keberlangsungan produktivitas tanah.
Namun demikian, paradigma pro-pasar dan paradigma anti-pasar mendapat penentangan keras dari paradigma intervensi-pasar. Paradigma ini (intervensi pasar) diadopsi dari pandangan John Stewart Mill. Sebagai scholar (sarjana), John Stewart Mill telah melakukan penelitian terhadap: (1) fenomena kelaparan petani Irlandia pada tahun 1845-1851, dan (2) fenomena perebutan tanah yang "keras" di Irlandia pada tahun 1879-1892. Berdasarkan hasil penelitiannya inilah, John Stewart Mill menyatakan, bahwa pasar tetap diperlukan oleh masyarakat, namun karena adanya ekses negatif yang berpeluang ditimbulkan oleh mekanisme pasar yang terlalu bebas (liar), maka dibutuhkan intervensi pemerintah. Dengan demikian, dalam konteks reforma agraria, paradigma intervensi pasar menyarankan agar pasar tidak diberangus (dihapus), melainkan dieliminir, direduksi, atau dikurangi ekses negatifnya melalui intervensi pemerintah.
Setelah memperhatikan pandangan paradigma pro-pasar, paradigma anti-pasar, dan paradigma intervensi pasar, maka dalam konteks Indonesia, selayaknya reforma agraria yang dilaksanakan berbasis pada pandangan, atau pemikiran paradigma intervensi pasar.

Tidak ada komentar: